Jabrohim: Idul Fitri di Persimpangan

Jabrohim: Idul Fitri di Persimpangan
Ilustrasi: Pawai Takbir Idul Fitri

Oleh: Jabrohim

IDUL FITRI DI PERSIMPANGAN

Sebentar lagi Idul Fitri mengetuk, namun di jalan-jalan, suara-suara pecah antara mereka yang bersorak dan mereka yang berbisik.

Rezim berganti, wajah tetap, kata-kata baru mengalir di bibir lama. Hukum menari di atas panggung tertutup, sembunyi-sembunyi mengetuk palu.

Rakyat tidak tuli, tidak buta, namun kerap dipaksa lupa. Nama-nama digoreskan di langit kekuasaan, sementara tanah tetap menanggung beban.

Demo meluap seperti sungai sebelum banjir, ada yang ditonton, ada yang diabaikan. Tuntutan berbaris rapi di udara, namun senyap di meja perundingan.

Di luar pagar, kepala babi dilempar, dibalas tawa dingin dari balik kaca gelap. Di mana batas antara kekuasaan dan kelakar? Apakah ini wajah baru dari wajah lama?

Malam takbir akan berkumandang, namun di hati banyak yang masih bertanya: Apakah kemenangan ini untuk semua? Atau hanya bagi mereka yang tetap di atas?

Idul Fitri datang membawa cahaya, tapi apakah kita siap menyalakannya?

Bantul, 29 Maret 2025

TEGAK DI AMBANG FAJAR

Di antara gemuruh waktu yang tak kenal ragu, kita berdiri, menimbang makna. Apakah fajar ini sekadar pergantian angka? Ataukah ia isyarat untuk bangun, bergerak, bertanya?

Puasa telah melatih tubuh dan jiwa, menghapus sisa debu yang melekat di hati. Tetapi benarkah kita telah merdeka, atau masih tunduk pada belenggu yang tak kasat mata?

Dunia gemerlap dengan kebenaran yang diperdagangkan, kata-kata suci dirapalkan seraya menutupi dusta. Di mimbar-mimbar, keadilan diteriakkan, namun di lorong-lorong gelap, ia dijual murah.

Jika kemenangan adalah sekadar perayaan, maka di mana cahaya yang dijanjikan? Jika Idul Fitri hanyalah tentang pakaian, maka apa bedanya dengan sandiwara tahunan?

Kita mengucap janji untuk berubah, namun masih bersandar pada sistem yang pincang. Kita berbicara tentang takwa, tetapi membiarkan kezaliman tumbuh subur.

Jalan menuju kebangkitan tak hanya doa, tetapi keberanian untuk menyusun kata dan aksi. Karena takwa bukan sekadar bisikan hati, melainkan keberpihakan pada kebenaran yang hakiki.

Hari ini kita berdiri di ambang fajar, bukan sekadar untuk merayakan, tapi untuk menakar diri: Akankah kita tetap tertidur dalam mimpi lama? Atau berani membuka mata, dan menulis ulang

Bantul, 30 Maret 2025

IDUL FITRI SEORANG SUFI: HARI RAYA YANG TAK TAMPAK

Hari raya bukan kain yang baru, bukan meja penuh hidangan, bukan jejak langkah yang sibuk mencari tangan. Hari raya adalah sesuatu yang tak tampak, seperti desir angin yang hanya terasa bagi mereka yang tahu cara mendengar.

Ia hadir dalam sepasang mata yang jernih, memantulkan kejujuran tanpa beban, Ia hidup dalam dada yang lapang, yang memahami bahwa maaf lebih berat dari amarah.

Lalu mengapa kita sibuk menghitung perayaan? Sedang yang dinilai bukanlah pesta, tetapi seberapa banyak ego telah kita lunaskan. Bukan suara takbir yang bergema, tapi seberapa dalam ia menggema di dada.

Takwa bukan sekadar langkah menahan, tapi keberanian untuk menimbang: apakah kita benar-benar telah menang? Atau hanya mengulang puasa sebagai ritual sambil membiarkan hati tetap lapar akan kejujuran?

Mereka yang berlari menuju ampunan, menyadari bahwa kemenangan bukanlah puncak, melainkan jalan yang terus ditempuh, langkah-langkah yang merapikan diri agar sejalan dengan kehendak-Nya.

Hari raya sejati tak perlu dirayakan, karena ia hidup dalam yang terus bertumbuh, yang menjadikan taqwa bukan sekadar kata, tapi cahaya yang menuntun, dalam diam, dalam terang.

Bantul, 31 Maret 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K