Ijazah Jokowi Sebagai Barang Langka dan Politik Konservasi Dokumen

Ijazah Jokowi Sebagai Barang Langka dan Politik Konservasi Dokumen
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori

Di sebuah republik yang gemar melahirkan ironi, kadang kita menemukan fenomena yang begitu absurd sehingga ia melewati batas antara tragedi dan komedi. Salah satu yang paling menghibur—dalam cara yang pahit—adalah bagaimana sebuah ijazah bisa diperlakukan seperti barang langka yang harus dilindungi negara seolah-olah ia adalah spesimen terakhir dari peradaban yang punah.

Ijazah Jokowi, dalam konteks ini, tampaknya telah naik kelas dari sekadar dokumen akademik menjadi artefak politik yang disakralkan, sejenis benda yang tidak boleh disentuh, tidak boleh dipertanyakan, dan tampaknya hanya boleh dilihat oleh makhluk-makhluk tertentu yang memiliki izin konservasi tingkat dewa.

Jika ada warga negara biasa yang mencoba mendekati benda tersebut, reaksinya mirip ketika seseorang melangkah terlalu dekat ke kandang harimau langka: alarm berbunyi, aparat mendadak sigap, dan publik diimbau untuk tidak memberi makan rasa ingin tahu.

Dalam dunia konservasi, perlindungan berlebihan biasanya diberikan pada spesies yang hampir punah. Di Indonesia, rupanya perlindungan itu kini berlaku juga pada dokumen akademik.

Kelucuan ini makin terasa ketika kita mengingat bahwa Hari Guru baru saja lewat. Itu hari ketika bangsa seharusnya mengenang para pendidik yang mengajarkan:
berpikir jernih, menanyakan yang perlu ditanyakan, serta memeriksa bukti sebelum percaya.

Namun semua ajaran itu mendadak tampak tidak laku ketika berhadapan dengan satu dokumen yang harus diperlakukan layaknya mantra suci kerajaan Majapahit.

Guru mengajarkan kita bahwa ijazah hanyalah bukti administrasi dari proses panjang. Tapi negara kini memperlakukannya seperti kaca pecah terakhir yang menahan runtuhnya sebuah narasi besar.

Dan lucunya lagi, semakin dilindungi, semakin terasa “langka”-nya. Semakin dilarang dipertanyakan, semakin publik penasaran: Jangan-jangan ini bukan sekadar ijazah… mungkin ini benda langka yang hanya ada satu di dunia.

Seolah-olah, dari ribuan alumni UGM, hanya satu yang harus dijaga ketat dengan standar keamanan level museum harta karun.

Perlindungan berlebihan itu menciptakan humor politik yang nyaris sempurna—humor yang tidak perlu punchline karena kenyataan sudah cukup menggelikan.

Bayangkan sebuah adegan:

Seorang warga bertanya soal dokumen pendidikan, yang dalam logika akademik biasa adalah hal paling lumrah. Tidak ada institusi pendidikan yang merasa terancam ketika lulusannya diverifikasi. Bahkan universitas-universitas besar dunia justru bangga ketika data alumninya dibuka.

Tapi di sini? Begitu ada pertanyaan, mendadak negara melakukan manuver konservasi tingkat tinggi: Pernyataan resmi muncul. Klarifikasi bertumpuk. Narasi dibangun seolah ada upaya penistaan pada dokumen suci. Dan aparat tampil seolah melindungi fosil dinosaurus yang hanya tinggal satu fragmen.

Semua ini membuat publik mengira: “Wah, jangan-jangan ijazah ini memang lebih langka daripada harimau Jawa yang punah itu.”

Padahal, yang dipertanyakan bukan fosil. Hanya ijazah. Dokumen akademik. Barang yang, dalam kehidupan normal, tidak pernah butuh satpam.

Kelucuan ini menjadi satire sosial yang sangat telak. Sebab semakin negara membentengi dokumen itu, semakin tampak bayangan besar di belakangnya—bayangan tentang rapuhnya ruang dialog dan transparansi.

Dalam tatanan etika pendidikan, kebenaran tidak perlu dijaga oleh aparat. Ia cukup ditunjukkan Guru mengajarkan itu sejak SD: “Kalau benar, tunjukkan buktinya.”
Tidak perlu satu pleton penjaga moral nasional.

Ironi menjadi semakin gelap ketika kita menyadari bahwa perlindungan berlebih terhadap sebuah ijazah justru mencederai profesi guru. Guru telah menghabiskan hidup demi membangun integritas para murid. Mereka mengajarkan bahwa kejujuran tidak boleh ditawar. Mereka memaksa murid menjawab jujur walau nilainya merah.

Tetapi ketika negara memperlakukan dokumen pendidikan sebagai benda yang tidak boleh diuji, apa yang dirasakan guru?

Rasa pahit. Rasa bahwa kerja keras mereka dianggap remeh.Rasa bahwa negara tidak percaya dengan dunia pendidikan itu sendiri.

Kelucuan politik kadang bekerja seperti itu.

Semakin negara berusaha terlihat kuat, semakin yang terlihat justru kelemahan moralnya. Semakin negara membentengi dokumen, semakin terlihat bahwa bukan dokumennya yang rapuh, melainkan narasi yang membungkusnya.

Humor gelap ini membuat kita bertanya: Apa sebenarnya yang sedang dilindungi? Ijazahnya? Ataukah gagasan bahwa kebenaran bisa direkayasa?

Di negeri ini, kadang sangat sulit membedakan mana perlindungan dan mana pengaburan. Keduanya memakai pakaian yang sama: aparat.

Di akhir cerita, ada hal yang jauh lebih penting dari dokumennya: kebenaran menjadi barang langka. Dan ketika kejujuran lebih langka daripada dokumen yang dijaga, kita sebenarnya sedang memasuki periode politik yang tidak sehat.

Sebab transparansi semestinya bukan barang konservasi. Ia seharusnya menjadi bagian paling normal dari demokrasi.

Jika sebuah ijazah saja harus diperlakukan seperti artefak langka, lalu apa yang bisa kita harapkan dari dokumen negara lainnya?

Pada titik ini, kelucuan berubah menjadi peringatan: Bahwa negara yang terlalu serius melindungi dokumen, biasanya sedang menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih serius daripada dokumennya.

Dan mungkin—hanya mungkin—itulah alasan mengapa ijazah itu diperlakukan seperti benda langka: bukan karena penting, tetapi karena cahaya bisa terlalu menyakitkan bagi mereka yang membawanya dalam gelap.

Surabaya, 25 November 2025

Tentang Penulis :

Kolumnis dan Akademisi, Pengajar Psikologi Komunikasi dan Transaksional Analisis, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim, aktif menulis opini dan essay sosial, politik, pendidikan, kebudayaan dan kebijakan kebijakan sosial di media cetak maupun online.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K