Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu

Jakarta 2030: Ketika Laut Sudah di Depan Pintu
Suasana di depan pusat kuliner atau food street kawasan Pantai Maju yang dahulu bernama Pulau D, Jakarta, Rabu (23/1). Area Food Street di kawasan Pantai Maju mulai beroperasi setelah disegel oleh Pemprov DKI. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

JAKARTA – Laporan terbaru dari BMKG dan Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkap bahwa permukaan laut di Teluk Jakarta naik sekitar 9 milimeter per tahun. Bila tren ini terus berlanjut tanpa mitigasi efektif, kawasan pesisir Ibukota bisa tergenang secara signifikan pada tahun 2030. Relokasi warga, peningkatan risiko banjir rob, dan gangguan infrastruktur menjadi semakin nyata.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyiapkan program besar bertajuk Jakarta Coastal Defense senilai sekitar Rp120 triliun untuk pembangunan tanggul, pompa air, dan revitalisasi wilayah pesisir. Namun aktivis lingkungan memperingatkan bahwa solusi beton saja bukan jawaban: konservasi mangrove, restorasi pantai, dan sistem drainase alami harus menjadi bagian integral strategi adaptasi.

Relokasi warga dari Muara Baru dan Kalibaru telah mulai dilakukan, namun prosesnya berjalan lambat dan menyisakan persoalan sosial: penduduk kehilangan mata pencaharian, nilai lahan tak jelas, dan kesiapan rumah pengganti masih diragukan. Selain itu, perubahan iklim juga mendorong hujan ekstrem dan badai yang lebih sering — kombinasi yang memperparah risiko bagi wilayah pesisir rendah.

Tantangan lainnya adalah pembiayaan jangka panjang. Proyek tanggul dan sistem pertahanan pesisir memerlukan investasi besar, tetapi kerugian yang dihindari — baik ekonomi maupun sosial — jauh lebih besar. Dengan tingginya biaya, kerja sama publik-swasta dan partisipasi komunitas menjadi kunci.

Lebih jauh, perubahan iklim bukan hanya soal kenaikan permukaan laut; dampaknya termasuk penurunan kualitas air tanah, intrusi air laut ke lahan pertanian, dan hilangnya habitat mangrove yang selama ini berfungsi sebagai pelindung alami. Bila mangrove terus rusak, maka daya tahan wilayah terhadap rob dan badai akan semakin menurun.

Untuk Jakarta dan sekitarnya, tahun 2030 bukan sekadar target; itu adalah batas waktu penyelamatan yang nyata. Jika langkah adaptasi tidak rampung, maka sebagian wilayah akan menjadi “laut tidak terduga”. Publik dan pembuat kebijakan harus bertindak cepat: mitigasi berbasis alam, edukasi warga, integrasi kebijakan di semua level pemerintahan, dan pendanaan yang transparan.

Secara simbolik, Jakarta di ambang pilihan: apakah menjadi kota yang tangguh dan adaptif terhadap perubahan iklim — atau menjadi korban perubahan yang tak tertangani. Harapan besar kini bertumpu pada keberanian kebijakan dan kesadaran kolektif.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K