Indeks Demokrasi: Merosot

Indeks Demokrasi: Merosot
Ilustrasi

Oleh: Boedi Dewantoro

Tahun 2024, indeks demokrasi Indonesia merosot jauh. Semula tahun 2014 di posisi ke 63, sekarang di posisi ke 87, dengan skor 0,36. Demikian menurut V-Dem Institute, University of Gothenburg, Swedia.

Indonesia menjadi negara yang semakin bobrok demokrasinya meskipun ada Pemilihan Umum. Pemilu 2024 disebut sebagai paling brutal di sepanjang sejarah republik. Hanya ada prosedur demokrasi, tapi miskin nilai dan substansi. Alias demokrasi tanpa etika.

Dua periode terakhir, penguasa mewariskan otorianisme. Orang banyak terkecoh oleh gimik dan citra “merakyat”, “blusukan”, “kerja, kerja, kerja”, “orang baik memilih orang baik”. Meskipun terkesan tidak provokatif dan tidak frontal dalam menghadapi kritik.

Ia telah menghancurkan tesis “orang baik”, yang pernah menjadi harapan besar kebanyakan orang Indonesia. Dulu, banyak pemuja dari kalangan budayawan semisal Gunawan Muhammad, Butet Kertarejasa, tapi akhirnya kecewa berat. Lewat monolognya Butet malah bilang, “asuwog”.

Rakyat pernah kepincut dengan janji janji kampanyenya, dan ia memang ngegas dengan membangun infrastruktur dan menggenjot investasi, yang diyakininya sebagai prasyarat untuk memajukan Indonesia.

Berangkat dari paradigma ini, yang dianggap sebagai penghambat, disingkirkan. Makanya ia tidak berminat soal penegakan HAM, ataupun isu lingkungan. Bahkan independensi KPK dianggap mengganggu iklim investasi.

Setelah berhasil mengkonsolidasikan partai partai pendukungnya di parlemen, di 2019 KPK berhasil dulumpukan lewat revisi Undang Undang KPK. Akhirnya KPK tidak lagi independen, ia telah menjadi rumpun eksekutif dengan presiden sebagai penentu dan pengendali.

Setelah itu, ada 75 Undang Undang yang “dikoordinasikan”, dengan menghilangkan pasal pasal yang diangggap bisa menghambat investasi, dan jadilah Omnibus law Undang Undang Cipta Kerja. Tujuannya untuk memanjakan investor, tidak memihak pada buruh dan isu lingkungan.

Menjelang berakhirnya berkuasa, ia hendak merevisi konstitusi agar bisa menjabat tiga periode, tapi gagal karena diprotes secara luas, dan mandegnya dukungan partai partai.

Tapi berhasil lewat jalur Mahkamah Konstitusi, yang diketuai adik iparnya, dengan mengubah Undang Undang Pemilu, untuk meloloskan anak sulungnya yang belum cukup umur untuk menjadi cawapres.

Yang paling anyar dan ramai dikritik oleh para intelektual adalah kembalinya tentara ke lembaga lebaga sipil, tentara boleh berbisnis, ini dianggap paling mencederai amanat Reformasi 1998.

Lawan politik dipukul melalui kasus kasus hukum, lewat KPK, polisi, dan jaksa. DPR hanya menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah, sehingga tidak ada lagi checks and balanches.

Belum lagi cawe cawe kepada anak, menantu, “kolega Solo”, para ajudan, dengan mengerahkan aparatur negara, bansos, dalam kompetisi pilkada, setelah gagal untuk tiga periode.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini tidak ada gelombang demonstrasi besar mahasiswa seperti 1998. Tidak ada perlawanan publik karena simpul simpul intektual telah direkrut dalam lingkaran kekuasaannya. Ikut menentukan pemilihan rektor perguruan tinggi, sehingga kampus bisa terkondisi.

Hal baru adalah pengerahan buzzer dalam pertarungan wacana di media sosial. Tidak hanya itu, para pengkritik diteror keluarganya seperi yang dialami Kwik Kian Gie, Prof.Kunvoro dari UGM dan lainnya. Ketua ketua BEM yang pernah memimpin demo, keluarganya mendapat telpon gelap.

Dulu ada tesis “orang baik”, karena ia bukan konglomerat, bukan aktivis, dan bukan pemilik partai politik. Tapi di menjelang akhir kisahnya, ia sukses melumpuhkan sendi sendi demokrasi yang telah susah payah dibangun oleh Reformasi.

Kita tidak hanya mewarisi utang yang menggunung, tapi juga bangunan anti demokrasi, yaitu : dinasti politik.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K