JAKARTA – Kelangkaan gas industri sejak pertengahan Agustus 2025 bukan hanya perkara penurunan alamiah produksi di beberapa lapangan; ada faktor struktural di hulu–hilir yang bertemu pada satu simpul: keterlambatan mengalirkan gas West Natuna Transportation System (WNTS) ke demand center Jawa. Selama “pintu utara” ini belum benar-benar tersambung ke jaringan besar, PGN terjepit antara pasokan pipa yang menyusut dan opsi LNG yang lebih mahal—yang ujungnya menjadi pemicu kebijakan kuota, surcharge, dan kekacauan di pabrik.
Apa yang berubah: mandat proyek WNTS–Pemping “dipindah tangan”
Faktanya, Kementerian ESDM pada awal 2025 mencabut penugasan PGN untuk proyek pipa West Natuna Transportation System (WNTS)–Pulau Pemping (Kepri), lalu memberikan penugasan ke grup PLN. Laporan Bisnis Indonesia dan Kontan menegaskan PLN akan menggantikan PGN dan menargetkan konstruksi mulai Mei 2025, dengan target operasi akhir 2025. Petromindo juga memuat agenda dimulainya konstruksi. Bahkan ada pengumuman pre-qualification EPCI oleh PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) untuk proyek WNTS–Pemping. Artinya, arah kebijakan resmi memang mengalihkan eksekusi fisik pipa dari PGN ke PLN.
Perlu dicatat, di pertengahan April 2025 CNBC Indonesia melaporkan pembatalan alokasi/kontrak gas Natuna ke PGN dalam jumlah besar dan tengah diselaraskan agar GSA (gas sales agreement) dengan PLN rampung. Sinyal ini konsisten dengan pergeseran mandat proyek pipa.
Di atas adalah peta alur sistem West Natuna Transportation System (WNTS) yang menjadi titik awal penting dalam menyambungkan pasokan gas dari Laut Natuna ke pasar domestik dan regional. Meski visual utamanya fokus ke sistem bawah laut menuju Singapura, ini pun mencerminkan akses jalur strategis yang tengah dikembangkan ke Batam dan seterusnya ke Jawa–Sumatra.
Apa hubungan WNTS–Pemping dengan pabrik di Jawa?
Secara geografis, WNTS saat ini membawa gas dari West Natuna ke arah Singapura dan Batam. Proyek WNTS–Pemping adalah tautan pendek (±5–7 km) ke Pulau Pemping dan lanjut ke Batam—bukan langsung ke Jawa. Dokumen pasar (FT/Investegate) dan rilis korporat menyebut PLN EPI akan membiayai & membangun segmen penghubung ini, juga mengamankan pasokan dari lapangan Mako (Duyung PSC) untuk domestik hingga 2037. Dengan penghubung ini, gas West Natuna baru bisa masuk ekosistem domestik (Batam/Sumatra), yang lalu butuh integrasi lebih lanjut ke backbone Sumatra–Jawa agar sampai ke klaster industri Jawa. Jadi, bottleneck-nya nyata: tanpa link WNTS–Pemping (dan integrasi berikutnya), pasokan WN sulit “menetes” ke Jawa.
Di sisi lain, pemerintah memang mempercepat proyek pipa lain seperti Cisem II (Cirebon–Semarang) untuk memperkuat jalur intra-Jawa, dan backbone Sumatra–Jawa sudah eksis. Tetapi arus dari West Natuna ke sistem Jawa tetap bergantung pada tahap awal WNTS–Pemping (dan pengaturan swap/regas). Selama link awal ini belum on-stream, defisit Jawa lebih banyak ditutup lewat LNG/regas (FSRU West Java, Jawa Satu) atau balancing dari sumber Sumatra—yang biayanya cenderung lebih tinggi.
Mengapa PGN memangkas jatah industri?
PGN menyebut penurunan pasokan dari KKKS (Sumatra & sekitarnya) sebagai biang kerok, seraya mengklaim stabilisasi bertahap usai gangguan Agustus. Tetapi dari sisi sistem, ketika pipeline utara (WNTS ke domestik) belum jalan dan penurunan alamiah produksi terjadi, ruang manuver PGN menyempit. Mereka akhirnya menerapkan pembatasan kuota dan surcharge pada over-take, yang berdampak langsung ke biaya energi pabrik. Dengan kata lain, keterlambatan koneksi West Natuna berkontribusi pada kerapuhan pasokan—meski bukan satu-satunya faktor.
Foto: Pekerja PT Pertamina EP Cepu sedang melakukan pekerjaan rutin harian memastikan pasokan dari Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro
Latar Belakang Penurunan Pasokan
PGN beralasan pemangkasan kuota adalah konsekuensi penurunan pasokan gas hulu. Sumber utama seperti Blok Corridor (Medco Energi) mengalami penurunan alamiah produksi. Sejumlah lapangan lain juga mengalami hal serupa karena faktor usia reservoir dan belum adanya sumur baru yang signifikan. Penurunan ini sudah diprediksi sejak beberapa tahun lalu, namun, kritik industri menyebut PGN gagal melakukan mitigasi tepat waktu.
Selain itu, PGN mengaku sedang melakukan perawatan jaringan dan pengaturan ulang alokasi. Dalam pernyataan resmi, mereka menyebut solusi jangka pendeknya adalah memanfaatkan LNG domestik dari Tangguh, Bontang, dan Donggi Senoro, yang biayanya lebih mahal dibanding gas pipa. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pasokan tambahan itu tidak cukup cepat menggantikan defisit gas pipa.
Kritik terhadap PGN dan Pemerintah
Asosiasi industri seperti GAPMMI dan INAPLAS menuding PGN tidak melakukan komunikasi dan perencanaan bersama industri sebelum kebijakan kuota diberlakukan. “Kebijakan sepihak tanpa dialog ini membahayakan kelangsungan usaha,” kata perwakilan GAPMMI. Mereka juga menyoroti bahwa PGN adalah anak usaha Pertamina, sehingga secara korporasi seharusnya ada koordinasi penuh untuk memanfaatkan portofolio gas dan LNG grup Pertamina.
Kementerian Perindustrian bahkan mengeluarkan peringatan resmi: jika pembatasan gas HGBT ini berlanjut, lebih dari 134 ribu pekerja berpotensi kehilangan pekerjaan. Ini bukan lagi sekadar masalah energi, tapi krisis ekonomi dan sosial.
Gangguan pasokan gas dan kebijakan kuota HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) menyebabkan tekanan pada industri plastik, memicu penurunan produksi dan ancaman PHK.
Status tender & risiko keterlambatan
Dokumen pra-kualifikasi EPCI untuk WNTS–Pemping terbit 8 April 2025; berita industri menyebut konstruksi dimulai Mei 2025 dan ditargetkan operasi akhir 2025. Namun, realisasi proyek pipa di lapangan sering meleset akibat izin, lahan, EPCI award, serta integrasi ke jaringan existing. Petromindo (19 April 2025) menyatakan rencana start konstruksi, tetapi artikel lengkapnya berada di balik paywall; tetap, ini menguatkan narasi peralihan mandat dan jadwal. Jika award/kontrak EPCI molor, maka gas West Natuna akan lebih lama masuk ke pasar domestik (bahkan ke Batam), apalagi menetes ke Jawa. Dampaknya: PGN tetap terjepit, industri tetap berisiko mengalami pembatasan saat sistem mengalami shock dari hulu.
Terkait Gas West natuna
Ya, ada kaitan material antara kekurangan gas industri dan belum tersambungnya gas West Natuna ke jaringan domestik, yang menjadi prasyarat sebelum bicara aliran ke Jawa. Pergeseran mandat proyek dari PGN ke PLN (PLN EPI/PLN IP) terkonfirmasi dan baru bergerak pada 2025 (pra-kualifikasi, target mulai konstruksi), sehingga gas itu belum bisa berperan meredakan shock di Jawa pada Agustus 2025.
PGN mengurangi jatah karena pasokan hulu turun dan opsi substitusi (LNG/regas) berbiaya tinggi & terbatas infrastruktur—bukan semata pilihan komersial PGN.
Solusi jangka pendek: optimalkan gas swap domestik–Singapura, alokasikan LNG persis pada bottleneck, dan koordinasi PGN–PLN EPI untuk sinkronisasi jadwal EPCI WNTS–Pemping serta rencana evakuasi ke backbone Sumatra–Jawa. Jangka menengah: percepat Cisem II dan sambungan-sambungan ke klaster industri Jawa agar ketika WNTS–Pemping on-stream, molekul gas benar-benar sampai ke pabrik—bukan berhenti di terminal/regas.
Pertanyaan Besar: Ke Mana LNG Impor Pertamina?
Di sinilah muncul pertanyaan kritis: Mengapa PGN tidak memanfaatkan secara maksimal pasokan LNG impor dari Corpus Christi Liquefaction (CCL), Texas, AS, yang kontraknya disebut-sebut berlangsung hingga tahun 2040? Kontrak jangka panjang tersebut, yang diikat oleh Pertamina pada era sebelumnya, menjamin volume tertentu LNG setiap tahun. Dalam logika sederhana, jika pasokan domestik seret, LNG impor seharusnya menjadi “katup darurat” untuk mengisi kekosongan.
Namun, sumber internal industri migas menyebut ada persoalan teknis dan komersial. Pertama, kontrak LNG CCL menggunakan skema harga yang dikaitkan dengan indeks Henry Hub plus biaya tambahan, sehingga harga mendaratnya di Indonesia bisa lebih tinggi dibanding LNG spot dari pasar Asia ketika harga gas global sedang rendah. Kedua, ada keterbatasan infrastruktur regasifikasi di titik-titik dekat klaster industri besar. LNG yang masuk harus melalui FSRU atau terminal tertentu, dan jaringan pipa dari titik regasifikasi ke pabrik tidak selalu tersedia.
Lebih jauh, ada indikasi bahwa sebagian kargo LNG CCL dialihkan ke pasar lain dengan alasan optimasi portofolio—artinya, dijual kembali ke luar negeri jika harga di pasar lain lebih menguntungkan. Praktik seperti ini sah secara komersial, tapi memunculkan pertanyaan etis ketika di dalam negeri industri sedang “kehabisan oksigen”.
Membuka Data, Menutup Ruang Mafia Energi
Masalah pasokan gas di Indonesia selalu mengandung potensi rente. Ketika pasokan domestik seret, impor LNG menjadi peluang bisnis yang sangat besar. Tanpa transparansi—baik soal volume LNG yang masuk, harga mendarat, maupun distribusinya—selalu ada celah bagi “mafia energi” untuk mengambil untung dari selisih harga dan ongkos logistik.
Jika benar sebagian LNG kontrak jangka panjang dialihkan ke luar negeri demi keuntungan, maka publik berhak tahu: berapa volume yang dialihkan, berapa harga jualnya, dan mengapa industri dalam negeri tidak diprioritaskan? Apalagi, kontrak LNG CCL hingga 2040 dibuat dengan dalih memperkuat ketahanan energi nasional
EDITOR: REYNA
Related Posts

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?

Zohran Mamdani, Apakah Dia Syiah?

Anak Purbaya dan “Orang-Orang Mabuk Agama”

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Danantara & Uang Negara Penebus Dosa Oligarki

KPK Tetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Tersangka Suap Promosi Jabatan dan Gratifikasi, Langsung Ditahan

Presiden Harus Belajar dari Sultan Iskandar Muda

Mencuri Uang Rakyat Turun-Temurun

Pangan, Martabat, dan Peradaban: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

Prabowo Whoosh Wus




No Responses