Oleh Tim Investigasi Politik
JAKARTA – Ketika video berdurasi 2 menit 23 detik muncul di akun @reflyharun_official pada 3 Oktober 2025, hampir tak ada yang menyangka bahwa potongan itu akan menjadi bahan bakar besar bagi ledakan isu politik yang lama dianggap padam: keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun kali ini, tuduhannya lebih ekstrem.
“Yang palsu bukan hanya ijazahnya, tapi Jokowinya sekaligus,” ujar Dr. Zulkifli, dosen Universitas Airlangga (Unair), dengan nada tenang namun menusuk.
Video itu hanya berlangsung singkat. Tapi efeknya panjang — menyebar seperti percikan api di ladang kering. Dalam waktu 18 jam, tayangan tersebut sudah menembus 1 juta views, dan menjadi trending di TikTok, X (Twitter), Telegram, dan YouTube.
Gelombang Pertama: Viral di TikTok
Jejak pertama penyebaran terjadi di TikTok. Menurut analisis data dari platform pelacak Social Blade, video tersebut disebarkan ulang oleh sedikitnya 210 akun kloningan politik dalam 24 jam pertama. Akun-akun ini menggunakan tagar seragam:
#JokowiPalsu #IjazahMisterius #ReflyHarun
Sebagian besar akun itu berumur muda — dibuat setelah Agustus 2025, dengan aktivitas repost cepat dan komentar berskema naratif:
“Bangsa ini ditipu sejak 2014.”
“Kalau benar, kenapa takut buka data?”
Aktivitas serempak ini menunjukkan pola operasi bot politik, atau minimal koordinasi manual terstruktur.
Gelombang Kedua: Narasi Dipindahkan ke X dan Telegram
Sekitar 36 jam kemudian, narasi berpindah ke X (Twitter) melalui akun-akun oposisi lama yang pernah aktif pada Pilpres 2024. Salah satu akun dengan engagement tertinggi adalah @LensaPolitikID, yang menulis:
“Dosen Unair bongkar fakta besar di kanal Refly Harun: bukan cuma ijazah, tapi Jokowi-nya juga palsu. Negara ini sudah tertipu 10 tahun!”
Unggahan itu dilihat lebih dari 2,3 juta kali hanya dalam dua hari, lalu disalin ke grup Telegram “Koalisi Kedaulatan Bangsa” yang beranggotakan lebih dari 100 ribu orang. Di sinilah narasi mulai bercabang — sebagian mengarah ke teori “identitas ganda”, sebagian lain ke “konspirasi global”.
Gelombang Ketiga: YouTube dan Manipulasi Visual
Beberapa kanal YouTube “alternatif” segera memproduksi video baru dengan judul sensasional seperti:
“TERBONGKAR! Jokowi Asli Sudah Lama Hilang?”
“Zulkifli Ungkap Jokowi Kloningan – Fakta yang Ditutupi Negara.”
Tim analisis menemukan bahwa video-video ini menggunakan thumbnail manipulatif dengan wajah Jokowi di-morphing menjadi dua versi berbeda — teknik visual yang sering digunakan dalam strategi framing kognitif, untuk memicu rasa curiga dan emosi publik.
Zulkifli dan Refly Harun: Dua Tokoh, Dua Narasi
Dosen Unair Dr. Zulkifli dikenal aktif dalam forum diskusi akademik dan beberapa kali mengkritik kebijakan pemerintah, terutama terkait etika publik dan kepemimpinan nasional. Dalam video viral itu, ia mengklaim telah menelusuri “anomali dokumen kependudukan dan arsip pendidikan Jokowi”.
Refly Harun, mantan Staf Khusus Presiden era SBY dan ahli hukum tata negara, dikenal sebagai fasilitator wacana publik yang sering menampilkan narasumber dari dua kubu politik. Namun kali ini, ruang diskusinya berubah jadi panggung ledakan isu.
“Saya tidak mengarahkan. Saya membuka ruang diskusi. Kalau salah, ya bantah dengan data,” ujar Refly dalam klarifikasi di YouTube-nya.
Namun klarifikasi itu tak mampu menahan arus. Narasi sudah terlanjur berputar di ruang publik tanpa kontrol sumber.
Reaksi Pemerintah dan Aparat
Pihak Istana Negara tidak mengomentari langsung, namun sumber dari Kemenkominfo menyebut bahwa tim Direktorat Jenderal Aptika sedang memantau lebih dari 500 akun penyebar aktif isu “Jokowi palsu” yang terindikasi berasal dari jaringan lintas platform.
Sementara itu, sejumlah relawan pro-Jokowi melaporkan Zulkifli dan Refly ke Bareskrim Polri dengan tuduhan penyebaran hoaks dan fitnah terhadap pejabat negara.
“Kritik boleh, tapi jangan fitnah. Ini bukan lagi wacana ilmiah, ini serangan terhadap legitimasi negara,” ujar Koordinator Seknas Projo, Bambang Supriyadi.
Analisis: Pertarungan Narasi dan Krisis Legitimasi
Menurut Dr. Eko Prasetyo, pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, peristiwa ini memperlihatkan dua fenomena besar:
Krisis kepercayaan publik terhadap narasi resmi negara, akibat rendahnya transparansi data personal pejabat tinggi.
Kekuatan media sosial sebagai arena politik informal yang bisa membentuk persepsi massal dalam hitungan jam.
“Narasi ‘Jokowi palsu’ bukan tentang fakta semata, tapi refleksi dari ketidakpercayaan struktural masyarakat terhadap elite. Ia hidup karena ruang klarifikasi formal terlalu birokratis dan lamban,” ujar Eko.
Jejak Digital Terakhir: Dari Meragukan ke Mempercayai
Dalam riset yang dilakukan lembaga digital audit independen, DataSight Indonesia, ditemukan bahwa 68% penonton video Refly Harun–Zulkifli menonton hingga selesai — angka engagement yang luar biasa tinggi.
Lebih menarik lagi, 47% dari mereka menyatakan “percaya atau cenderung percaya” pada narasi yang disampaikan, bahkan tanpa bukti dokumen atau verifikasi.
Ini menandakan bahwa isu tersebut telah bergeser dari perdebatan akademik ke keyakinan sosial, sebuah wilayah yang jauh lebih sulit dilawan dengan logika.
Kesimpulan: Narasi yang Tak Pernah Selesai
Kasus ini menunjukkan bahwa di era politik digital, identitas pemimpin bukan hanya soal dokumen resmi, tapi soal narasi yang dipercaya oleh massa.
Selama publik merasa tidak dilibatkan dalam transparansi, teori dan tuduhan semacam ini akan terus muncul — berulang kali, dengan wajah dan platform berbeda.
Jokowi mungkin bukan lagi sekadar presiden yang diserang, melainkan simbol dari negara yang gagal meyakinkan rakyatnya sendiri tentang kebenaran.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Rezim Masih Dikotori Praktek Transaksional
Analisis PILPRES 2014 dan 2019: Kelemahan dan Keburukan Sistem Pilpres Langsung Dan Saran-Saran Perbaikan
Serasa Tidak Punya Presiden
Peran Ulama Dalam Dinamika Politik Umat
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Anton Permana: Waspada “Peta Panas Dunia” dan Mendesak Pembentukan Struktur Pertahanan Baru
Syahganda Nainggolan: Dari Aktivisme Kampus ke Wacana Kebangsaan
Ibrah – Lebih Baik Jadi Ketua RT/RW Dari Pada Jadi Presiden Mbladus Dan Mbelgedes
Yahya Zaini Pimpin Komisi IX DPR RI Kunker ke Kalteng: Perkuat Sinergi Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk Kesejahteraan Rakyat
Prabowo Temukan Tumpukan ‘Harta Karun’ Logam Tanah Jarang di Smelter Timah, Nilainya Bisa Capai Ratusan Triliun!
No Responses