JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, kembali melontarkan kritik tajam terhadap praktik penempatan pejabat di lingkup BUMN migas. Kali ini, sorotannya tertuju pada pengangkatan mantan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang dinilai tak pernah menunjukkan prestasi gemilang, namun justru dipercaya menduduki kursi Direktur Logistik dan Infrastruktur di BPI Danantara, perusahaan migas pelat merah, sejak 13 Juni 2025.
“Penebar angin surga produksi minyak sejuta barel per hari yang terbukti gagal, malah diberi kepercayaan besar,” tegas Yusri.
Track Record yang Dipertanyakan
Menurut Yusri, figur tersebut selama memimpin PHR banyak mengumbar janji manis akan mengangkat produksi minyak nasional hingga satu juta barel per hari. Namun, kenyataannya target tersebut jauh panggang dari api. Produksi tidak hanya stagnan, tetapi sejumlah indikator kinerja justru menunjukkan penurunan signifikan.
Alih-alih berhasil mengerek produksi, Yusri menilai kebijakan yang diambil di masa kepemimpinannya justru menjadi pemicu tekanan berat terhadap kondisi keuangan PHR. Hal ini terutama disebabkan oleh langkah ekspansi besar-besaran yang dinilai tidak memperhitungkan risiko dan keberlanjutan keuangan perusahaan.
Pemborosan di Pengeboran 1.600 Sumur
Salah satu kebijakan yang disorot adalah program pengeboran 1.600 sumur dalam waktu relatif singkat. Yusri mengkritik bahwa strategi ini terlalu ambisius, apalagi dilakukan di tengah kondisi finansial yang belum cukup kuat.
Program pengeboran masif tersebut membutuhkan biaya investasi sangat besar, sementara hasil yang diharapkan tidak sebanding dengan pengeluaran. Banyak sumur yang ternyata memiliki potensi produksi rendah atau menghadapi hambatan teknis sehingga tidak menghasilkan output optimal.
“Itu ibarat berlari kencang tanpa memeriksa arah. Akhirnya dana besar tersedot, tapi hasilnya tidak sesuai harapan,” ujar Yusri.
Kesalahan Pemilihan Teknologi EOR
Selain masalah pemborosan di pengeboran, Yusri juga menyoroti kesalahan dalam pemilihan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) yang digunakan. Teknologi ini semestinya menjadi solusi untuk meningkatkan produksi dari sumur-sumur tua. Namun, menurutnya, implementasi yang salah kaprah justru menambah beban biaya operasional.
EOR yang dipilih ternyata tidak kompatibel dengan karakteristik lapangan minyak di blok yang dikelola PHR. Akibatnya, alih-alih meningkatkan recovery factor, teknologi tersebut malah menghasilkan efisiensi yang rendah dan biaya tambahan yang tidak sedikit.
Kesalahan ini tidak hanya berdampak pada keuangan perusahaan, tetapi juga menurunkan kepercayaan pemangku kepentingan terhadap kemampuan manajemen PHR saat itu.
Fenomena “Gagal Naik Jabatan” di BUMN
Bagi Yusri, pengangkatan mantan Dirut PHR ke posisi strategis di BPI Danantara merupakan contoh nyata dari fenomena “gagal naik jabatan” yang kerap terjadi di lingkungan BUMN. Dalam fenomena ini, pejabat yang dinilai gagal dalam jabatan sebelumnya justru mendapat posisi baru yang lebih strategis atau setidaknya setara, tanpa evaluasi kinerja yang objektif.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang mekanisme seleksi dan penempatan direksi di perusahaan negara, khususnya di sektor strategis seperti migas. Yusri mengingatkan bahwa jabatan di BUMN bukanlah sekadar kursi untuk mengakomodasi kepentingan politik atau balas budi, melainkan posisi yang menuntut kompetensi, integritas, dan rekam jejak prestasi yang terukur.
“Kalau yang gagal saja diberi jabatan baru, bagaimana nasib perusahaan ke depan? Ini bukan sekadar soal satu orang, tapi menyangkut tata kelola dan masa depan energi nasional,” kritiknya.
Dampak terhadap Danantara
BPI Danantara sebagai perusahaan pelat merah yang berperan dalam pengelolaan logistik dan infrastruktur migas kini memikul beban ekspektasi besar. Pengangkatan direksi baru seharusnya menjadi momentum memperkuat kinerja dan memperbaiki tata kelola. Namun, dengan kontroversi ini, publik mulai mempertanyakan arah strategis Danantara ke depan.
Jika pola pengangkatan direksi masih mengabaikan rekam jejak kinerja, risiko kegagalan dalam mengelola proyek-proyek strategis migas akan semakin besar. Apalagi, sektor energi saat ini berada di persimpangan penting, menghadapi tantangan transisi energi sekaligus kebutuhan menjaga ketahanan pasokan migas nasional.
Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Yusri mendesak pemerintah dan pemegang saham BUMN untuk membuka proses seleksi direksi secara transparan, berbasis kompetensi dan rekam jejak nyata. Evaluasi kinerja harus menjadi tolok ukur utama, bukan sekadar loyalitas atau hubungan politik.
Ia juga mengingatkan bahwa publik berhak mengetahui alasan di balik penempatan seseorang pada jabatan strategis, terlebih jika rekam jejaknya menimbulkan pertanyaan besar.
Kasus pengangkatan mantan Dirut PHR menjadi direksi di BPI Danantara menunjukkan bahwa tantangan terbesar BUMN migas bukan hanya teknis operasional, tetapi juga tata kelola sumber daya manusia di tingkat puncak.
Kritik Yusri Usman adalah peringatan bahwa keberhasilan sektor migas bergantung pada integritas proses seleksi pemimpin dan keberanian untuk menolak pola “gagal naik jabatan” yang merugikan negara dalam jangka panjang.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kesederhanaan dan Keteladanan Sri Sultan HB X

Siapa Yang Gila (1)

Bersumpah Pemuda Masa Kini

Tirak Gate: Pengamat Kebijakan Publik Ngawi, Agus Fatoni Menilai Ada Keculasan Nyata Dan Brutal Dalam Kasus Tirak

Soal Seleksi Perangkat Desa Tirak, Camat Kwadungan Tegaskan Akan Mengambil Langkah Sesuai Aturan

Oligar Hitam Harus Dipenggal Kepalanya

“Whoosh” Cermin Buruknya Duet Kebijakan Luhut–Jokowi

Woosh: Satu dari Banyak Jejak Kejahatan Ekonomi dan Konsitusi Jokowi

Kepala Sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Disinyalir Paksa Murid Ikut Study Tour ke Jogja, Buat Ajang Bisnis

Umat manusia gagal menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C, kata Sekjen PBB, desak perubahan arah



No Responses