Oleh: Agus Wahid
Penulis: Analis Politik
Penuh percaya diri. Itulah pidato Gibran Rakabuming Raka di forum Konverensi Tingkat Tinggi G-20, di Johanesburg Expo Center, Afrika Selatan. Dengan gayanya yang cool, Gibran tampak lancar membaca naskah pidatonya dalam edisi bahasa Inggris. Peserta KTT G-20 pun tepuk tangan penuh hormat. Tampak apresiasi.
Sangat boleh jadi, di benak mereka muncul detak kagum. Karena, dengan usia 38 tahun, sudah menjadi pemimpin (Wakil Presiden) dan tampil di hadapan para tokoh dunia. Sosok pemuda yang luar biasa. Dapat dimaklumi. Karena kekagumannya tak tahu proses persis politik internal Indoensia yang penuh devil of political drama. Jika tahu, pun kemungkinan mereka justru nyinyir.
Bagaimana pun drama itu, kini tampilnya Gibran di forum internasional membuat kaum Gibranis atau para ternak Mulyono (termul) demikian bangga. Lebih dari itu, mereka langsung berkoar. Mereka menunjukkan, “inilah Gibranku. Hebat”. Sebuah sikap kagum sembari menjungkirbalikkan opini kepada para kontrarian Gubran.
Perlu kita catat secara obyektif. Spelling Gibran jelaslah lebih bagus dibanding Jokowi. Maklum, pernah beberapa tahun tinggal di Singapura yang notabene pernah sekolah di Menengah Orchid Park dan preparatory course sebelum masuk kuliah di University of Technology Sydney (Australia). Meski akhirnya ga sempat kuliah, namun catatan faktual ini mewajarkan kemampuan bahasanya. Dari sisi spelling of English, jelas relatif lebih bagus dibanding Jokowi. Karena itu, tidaklah mengherankan atau ora usah gumun (ga perlu kagum) dengan kemampuan bicara bahasa asing (Inggris) seorang Gibran itu.
Di sisi lain, pidato Gibran bersifat monolog. Hanya satu arah. Maka, yang terpenting adalah naskah pidato telah dipersiapkan oleh tim khususnya. Dengan latihan intensif, maka dapat terkurangi kekeliruan ucap. Tapi, kita perlu mencatat, apa yang tertulis dalam teks belum tentu dari otak Gibran sendiri. Sebuah kebiasan wajar dalam panggung pemerintahan, apalagi di forum global.
Sekali lagi, ora usah gumun (ga perlu kagum). Namun demikian, jika Gibran mampu berdialog (ada sesi tanya-jawab atau dialog antar delegasi bersama Gibran), kita bisa acungi jempol. Tanya-jawab mencerminkan adanya kemampuan memahami atau koneksi pikiran (substansi yang ditanyakan) dengan apa yang harus disampaikan dalam jawaban. Juga, terdapat pemahaman dalam berbahasa asing itu sendiri. Kita saksikan, dalam forum itu sama sekali tak ada sesi dialog. Meski ada perbincangan dalam summit itu, tapi dilakukan oleh tim delegasi, bukan Gibran. Jadi, para Gibranis atau termul seyogyanya harus menahan diri dari sanjung pujanya.
Kenapa harus menahan sanjung puja? Ya, kita – di Tanah Air ini – tahu persis kualitas pemikiran seorang Gibran. Ditanya A, jawab B. Gak nyambung. Juga, selama ini Gibran selalu berusaha menghindari pertanyaan publik atau wartawan. Faktualitas ini jauh labih valid dibanding sandiwara yang digelar di forum internasional. Inilah realitas yang bisa dijadikan banch mark.
Kini, sebagai pembuktian, usai pulang dari lawatannya dari luar negeri, silakan Gibran melaporkan kepada publik dalam suasana dialog terbuka dengan berbagai elemen. Intinya, memperbincangkan hasil kunjungannya di KTT G-20 di Johannesburg itu. Terserah, dalam edisi Inggris ataupun bahasa Indonesia.
Jika “nyambung” apalagi bekualitas dialognya, maka Gibran layak dinilai “naik pangkat”. Jika jawabnya a, i, u, e, o, maka gugurlah sanjung puja itu. Sebuah renungan, beranikah Gibran menghadapi forum terbuka? Ga perlu di arena internasional. Biar tak terulangi perintah, “I want to test my minister”, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Jok beberapa tahun lalu. Cukuplah di perhelatan di tengah Jakarta.
Wahai kaum Gibranis atau termulis… Silakan kalian selenggarakan forum dialog terbuka. Kalangan anti Gibranis dan atau anti Termulis siap hadir dengan penuh sahabat. Just to talk or dialog about everything sebagai oleh-oleh kunjungannya di arena internasional itu. Berani? Sebagai gerombolan kaum muda harusnya jawab, “Siapa takut”.
Akhirnya kita bisa tegaskan, jika dilakukan pagelaran dialog terbuka antara Gibran dan publik, kiranya tidaklah tertutup kemungkinan akan terjadi perubahan persepsi terhadap Gibran. Akan terkurangi grafik negatifnya. So? Kita tunggu uji validasi itu. Okay broer….?
Jakarta, 25 November 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Agar Tidak Jadi Korban Kriminalisasi, Faizal Assegaf Sarankan Tempuh Mediasi Dalam Kasus Ijazah Jokowi

Ijazah Jokowi Sebagai Barang Langka dan Politik Konservasi Dokumen

Akhir Skandal Ijazah Jokowi, Mediasi Atau Revolusi?

Sidang Kedua Mediasi Kasus Perangkat Desa Tirak Temui Jalan Buntu

Guru Sebagai Co-Regulator: Menemani Luka Sunyi Anak Tanpa Mengambil Alih Peran Orang Tua

Yahya Zaini Wakil Ketua Komisi IX DPR: “Kematian Irene Sokoy Adalah Tragedi Negara, Bukan Sekadar Kelalaian Rumah Sakit”

Menyelami “Mens Rea” Polisi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (7): Diplomat Dunia Islam dan Pembela Bosnia Dari Genoside Serbia

Jangan biarkan penguasa bebas menjual kedaulatan negara

Indonesia Bisa Jadi Singapura Kedua



No Responses