Gelar “haji” pemberian VOC Belanda untuk menandai pemberontak

Gelar “haji” pemberian VOC Belanda untuk menandai pemberontak
Soegianto

Oleh: Soegianto, Fakultas Sain dan Teknologi UNAIR

Pada masa kolonial, istilah “haji” yang kita kenal sekarang ternyata memiliki sejarah yang menarik dan kompleks. Sejak abad ke-16, ketika wilayah Nusantara mulai dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, ibadah haji mulai dipandang dengan penuh kecurigaan oleh pihak kolonial.

Awalnya, pelaksanaan rukun Islam yang kelima ini sering kali terhambat oleh berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh VOC. Pemerintah kolonial Belanda khawatir bahwa semakin banyak orang pribumi yang menunaikan ibadah haji, maka semakin besar pula potensi mereka untuk menjadi penghasut dan penyulut semangat pemberontakan. VOC khawatir bahwa orang-orang yang pulang dari Makkah akan membawa ajaran jihad, yang bisa diartikan sebagai panggilan untuk melawan penjajah dan mempertahankan kebebasan umat Muslim di Nusantara.

Kekhawatiran ini semakin menguat setelah adanya laporan dari residen Batavia yang menyebutkan bahwa ada sekitar 200 calon jemaah haji yang mengajukan permohonan paspor. Hal ini membuat residen dan pemerintah kolonial semakin cemas, karena mereka yakin bahwa jemaah haji yang kembali akan memiliki pengaruh besar di kalangan pribumi, yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan kolonial.

Sebagai langkah antisipatif, VOC memberlakukan berbagai peraturan yang memperketat izin perjalanan haji. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah kewajiban bagi calon jemaah haji untuk memiliki surat izin resmi dari VOC. Tanpa surat izin ini, mereka tidak diizinkan berangkat. Bahkan, jika ada yang nekat berangkat tanpa izin, mereka akan menghadapi hukuman penjara atau pengasingan setelah kembali ke tanah air.

Namun, sentimen negatif terhadap haji ini bukan hanya muncul di masa VOC. Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan sementara dari Belanda pada tahun 1811, mereka juga menunjukkan kekhawatiran yang serupa. Letnan Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, menganggap perjalanan haji sebagai ancaman politik. Ia bahkan menyebut orang-orang yang kembali dari ibadah haji sebagai “pendeta Islam” yang bisa menghasut rakyat untuk melawan penjajah.

Ketika Belanda kembali menguasai Nusantara setelah kepergian Inggris, pemerintah kolonial melanjutkan kebijakan VOC yang mempersulit pelaksanaan haji. Pada tahun 1825, mereka menetapkan resolusi yang mewajibkan setiap calon jemaah haji untuk membayar biaya paspor yang sangat mahal, sebesar 110 Golden, yang pada masa itu merupakan jumlah yang sangat besar. Denda yang dikenakan bagi mereka yang tidak memiliki paspor juga sangat tinggi, mencapai 1000 Golden.

Untuk mengatasi berbagai hambatan ini, banyak jemaah haji yang mencari cara untuk tetap bisa berangkat, seperti mengambil jalur alternatif melalui Sumatera dan Singapura. Namun, trik ini akhirnya tercium oleh pemerintah kolonial, yang kemudian memperketat pengawasan dan memperbaharui resolusi pada tahun 1831 dengan mewajibkan paspor dan menggandakan denda bagi yang melanggar.

Pada tahun 1852, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Albertus Jacobus Duymaer Van Twist, mencabut beberapa resolusi sebelumnya dan menggantinya dengan aturan baru yang masih mewajibkan paspor haji tetapi menghapuskan dendanya. Meskipun begitu, pengawasan terhadap jemaah haji tetap diperketat, termasuk dengan mengharuskan mereka menjalani ujian setelah kembali dari Makkah untuk memastikan mereka benar-benar telah menunaikan ibadah haji.

Pemerintah kolonial Belanda berharap dengan berbagai kebijakan ini, jumlah jemaah haji bisa ditekan dan fanatisme agama yang dianggap berbahaya bagi mereka dapat diminimalisir. Namun, kebijakan-kebijakan ini justru memperkuat tekad umat Muslim di Nusantara untuk menunaikan ibadah haji, yang mereka anggap sebagai panggilan spiritual dan simbol kehormatan.

Dari sinilah kemudian muncul tradisi penyematan gelar “haji” bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Pemerintah kolonial Belanda mengharuskan jemaah haji memakai atribut dan gelar haji agar mudah dikenali dan diawasi. Gelar ini akhirnya diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari identitas sosial umat Muslim di Indonesia hingga saat ini.

Dengan demikian, istilah “haji” yang kita kenal sekarang tidak hanya mencerminkan pencapaian spiritual dan ibadah seorang Muslim, tetapi juga menggambarkan perjalanan sejarah panjang yang penuh liku di bawah bayang-bayang kolonialisme.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K