Genealogi Politik Dan Kosmologi Poltik Indonesia (Bagian 8)

Genealogi Politik Dan Kosmologi Poltik Indonesia (Bagian 8)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

 

VIII. Gerakan Kaum Republik Kembali Ke UUD’1945

 

“Fakta itu selalu obyektif, dan penilaian terhadapfakta itu selalu subyektif”. (Mulyadi Opu Andi Tadampali)

Konstitusi adalah “kitab suci” negara. Dalam konteks kontrak politik, semua pokok-pokok pertanyaan paling fundamental tertera dengan jelas dalam konstitusi. Aristoteles orang pertama yang melakukan studi perbandingan politik secara ilmiah dengan membandingkan hampir semua konstitusi negara di daratan Yunani kuno berpusat pada sejumlah pertanyaan paling mendasar. Mengapa negara didirikan? Apa pentingnya republik didirikan? Untuk apa dan untuk siapa republik didirikan? Apa saja hak dan kewajiban warga negara yang disepakati? Apa saja yang pantas dilakukan oleh pemerintah beserta seluruh struktur sistem politik dalam mencapai tujuan pendiriannya? Bagaimana seharusnya pemerintah dan semua struktur politik bergungsi? Secara garis besar, semua pertanyaan ini juga sudah dijawab dengan tegas oleh UUD’1945.

Ide tentang negara berawal dari pertanyaan filsat politik, dengan cara apa kebahagiaan umum, kesejahteraan dan kemakmuran bersama dapat dicapai dengan efektif dan efesien? Jawabannya final, yaitu dengan cara mengorganisasikan seluruh elemen kekuasaan: kewenangan, pengaruh dan kekuatan. Sebagai organisasi kekuasaan paripurna, negara memiliki konstitusi yang berisi tentang sistem politik negara, dasar negara, bentuk negara, sifat dan fungsi negara, serta bentuk, sistem dan struktur pemerintahan. Pemahaman tentang negara tidak sesederhana seperti yang menjadi tema sentral dari Perdamian Westphalia tahun 1648 dan yang disepakati dalam Perjanjian Motevideo tahun 1933. Negara itu sangat kompleks, karena harus mencakup norma religius, norma moral, nalar ilmiah, nalar etik, dan publik etis, seperti yang tercermin dalam isi UUD’1945.

Akan tetapi belum juga semua dilaksanakan dengan baik apa yang ada dalam UUD’1945, tiba-tiba saja UUD’1945 diganti dengan UUD’2002. Seketika wajah ceria republik berubah menjadi murung, muram. Sejak republik ini didirikan, sudah empat konstitusi yang pernah dibentuk dan berlaku, yaitu: (1) UUD’1945 (1945-1949 dan 1959-1999); (2) UUD’RIS (1949-1950); (3) UUD’S (1950-1959); dan (4) UUD’2002 (2002-sekarang). Selama masa berlakunya UUD’1945 (1945-1949 dan 1959-1999), setidaknya ada tiga pokok penyimpangan yang membuat isi republik terguncang hebat, yaitu: (1) Soekarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup; (2) Soekarno mengangkat Ketua/Wakil MPR, DPR, dan MA, serta Wakil Ketua DPA sebagai menteri negara; (3) Soeharto menjadikan dirinya sebagai presiden sepanjang masa Orde Baru. Namun melebihi penyimpangan itu, partai politik tiba-tiba menjadi satu-satunya kekuatan politik yang power full setelah serentak menjadi oligakis dan menjadi “partai rental” dalam menghasilkan presiden penguasa tunggal sejak berlakunya UUD’2002.

Pada bagian ke-8 tulisan ini, melalui kontra-argumen saya akan tampilkan bahwa UUD’2002 tidak lebih baik dibanding UUD’1945. Selain itu, saya juga akan tunjukkan bahwa pendapat, argumen, dan klaim yang mendasari berlakunya UUD’2002 tidak memiliki dasar kohesi dan koherensi, serta validilitas dan realibilitas yang memadai. Penting diketahui lebih awal bahwa fakta dan penilaian adalah dua hal yang berbeda dan saling terkait. Obyektivitas selalu melekat pada fakta, dan subyektifitas selalu melekat pada penilaian. Fakta itu selalu tunggal sehingga kebenarannya tunggal yang dapat dibuktikan (diverifikasi) melalui metode yang ama dan dapat diulang. Sedangkan penilain itu selalu tidak tunggal sehingga kebenarannya juga tidak tunggal. Dalam dunia akademik, fakta itu sangat penting karena akan digunakan untuk mendukung, membantah, atau meningkatkan kredibilitas pendapat, argumen atau klaim, serta menjadi dasar bagi pembuatan lebijakan atau keputusan yang baik, benar, dan menguntungkan.

Antara Fakta dan Penilaian

Dalam konteks penilaian terhadap fakta, kohesi dan koherensi merujuk pada keterkaitan dan kesesuaian antara validitas dan reliabilitas. Validitas adalah kemampuan suatu instrumen pengukuran untuk mengukur konsep atau variabel yang (ingin)diukur. Validitas yang mencakup validitas isi, validitas konstruk, dan validitas kriteria merujuk pada sejauh mana kemampuan suatu instrumen atau metode pengukuran dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Sedangkan reliabilitas adalah kemampuan suatu instrumen atau metode pengukuran memberikan hasil yang sama dalam kondisi yang sama. Reliabilitas yang mencakup realibilitas internal, realibilitas tes ulang, dan realibilitas paralel merujuk pada sejauh mana suatu instrumen atau metode pengukuran dapat memberikan hasil yang konsisten dan dapat diandalkan.

Dalam metode ilmu politik, ada tiga konsekuensi jika suatu pendapat, argumen, atau klaim tidak memiliki kekuatan kohesi dan koherensi, serta validilitas dan realibilitas, yaitu:

(1) Pendapat, argumen, atau klaim tersebut menjadi tidak kredibel, sehingga tidak mudah dipercaya. Ada banyak Pasal dalam UUD’2002 dimana pendapat, argumen, atau klaim yang mendasarinya gampang diabaikan lantaran tidak memiliki logika yang kohesi dan koheren: premis umum, premis minor dan kongklusinya tidak saling mendukung atau menguatkan, seperti Psal 6 tentang syarat presiden yang tidak harus orang pribumi atau Indonesia asli, Pasal 6A ayat (2) tentang gabungan partai yang populer dengan koalisi, dan Pasal 33 Ayat (4) tentang demokrasi ekonomi;

(2) Pendapat, argumen, atau klaim tersebut kabur, tidak terstruktur, dan mengandung inkonsistensi dan kontradiksi, sehingga orang kesulitan memahami point-point pokok dan kesimpulannya. Pasal tentang trium virat, Pasal tentang wapres yang menggantikan Presiden memilih sendiri calon wakilnya, dan Pasal tentang MPR yang memilih wakil presiden selain kabur dan tidak terstruktur, juga mengandung inkonsistensi dan kontradiksi;

(3) pendapat, argumen, atau klaim tersebut tidak efektif dalam menyampaikan pesan, sehingga kesulitan mempengaruhi atau mengubah pendapat pihak yang berpikir. Terbukti bahwa semua pendapat, argumen yang digunakan dalam mendukung proses pembentukan UUD’2002: (a) merusak reputasi anggota MPR dan pihak yang terlibat dalam mengganti UUD’1945 dengan UUD’2002; (b) gagal mencapai tujuan yang diharapkan; dan (b) gagal dalam membangun kepercayaan. Mempertahankan UUD’2002 dengan dasar pendapat, argumen, atau klaim yang tidak memiliki kekuatan kohesi dan koherensi, serta validilitas dan realibilitas hanya akan berujung pada debat yang tidak produktif. Sampai kapanpun akan terus dironrong oleh pendapat akademik dalam ruang-ruang deliberasi politik.

Bias Politik

Adalah fakta bahwa gerakan kaum Republik kembali ke (UUD’1945) semakin hari semakin meluas dan menguat. Penyebabnya bukan saja semata-mata karena tujuan yang diharapkan dari berlakunya UUD’2002 tidak tercapai, tetapi juga karena pendapat, argumen, dan klaim yang digunakan dalam mempertahankan UUD’2002 tidak memiliki dasar kohesi dan koherensi yang kuat, serta validilitas dan realibilitas yang dapat diandalkan. Selama dua periode rezim Jokowi berkuasa, apa yang ditentang oleh Gerakan Roformasi Mei 1998 di penghujung era Orde Baru bukannya redup lalu menghilang. Sebaliknya, justru berlanjut dan membesar hingga pada peningkatan dan perluasan skala kerusakannya yang mencakup semua lini kehidupan. Demokrasi, demokratisasi, KKN, dan praktik kekuasaan yang sebelumnya sudah buruk justru bertambah buruk. Juga semua indikator kapabilitas sistem politik yang baik: responsif, regulatif, distributif-alokatif, simbolik, ekstraktif, domestik, dan internasional bukannya membaik, sebaliknya justru lebih buruk hingga memicu kekhawatiran dan ketakutan serius akan jatuhnya republik ini seiring dengan enggangnya ksetiap rezim politik melakukan perubahan secara cepat dan revolusioner.

Dalam konteks proses pembentukan dan isi UUD’2002, munculnya kesenjangan (margin error) yang tidak dapat ditoleransi merupakan akibat langsung dari pengaruh bias orientasi, bias optimisme, dan bias kepentingan. Pada ketiga bias ini, tak terhindarkan terjadinya kontradiksi antara fakta (obyektivitas) dan penilaian (subyektifitas). Orientasi pada hasil, optimisme pada tujuan, serta kolaborasi antara kepentingan elit internal dan eksternal negara membuat proses pembentukan dan isi UUD2002 mengabaikan tiga hal pokok, yaitu:

(1) Beban-beban pertimbangan.

Menggganti UUD’1945 dengan UUD’2002 tanpa memperhatikan beban-beban pertimbangan terbukti tidak dapat mencegah datangnya resiko politik yang sangat berbahaya. Ini terbukti di kemudian hari, dimana di era rezim Jokowi partai politik telah berubah menjadi pusat kerajaan bagi para oligarki politik (badut politik), korporasi telah menjadi pusat kerajaan bagi para oligarki ekonomi (bandar politik), dan kelompok kepentingan (LSM/NGO, ormas) oligarkis telah menjadi pusat kerajaan bagi para oligarki sosial (bandit olitik).

(2) Kemustahilan praktis

Menggganti UUD’1945 dengan UUD’2002 tanpa memperhatikan kemustahilan praktis terbukti kalau metode berhasil menggagalkan tujuan. Absurd mengharapkan tujuan negara tercapai setelah sistem politik diubah secara radikal, dari semula empat level struktur politik menjadi hanya tiggal dua level struktur politik, dengan cara: (a) mengubah MPR dari institusi politik penjelmaan rakyat, pelaksana kedaulatan rakyat, dan lembaga tertinggi negara menjadi sekedar “rumah kontrakan” lima tahunan bagi para anggota-anggota DPR dan DPD; (b) menghilangkan DPA sebagai institusi politik pertimbangan rakyat lalu menduplikasinya dengan Wantimpres; dan (c) melaksanakan pemilihan langsung pasangan presiden dan wakil-presiden yang diotaki partai politik oligarkis.

(3) Keterbatasan diri

Menggganti UUD’1945 dengan UUD’2002 tanpa memperhatikan keterbatasan kemampuan sendiri ibarat orang yang sengaja menceburkan diri ke dalam lumpur hidup. Tidak terpikirkan bahwa mustahil praktik politik membaik jika budaya politik warga negara rata-rata masih buruk (jenis parocial dan subject) dan partisipasi politik warga negara juga rata-rata masih buruk (jenis mobilisasi). Padahal keduanya ini adalah fakta yang seharusnya sejal awal disadari sebelum memutuskan pemilihan langsung presiden-wakil presiden, serta penghapusan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Tidak dipikirkan secara matang bahwa keduanya ini adalah kontributor aktif dalam kerusakan demokrasi yang lebih parah dibanding demokrasi di era Orde Baru.

UUD’1945 yang diganti dengan UUD’2002 adalah dua fakta obyektif. Sedangkan pendapat, argumen dan klaim bahwa UUD’2002 lebih baik dibanding UUD’1945 adalah penilaian subyektif yang tidak mengandung kohesi dan koherensi, serta validitas ((isi, konstruk, dan kriteria) dan realibilitas (internal, tes-ulang, dan paralel)ang.

Mengacu pada aspek kohesi dan koherensi, serta validitas dan reliabilitas, terdapat dua pendapat, argumen dan klaim pokok yang dapat menjadi rujukan untuk menolak UUD’2002 sekligus kembali ke UUD1945 lalu didendum seperlunya, yaitu:

(1) Proses pembentukan konstitusi

Tudingan bahwa UUD’1945 adalah UUD Kilat, katanya karena dibentuk oleh para pendiri Negara Bangsa dalam suasana terburu-buru, tanpa ruang bebas untuk diskusi dan debat panjang dalam mencari dan menemukan kebenaran (deliberasi politik) jelas tidak memiliki dasar kohesi dan koherensi, serta validitas dan reliabilitas yang memadai. Justru sebaliknya, UUD’2002-lah yang patut disebut sebagai UUD Kilat, UUD Gelap, karena dibentuk oleh para politisi tanpa desakan keinginan rakyat Indonesia. UUD’2002 –lah yang terbukti mengabaikan deliberasi politik, dan dipenuhi berbagai bias politik, seperti bias orientasi politik, bias optimisme politik, dan bias kepentingan politik. Mungkin kedengarannya sangat kasar kalau saya mengatakan bahwa UUD’1945 dibentuk dalam suasana kebatinan. sedangkan UUD’2002 dibentuk dalam suasana kebatilan.

Dari proses pembentukannya yang memanfaatkan kesempatan euporia kejatuhan rezim Orde Baru, saya dapat mengatakan bahwa UUD’2002 adalah “Konstitusi Hitam yang pernah dikirim neraka ke negeri yang berpenduduk pribumi muslim terbesar.” Saya cukup tunjukkan satu bukti kecil tetapi vulgar kalau UUD’2002 memang dibentuk secara diam-diam dan tergesa-gesa, seperti yang kasat mata pada Bab III yang berisi urutan pasal yang diselingi angka dan hurup latin, dimana Pasal 6A seharusnya ditulis pasal 7; Pasal 7 seharusnya ditulis Pasal 8; Pasal 7A seharusnya ditulis Pasal 9; Pasal 7B seharusnya ditulis Pasal 10; dan Pasal 7C seharusnya ditulis Pasal 11, serta Bab IV yang terkesan emosional, karena hanya berisi kalimat “DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG dihapus)

(2) Fleksibilitas isi

Salah satu hal strategis yang kembali diatur UUD’2002 adalah prubahan radikal format Sistem politik Indonesia yang hanya tersisa dua level struktur. Desain ini tidak memiliki fleksibilitas tinggi, karena dua struktur polilik, yaitu infra-struktur politik (partai, kelompok kepentingan, media, dan elit), dan supra-struktur politik (Presiden, DPR, MA disertai auxiliary institution) terbukti tidak mampu membawa pada penyelenggaraan pemerintahan yang baik (transparan, akuntabel, kredibel dan partisipatif). Desain ini terbukti tidak lebih baik dibanding desain sistem politik menurut UUD’1945 yang memiliki tingkat flesibilitas dan adaptasi tinggi terhadap perkembangan dan perubahan jaman. Empat struktur politik yang ada dalam UUD1945, yaitu infra-struktur politik (partai, kelompok kepentingan, media, dan elit), supra-struktur politik dalam(Presiden, DPR, MA disertai auxiliary institution), super-struktur politik (DPA), dan meta-struktur politik (MPR) dirancang untuk mencegah ragam penetrasi yang dapat melemahkan kedaulatan rakyat dan rakyat berdaulat.

Jika direnungkan isi Pasal 6 yang menghapus kata asli sebagai syarat presiden, isi Pasal 33 ayat (4) yang melegalkan demokrasi ekonomi, dan isi Pasal 6A (ayat (2) klausul terkahir yang menghalalkan gabungan partai dalam pengusulan pasangan calon presiden-wakil presiden, maka akan tersingkap bahwa motif politik di balik berlakunya UUD’2002 adalah depolitisasi pribumi, neo-kolonialisme ekonomi, dan neo-imperialisme politik. Dari sudut pandang kepentingan, pembentukan UUD’2002 dilakukan atas dasar untuk memenuhi kepentingan pihak asing yang didukung oleh elit politik di Senayan, sehingga absurd dapat menjangkau kepentingan kaum republik.

Dari perspektif norma religius, norma moral, nalar ilmiah, nalar etik, dan publik etis, jelas bahwa isi UUD’1945 masih lebih elok dibanding dengan isi UU’D2002. Merupakan fakta bahwa UUD’1945 dibentuk sebagai wujud dari proses deliberasi politik yang sangat panjang untuk sebuah kehendak umum tentang pentingnya kemerdekaan, kebebasan, persamaan, kesetaraan, dan keadilan penuh, yang selama ratusan tahun tertimbun oleh penjajahan berkesinambungan: kolonialisme VOC selama 197 tahun (1602-1799, imperialisme Belanda selama 142 tahun (1800-1942), dan pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 tahun (1942-1945). Secara prinsip, semua kriteria pembentukan konstitusi yang baik telah dipenuhi oleh pembentukan UUD1945. Secara historis dan politis, pembentukan UUD’1945 dilatari oleh setting politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menghendaki berlakunya puncak-puncak nilai dari tradisi, adat istiadat, kebudayaan, dan agama yang mewujud ke dalam Pancasila sebagai dasar negara. Kehendak ini jelas berieontasi pada kebutuhan masa depan, dimana terdapat kekuasaan yang seimbang dan harmonis dalam pengelolaan sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk dipergunakan sbesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh pemilik asli republik.

EDITOR: REYNA

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT:

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 7)

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 6)

Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 5)

 

 

Last Day Views: 26,55 K