Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori

Tagline “Gerbang Nusantara” yang diusung Pemerintah Provinsi Jawa Timur seolah menjadi simbol kemegahan dan kemajuan. Namun di balik jargon yang berbunyi optimistik itu, ada kenyataan yang jauh dari ideal. Jawa Timur memang kaya angka, tapi tidak semua rakyatnya hidup dalam kemakmuran.

Dengan APBD mencapai lebih dari Rp28 triliun dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp3.200 triliun, provinsi ini kerap disebut sebagai mesin ekonomi nasional. Namun, angka kemiskinan masih mencerminkan luka sosial yang belum sembuh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025, persentase penduduk miskin Jawa Timur mencapai 9,50% atau sekitar 3,88 juta jiwa. Penurunan dari September 2024 memang terjadi, tapi jumlahnya hanya 17.940 orang—penurunan kecil yang tidak sebanding dengan besarnya potensi fiskal daerah.

Lebih ironis lagi, kemiskinan di wilayah perkotaan justru naik menjadi 7%, sementara di perdesaan turun menjadi 12,86%. Angka ini menandakan bahwa problem kesejahteraan di Jawa Timur bukan semata soal pedesaan tertinggal, tapi juga kegagalan struktur ekonomi kota dalam memberi ruang hidup yang layak bagi rakyat kecil.

Sementara rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, pemerintah daerah justru tercatat menyimpan uang publik dalam jumlah besar. Data Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa per September 2025, dana sebesar Rp6,84 triliun mengendap di bank. Pihak Pemprov Jatim berdalih dana itu merupakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) dan cash flow yang menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan serta persetujuan Perubahan APBD.

Penjelasan itu mungkin logis di atas kertas, tapi terasa hambar di telinga rakyat yang menanti realisasi program bantuan, infrastruktur, dan lapangan kerja.
Uang publik yang seharusnya menggerakkan ekonomi rakyat justru “tidur nyenyak” di rekening bank—menjadi simbol birokrasi yang lamban dan miskin empati.

Kritik tajam pun datang dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ia menyoroti masih rendahnya serapan anggaran di sejumlah daerah, dengan Jawa Timur menduduki posisi kedua tertinggi simpanan dana setelah DKI Jakarta. Artinya, di saat pemerintah pusat sudah menyalurkan dana transfer, daerah justru menahannya. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga masalah political will dan kecepatan moral dalam memihak rakyat.

Dengan dana sebesar itu, seharusnya Jatim bisa mempercepat pembangunan berbasis pemerataan. Rp6 triliun bukan angka kecil. Dana sebesar itu bisa memperbaiki ribuan sekolah, membangun jaringan air bersih di wilayah rawan kekeringan, atau menopang program pemberdayaan UMKM dan ekonomi perempuan di desa. Namun, ketika uang hanya berputar di level administratif, maka yang bekerja bukanlah anggaran, tapi ilusi.

Disparitas antarwilayah pun masih kentara. Wilayah industri seperti Gresik dan Surabaya terus tumbuh, sementara Madura, tapal kuda, dan kawasan selatan Jatim masih tertinggal jauh dalam kualitas infrastruktur dan layanan publik. Ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jatim masih bersifat eksklusif—berpihak pada kawasan produktif, bukan pada rakyat marjinal.

Lebih jauh, birokrasi keuangan daerah seolah lebih sibuk menjaga keseimbangan angka daripada memastikan keseimbangan hidup rakyat. Neraca fiskal mungkin terlihat indah: serapan mencapai 96%, pendapatan naik 10%, dan defisit terkendali. Tapi angka-angka itu tak punya arti jika rakyat masih kesulitan membayar sekolah anak, membeli beras, atau mencari pekerjaan yang layak.

Jawa Timur perlu berani meninjau ulang paradigma pengelolaan anggarannya. APBD bukan sekadar alat hitung, tetapi alat perjuangan sosial. Transparansi, percepatan realisasi program, dan keberanian mengalokasikan dana langsung ke sektor produktif rakyat menjadi kunci. Pemerintah daerah harus lebih cepat, lebih peka, dan lebih berani memihak yang lemah.

Sebab pada akhirnya, kesejahteraan bukan diukur dari berapa besar saldo kas daerah, melainkan dari berapa banyak rakyat yang benar-benar merasakan hasilnya. Jika uang publik terus menumpuk di rekening bank sementara rakyat masih antre bantuan, maka “Gerbang Nusantara” tak ubahnya gerbang ilusi — tempat anggaran besar lewat, tapi kesejahteraan rakyat tak pernah benar-benar singgah.

Jawa Timur tidak kekurangan uang. Yang kurang hanyalah kehendak politik untuk menyalurkannya dengan hati dan nurani. Karena uang publik adalah amanah, bukan aset yang boleh dibekukan atas nama administrasi. Dan ketika amanah itu diabaikan, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan rakyat, tapi juga makna kemanusiaan dari pembangunan itu sendiri.

Surabaya, 31 Oktober 2025

Tentang Penulis:

M. Isa Ansori adalah Dosen, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim, Pemerhati Kebijakan Publik dan penulis opini sosial-politik. Aktif menulis di berbagai media daring tentang tata kelola pemerintahan, keadilan sosial, dan kebijakan sosial politik daerah

 

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K