Oleh: Budi Puryanto
Langit di atas Selat Makassar sore itu berwarna tembaga, laut bergulung pelan seperti sedang menahan napas. Dari dek kapal riset kecil milik pemerintah, Seno berdiri diam memandangi cakrawala yang mulai diselimuti kabut. Angin asin menyapu wajahnya, membawa bisikan samar dari radio amatir: “Untuk seluruh simpatisan Samudra Jaya, kita tak akan tunduk. Laut adalah milik rakyat, bukan korporasi asing atau birokrat busuk.”
Seno memejamkan mata. Kalimat itu sudah ia dengar ratusan kali dalam dua minggu terakhir. Tapi kali ini suaranya berbeda—lebih teratur, seperti dibacakan dari naskah. Ratna, isterinya, duduk disampingnya diam, seakan tahu apa yang dipikirkan suaminya.
“Ratna,” katanya pelan, “pesan propaganda mereka sudah disusun oleh tim profesional. Aku yakin ini bukan gerakan spontan.”
Ratna, yang duduk di ruang kemudi sambil membuka peta digital, menatap layar dengan wajah serius. “Sinyal sumbernya berpindah-pindah, tapi selalu dalam radius 30 mil laut dari Pulau Sabu. Mereka menggunakan kapal nelayan sebagai relay, berganti frekuensi tiap 15 menit.”
“Metode khas Gema,” gumam Seno. “Gerakan rakyat hanya kulitnya. Di bawahnya, ini operasi militer.”
Ratna mengangguk. “Aku sudah menganalisis logistik mereka. Dalam tiga bulan, ‘Samudra Jaya’ menerima suplai bahan bakar, radio, bahkan logistik dari pelabuhan-pelabuhan kecil yang sudah diambil alih perusahaan-perusahaan front Gema. Semuanya pakai nama koperasi nelayan.”
“Dan slogan mereka…”
Seno mengambil selebaran yang ditemukan di Parepare, dicetak dengan tinta biru laut: ‘Kami bukan pemberontak, kami penjaga samudra Nusantara dari tangan asing.’
Ia menatap Ratna lama.
“Padahal justru mereka yang membuka jalan bagi Imperium Tiga Samudra, korporasi imperialis baru, layaknya VOC pada masanya. ”
Malam turun cepat. Di kejauhan, cahaya merah dari mercusuar Pulau Sabu berkelip pelan. Di dek kapal, Seno dan Ratna duduk berdampingan, mendengarkan transmisi terenkripsi dari Jakarta. Suara Kolonel Aditya, kepala operasi kontra-spionase BIN, terdengar berat dan tegas:
“Presiden Pradipa memerintahkan pembentukan Tim Lautan Biru, operasi gabungan untuk menetralkan infiltrasi Gema di jalur perdagangan timur. Seno, kau ditunjuk sebagai kepala analis lapangan. Ratna ikut sebagai penasihat logistik dan sosial-ekonomi.”
Seno hanya mengangguk.
“Apakah Presiden sudah tahu bahwa ‘Samudra Jaya’ dikendalikan oleh Gema?”
“Belum sepenuhnya. Data masih fragmentaris. Tapi kami punya bukti transfer dana dari salah satu cabang Imperium Tiga Samudra di Manila, mengalir ke rekening yayasan maritim lokal. Gema menggunakan mereka sebagai kanal legal.”
“Jadi ini tahap kedua dari rencana mereka,” ujar Ratna pelan. “Setelah gagal menggulingkan pemerintahan lewat kudeta, mereka beralih ke laut—menguasai arteri perdagangan dan sumber energi.”
“Benar,” sahut Kolonel Aditya. “Dan kita tidak bisa membiarkan laut Nusantara menjadi panggung baru untuk perang bayangan mereka.”
Tiga hari kemudian, Seno dan Ratna tiba di Kupang. Dari pelabuhan Tenau, mereka menyamar sebagai peneliti lingkungan laut. Namun laporan intelijen lokal mengungkap sesuatu yang lebih mengkhawatirkan: sebagian nelayan mulai menyebut pemimpin Samudra Jaya sebagai “Ratu Gelombang”—sosok perempuan misterius yang konon menghilang di perairan Flores dua tahun lalu.
Seno tertarik. “Nama sandi?”
Petugas lokal, Letnan Muda Haris, mengangguk. “Ya, tapi tidak ada catatan identitas. Mereka percaya dia jelmaan pejuang laut kuno, semacam mitos pembebas samudra. Tapi data kami menunjukkan dia mantan aktivis maritim yang direkrut oleh Gema.”
“Propaganda spiritual,” komentar Ratna. “Mereka mencampur mistisisme lokal dengan politik global.”
Haris menambahkan, “Dan mereka sudah mulai mendirikan ‘pos rakyat’ di pesisir, lengkap dengan lambang baru: tiga gelombang melingkar membentuk matahari. Kami yakin itu versi lain dari simbol Gema Rakarsa.”
Seno berjalan di dermaga yang sunyi, mendengar debur ombak menghantam tiang kayu. Dalam pikirannya, lautan tak lagi sekadar bentang alam; ia telah menjadi medan perebutan makna dan kekuasaan. Ia ingat kalimat Presiden Pradipa seminggu lalu: “Jika mereka menguasai laut, mereka menguasai masa depan.”
Ratna mendekat, menyodorkan data baru dari laptopnya. “Aku baru dapat citra satelit dari PSC. Ada pergerakan kapal logistik tanpa bendera di perairan Alor, malam ini. Pola rutenya aneh—seperti sengaja menghindari radar sipil.”
“Gema sedang mengirimkan sesuatu,” gumam Seno.
“Mungkin senjata, atau sistem komunikasi bawah laut.”
Ratna menatap laut, wajahnya muram.
“Kadang aku berpikir, mereka tak hanya ingin kekuasaan. Mereka ingin menciptakan tatanan baru—di mana kebenaran bisa direkayasa, dan laut menjadi simbol pembebasan palsu.”
Sandi dari Masa Lalu
Malam itu, radio menangkap sinyal lemah dari arah timur. Suara perempuan, terpotong-potong oleh gangguan gelombang.
“Kepada seluruh armada Samudra Jaya… tugas kita belum selesai… jangan percaya pada mereka yang mengaku pemerintah… laut adalah rumah kita…”
Seno langsung merekamnya, lalu menganalisis frekuensi.
“Ini suara dari arah Pulau Pantar. Aku kenal gaya komunikasinya,” katanya. “Ini bukan aktivis biasa. Ini suara Raisa Kartanegara.”
Ratna terbelalak. “Raisa? Bukankah dia mantan perwira komunikasi laut yang hilang saat operasi Bayangan Timur?”
“Ya,” jawab Seno, perlahan. “Dan dia adalah agen Gema yang paling berbahaya. Kalau dia yang memimpin Samudra Jaya, maka ini bukan gerakan rakyat. Ini pengkhianatan yang dikemas dengan idealisme.”
Fajar menyingsing di timur. Kapal Seno bergerak perlahan meninggalkan dermaga Kupang, menuju laut terbuka. Di kejauhan, samar-samar terdengar nyanyian nelayan, namun Seno tahu, di balik nyanyian itu, sedang berdenyut operasi propaganda besar.
Ratna menatap laut sambil berbisik, “Kadang aku takut, Sen. Bahwa bangsa ini akan percaya pada kebohongan yang paling indah.”
Seno menatap cakrawala, matanya tajam tapi muram. “Kebohongan bisa jadi lebih berbahaya dari senjata, terutama bila dikemas sebagai perjuangan.”
Angin kembali bertiup. Di layar radar, titik-titik kecil mulai muncul, bergerak cepat dari arah timur.
“Kontak visual terdeteksi,” ujar Ratna.
Seno berdiri tegak. “Mulai rekam semua sinyal. Operasi Lautan Biru baru saja dimulai.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik
Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam
Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) Penjajahan Tanpa Senjata
Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon
Related Posts
 - “Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya
 - Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon
 - Habil Marati: Jokowi Mana Ijasah Aslimu?
 - Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi
 - “Purbayanomics” (2): Pemberontakan Ala Purbaya: Rekonstruksi Ekonomi Nasional
 - “Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?
 - Umat Islam Jangan Diam, Israel Mulai Menjalankan Rencana Jahatnya: Merobohkan Masjid Al Aqsa
 - Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata
 - Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global
 - Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

 
	
No Responses