Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional

Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
(Pengasuh Padepokan Seni dan Bahari Gunung Anyar, Surabaya)

Sejak Jumat sore 27/7 saya menghadiri acara Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional yang diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama di Hotel Menara Peninsula, Slipi, Jakarta. Beberapa minggu sebelumnya saya bersama kawan2 Jawa Timur diminta oleh Kyai M. Maksum Bondowoso selaku _Steering Committee_ acara ini untuk menyiapkan beberapa draft keputusan Ijtima’.

Sebagai cantrik “Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi” FISIP Universitas Airlangga, Saya memberanikan diri mengungkapkan ke publik suasana kebathinan sekitar 500 peserta Ijtima’ ini yang datang dari seluruh Indonesia dengan latar belakang yang sangat beragam : pengusaha, pembina pesantren, pengurus organisasi massa Islam, akademisi, aktivis Islam, dan tentu saja para ulama sepuh. Mereka datang dengan sikap yang hampir sama : bahwa mereka merasa dipinggirkan dalam arus utama pembangunan nasional oleh pemerintah saat ini. Dalam derajad tertentu justru merasa diperlakukan secara dzalim oleh Pemerintah saat ini.

Analisis peserta Ijtima’ ini sampai pada kesimpulan bahwa marginalisasi ummat Islam di Indonesia adalah bagian dari rancangan besar untuk melemahkan Islam di Indonesia lalu menjadikan ummat Islam sebagai penonton pembangunan dan Indonesia jatuh dalam penjajahan baru nekolimik seperti yang dikhawatirkan Bung Karno dahulu. Pemerintah saat ini makin dipersepsi sebagai bagian dari kekuatan besar yang sedang meminggirkan Islam dan melemahkan ummat Islam Indonesia.

Para musyawirin Ijtima’ melihat bahwa pendekatan dan perlakuan Pemerintah pada Ummat Islam Indonesia saat ini keliru. Namun kekeliruan ini bersifat sistemik yang dimulai sejak era Reformasi bergulir 20 tahun lalu, kemudian justru semakin parah di era Jokowi. Misalnya saja praktek demokrasi _one-man one-vote_ yang makin tidak efisien sekaligus meninggalkan prinsip-prinsip _musyawarah bil hikmah_ . Pengelolaan ekonomi telah menjerumuskan Pemerintah dan swasta kedalam kubangan hutang yang makin besar diiringi dengan beban pajak yang makin memberatkan masyarakat. Juga ketimpangan sosial ekonomi yang makin serius. Ijtima ini menyepakati bahwa akar persoalan kita saat ini, termasuk kebangkitan politik identitas serta fragmentasi multi-dimensi, terutama disebabkan oleh platform kehidupan bersama yang sudah jauh melenceng dari jati diri bangsa Indonesia yang telah dirumuskan secara cemerlang dalam Pembukaan UUD45 dan ditegaskan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami proses *deformasi* sejak UUD’45 diamandemen berkali-kali selama 1999-2004 menjadi sebuah UUD baru yang sama sekali berbeda sehingga menamainya sebagai UUD45 adalah sebuah kebohongan publik terbesar sejak era reformasi. Tidak ada _hoax_ yang lebih menyesatkan dari penyebutan UUD hasil amandemen ini sebagai UUD’45.

Jadi menjadikan Pemerintah Jokowi saat ini sebagai satu-satunya yang paling bertanggung jawab atas marginalisasi ummat Islam Indonesia adalah membidik musuh yang keliru. Pilihan memusuhi Pemerintah saat ini sangat menggoda apalagi dengan setumpuk data yang ada. Tentu lebih parah lagi jika Pemerintah saat ini justru tidak menyadarinya lalu bahkan memusuhi ummat Islam Indonesia dengan menjadi pemerintah boneka yang melayani kepentingan nekolimik asing. Pendekatan yang tampak _islamophobic_ pada beberapa ormas Islam, kriminalisasi ulama, lalu tuduhan gerakan-gerakan radikal bahkan teroristik di kampus-kampus adalah kesalahan-kesalahan turunan ( _derived policy mistakes_) saja.
Semua Pemerintahan era reformasi tidak menyadari bahwa musuh negeri ini bukan Islam tapi nekolim yang diam-diam lalu semakin blak-blakan menjarah kemandirian dan kedaulatan bangsa serta merampas martabat ummat Islam sebagai _shareholders_ terbesar Republik ini.

Rekomendasi utama Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional ini adalah bahwa semua elemen bangsa harus segera *kembali ke UUD’45 yang dijiwai oleh Pembukaannya* serta merujuk kembali pada versi UUD45 hasil Dekrit Presiden itu. Jika ini tidak segera dilakukan, maka polarisasi akibat politik identitas yang makin mengeras akan memporakporandakan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ummat Islam Indonesia sebagai mayoritas akan lagi-lagi dirugikan.

Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional yang baru usai ini mengamanahkan bahwa semua musyawirin mendukung Capres dan Cawapres yang memiliki komitmen dan keberanian untuk kembali ke UUD’45 (jika perlu mengubahnya melalui addendum) untuk menghentikan trayektori kehidupan berbangsa dan bernegara RI yang mengarah ke jurang kehancuran, dan saat itu kekuatan nekolimik akan berpesta pora.

Cengkareng, 29/7/2018; menunggu _boarding_ balik ke Surabaya

Related Posts