Oleh: Muhammad Damami Zain
Islam identik dengan dakwah. Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul dari masa ke masa untuk menyeru kaumnya menempuh jalan-Nya demi keselamatan hidup mereka di dunia hingga akhirat.
Nabi Nuh AS tinggal bersama kaumnya seribu tahun minus lima puluh. Sungguhpun demikian, hanya sedikit dari mereka yang beriman kepadanya.
Allah SWT mengutus Nabi Musa AS menghadapi Fir’aun yang super otoriter dan arogan. Beberapa orang Nabi meninggal dunia dibunuh oleh kaumnya.
Sejarah Islam sejak masa awal telah diwarnai oleh tumpahan darah. Dari keempat Khulafa Rasyidin hanya Abu Bakar RA yang meninggal dunia dengan tenang di pembaringan.
Sedikit sharing renungan dan pencarian “hakikat perjuangan keislaman para pejuan muslim” dilihat dari aspek “keimanan”, “filosofik”, dan “faktual”, yakni — sekadar contoh— fenomena Sayyid Quthub yang —mungkin gara-gara paham politik dalam zamannya— beliau dihukum dengan digantung yang begitu mengenaskan (ini adalah problem model hukuman yang tak pernah dicontohkan Rasulullah SAW), lalu muncul beberapa pertanyaan menggelitik di sini.
Pertama, bukankah beliau ulama besar, apalagi berhasil menyusun Tafsir Al-Qur’an, Fi Zhilal Al-Quran, secara lengkap dan begitu indah kesastraannya?
Kedua, apakah itu cerminan sistem hukumnya yang buruk, ataukah karena politisi muslimnya yang gagal merumuskan sistem hukum sesuai dengan ruh dan praktik yang benar-benar “qur’any dan sunny”?
Ketiga, layakkah “ulama” yang sangat dimuliakan Allah SWT dan dihormati Rasulullah SAW bernasib fakta “fisik” tidak berdaya seperti itu (rasa-rasanya ada beda dengan gugur dalam peperangan sebrutal apa pun).
Keempat, jalur perjuangan secara “spiritual” dan “kultural” yang sering dipilih para ulama, mengapa tidak dipikirkan untuk dibentengi sistem “pengamanan” yang sama ketat dan efektifnya, seperti pengamanan di kalangan “tokoh politik”, apalagi kalangan “birokrat” atau kalangan “militer”?
Kelima, bukankah wawasan “ulama” senantiasa menghubungkan keperluan/tujuan maslahah “dunya wa al-akhirah”, sedangkan kalangan lain belum tentu seperti itu niatnya?
Keenam, layakkah fenomena semacam Quthub ini kita lalu menyimpulkan: itu sudah “takdir Allah SWT” begitu saja, tanpa beban empati kepadanya untuk tidak terulang kembali, tanpa kritisisme umat Islam, terutama bagi yang berkesempatan memegang wewenang dan kuasa?
Wallaahu a’lam.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Off The Record

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa



No Responses