Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-1)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-1)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia

Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

 

Tulisan ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari materi yang saya paparkan di sejumlah forum ilmiah yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, badan pemerintah, dan lembaga non-pemerintah dari tahun 2021 hingga akhir tahun 2023. Materi padat yang saya kemas ke dalam tema sentral, “konstruksi sistem politik Indonesia dalam pemikiran politik pendiri negara”. Tema itu sendiri merupakan inti dari isi buku kecil saya tahun 2007 berjudul, Rekonstruksi Sejarah Politik Indonesia, yang saya tulis menggunakan nama asal-usul daerah saya, yakni negara Kedatuan(Pajung) Luwu, Kerajaan(Matoa) Wajo, dan Kerajaan(Mangkau) Bone.

Materinya tergolong rumit karena selain sensitif sejarah politik, juga multi tafsir, sehingga beresiko ditumpangi kepentingan pribadi untuk menjustifikasi pemihakan secara sepihak. Akan tetapi bagi yang betul-betul ingin mendapatkan wawasan baru, materi ini penting setidaknya untuk membuka perspektif baru meski mungkin terasa asing untuk tidak mengatakan agak aneh.

Pada forum-forum ilmiah tersebut, perdebatan serius kerap tak terhindarkan lantaran adanya fakta yang diklaim secara sepihak. Perbedaan cara pandang (obyek formal) dalam melihat obyek yang dibahas (obyek materil) juga menjadi sebab terjadinya debat kusir. Bahkan tukar tambah argumen terjadi manakala sentimen telah menyelinap di dalamnya.

Beradaptasi dengan kecenderungan literasi baru di media sosial yang akrab dengan penjelasan lewat video pendek atau gambar, tulisan ini saya buat ke dalam beberapa bagian pendek terutama untuk menghindari kebosanan membaca. Mengingat pentingnya materi ini, saya sungguh-sungguh berharap agar tidak melewatkan bagian-bagian tertentu dari keseluruhan tulisan yang relatif panjang ini.

I. Akar Sosial Republik

Sebelum bangsa Indonesia ada dan sebelum negara Republik Indonesia berdiri yang ada adalahnya hanyalah bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama, seperti bangsa Ambon, bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Minang dan lain-lain, negara Kesultanan Aceh, negara Kesultanan Demak, Pajang, Mataram, dan lain-lain.

Sebelum kedatangan bangsa Asing, seperti Portugis, kolonialisme VOC, imperialisme Belanda, dan terakhir invasi Jelang, bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama ini sudah terlibat ke dalam berbagai bentuk interaksi baik kerja sama maupun konflik.

Bangsa Indonesia sendiri muncul sebagai narasi politik perlawanan Pribumi Nusantara terhadap kolonialisme VOC dan imperialisme Belanda yang berupaya menghapus eksistensinya. Secara de jure sekaligus de facto, bangsa Indonesia dan negara Indonesia baru ada sejak Negara Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945.

Kondisi sosial orang-orang bangsa Aceh, bangsa Ambon, bangsa Batak, bangsa Bugis, bangsa Dayak, bangsa Jawa, bangsa Melayu, bangsa Minang, bangsa Sunda, dan bangsa lainnya sudah sebegitu sangat demokratisnya, sehingga tidak lagi mencurigai kemunculan konflik sosial dan konflik politik tak terduga yang seringkali mematikan.

Pada masing-masing institusi sosialnya, nilai-nilai universal telah diproduktifkan untuk mencegah disintegrasi sosial sekaligus resolusi konflik. Adat-istiadat, tradisi, budaya, dan agama menjadi pusat produksi dan repoduksi kultutral: nilai-nilai yang dapat menjamin adaptasi, stabilitas, dan integrasi sosial.

Begitu pula di bawah pemerintahan negara-negara lama di Nusantara, seperti di negara Kedatuan Luwu, Kerajaan Bone, Kerajaan Pagaruyung, Kesultanan Aceh, Kesultanan Bacan, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Gowa, Kesultan Jailolo, Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Ternate, dan lain-lain dimana kuman monocratein dan otocratein: monarki absolut, aristokrasi despotis, dan teokrasi feodal telah dibasmi habis hingga ke akar-akarnya. Dengan demikian maka semua negara-negara lama berada di bawah pemerintahan demokratis terlepas dari bentuk pemerintahan yang dipilihnya.

Relasi sosial sebagaimana tampak pada kegotongroyongan, kekeluargaan, dan permusyawaratan pada masing-masing bangsa dan negara lama tersebut sudah sebegitu harmonisnya, sehingga adaptasi politik, integrasi politik, dan stabilitas politik tidak lagi sebatas pemikiran politik yang diletakkan di atas cita-cita dan tujuan penataan sistem politik.

Itulah ciri-ciri universal yang melandasi visi politik dari tujuan berdirinya bangsa gabungan dan negara gabungan, Negara Kebangsaan Republik Indonesia, yang saripatinya menjadi inti dari isi rumusan Pancasila, UUD1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kebebasan, persamaan, dan kesetaraan politik yang sudah meluas pada seluruh bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama, diikatkan kembali pada cita Republik yang wilayahnya terpetak habis ke dalam politik lokal (local politics), pemerintahan lokal (local government), dan administrasi lokal (local adminiatrative) guna menjamin terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Oleh sebab itu konstruksi Negara Kebangsaan Republik Indonesia merupakan gabungan bangsa-bangsa lama dan negara-negara lama di Nusantara. Suatu bentuk demokrasi gabungan khas Nusantara dimana kuman monocratein (monarki), otocratein (aristokrasi, dan teokrasi) telah dibersihkan oleh pengaruh para ulama dan cendekiawan pejuang yang oleh Kaum Republik di kemudian hari nama-nama mereka dihormatinya pada nama-nama jalan, fasilitas umum hingga perguruan tinggi sebagai simbol perjuangan, patriotisme, pengetahuan, dan kebajikan.

Beberapa warga Republik yang meneruskannya dengan atribut kebangsawanan yang mungkin sungguh-sungguh akan disebut aristokratis dalam maknanya yang bersih sekiranya pikiran, ucapan, sikap, dan perbuatannya semata-mata dicurahkan untuk kehormatan, kemuliaan, dan keagungan bangsanya. Sebab, siapanpun dia akan menyadari bahwa konsepsi kebangsawanan tidak diturunkan dari darah, melainkan dari ajaran tentang moralitas kebangsaan.

Beginilah keadaan Nusantara yang terbentang dari Timur hingga Barat, dari Utara hingga Selatan yang berisi pulau besar dan pulau kecil yang direkatkan oleh lautan yang juga berfungsi sebagai tabungan berbagai kekayaan alam. Di negara-negara lama itulah, telah bermukim penduduk tempatan yang kerap disebut kaum pribumi sebagai ikon dari bangsa Indonesia asli. Mereka adalah orang-orang awal yang bertempat tinggal dan membangun peradabannya, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan dan digali asal-usul kedatangannya hanya semata-mata untuk meragukan keasliannya.

Mereka itulah yang dijajah oleh kolonialisme VOC selama 197 tahun (1602-1799), imperialisme Belanda selama 142 tahun (1800-1942), dan pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 tahun (1942-1945). Kaum pribumi Nusantara, bangsa Indonesia Asli adalah kosa kata genealogi politik. Kosa kata genetiknya tak perlu diusut lagi, karena hasilnya selain hanya ketidakpastian, juga akan meruntuhkan konstruksi semangat nasionalisme dan wawasan Nusantara.

Mengusut keaslian Pribumi Nusantara dan Bangsa Indonesia Asli, hanya membuang-buang waktu saja. Hasilnya selain memunculkan perdebatan panjang yang tidak akan pernah berujung, juga tidak berguna karena pada akhirnya akan tiba di ujung: manusia berasal dari Kera atau manusia berasal dari Manusia. Yang pertama sudah pasti tak seorangpun yang mau menerimanya, dan yang kedua sangat mungkin nenek moyang kaum pribumi Nusantara atau Bangsa Indonesia Asli adalah Cucu kesekian dari Adam-Hawa sebagai manusia pertama di Bumi yang membawa prinsip aristokratis dalam pengertiannya yang tidak terjangkiti kuman oligarkis, absolutisme, despotisme, dan feodalisme.

Bersambung

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K