Oleh: Muhammad Chirzin
“Teman terbaik sepanjang waktu adalah buku.” Demikian motto sejumlah buku Prof. Quraish Shihab. Maknanya, sebaik-baik aktivitas mengisi waktu luang adalah membaca buku. Edisi perdana Al-Quran, Al-‘Alaq/96:1-5, memuat dua kali perintah untuk membaca.
Apa yang terucap menguap, apa yang tersurat menetap, kata pepatah Yunani. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan buku. Jika engkau tidak ingin dilupakan orang setelah meninggal dunia, tulislah sesuatu yang patut dibaca atau perbuatlah sesuatu yang patut diabadikan dalam tulisan (Benjamin Franklin).
Kalimat “Jangan berhenti membaca!” meluncur dari mulut penulis di tengah perkuliahan tafsir Al-Quran. Kalimat itu pun segera penulis salin di papan tulis dengan susunan kata dan redaksi yang sama. Penulis ajukan pertanyaan kepada para mahasiswa, “Apakah maksud kalimat yang terucap dan Anda tangkap dengan pendengaran sama dengan kalimat yang tersurat lalu Anda tangkap dengan penglihatan?” mereka pun menjawab, berbarengan, “Samaaa…”
“Jika maksud keduanya sama, apa yang kalian pahami dari kalimat tersebut?” Mereka pun menjawab silih berganti, “Teruslah membaca!”, “Jangan berhenti membaca!”, “Membacalah terus-menerus!”, “Jangan lelah membaca!”, “Bacalah apa saja!”, “Banyak-banyaklah membaca!”, “Teruslah belajar!”
“Tidak salah jika Anda terus membaca, tidak berhenti membaca, membaca terus-menerus, tidak lelah membaca, atau membaca apa saja. Itu semua baik, maka lakukanlah! Tetapi, lebih dari itu, maksud saya, jangan hanya membaca, tetapi tindak lanjutilah pembacaan Anda dengan menulis. Membaca itu identik dengan mengkonsumsi, maka usai mengkonsumsi Anda harus memproduksi. Apa jadinya bila Anda hanya mengkonsumsi tanpa memproduksi. Ibarat orang yang mengkonsumsi makanan, apa jadinya bila makanan itu tetap disimpan dalam pencernaan?”
Dialog tersebut menggambarkan fenomena pemahaman. Bahwa setiap orang berhak memahami sesuatu pernyataan dengan kacamatanya.
Kajian Al-Quran belakangan bersentuhan dengan hermeneutika. Hal ini menimbulkan sikap pro-dan kontra. Muncullah pertanyaan: apakah hermeneutika diperlukan untuk memahami Al-Quran? Apakah ulumul Quran tidak cukup untuk memahami Al-Quran?
Hermeneutika adalah seni interpretasi. Asas hermeneutika ialah relasi segitiga: teks, pengarang, dan pembaca. Tugas pembaca adalah memahami teks dengan mempertimbangkan dan/atau tanpa mempertimbangkan pikiran pengarangnya.
Hermeneutika dengan segala macam alirannya dapat disederhanakan menjadi dua: yakni hermeneutika objektif dan hermeneutika subjektif. Hermeneutika objektif berorientasi mereproduksi makna, yakni mengungkapkan kandungan teks sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pengarangnya. Madzhab ini diwakili oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Menurutnya, penafsiran adalah memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan pengarang, sebab apa yang disebut dalam teks adalah ungkapan jiwa pengarangnya. Makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan penafsir dan pandangannya, melainkan diturunkan dari teks.
Dalam khazanah kajian tafsir orientasi hermeneutika objektif ini identik dengan pernyataan para ulama, “shahibul qauli a’lamu bima yaqulu – pemilik perkataan adalah yang paling tahu tentang apa yang ia katakan.” Dalam konteks Al-Quran, Allah swt adalah pihak yang paling mengetahui maksud dari firman-Nya.
Hermenutika subjektif, sebaliknya, berorientasi memproduksi makna baru, bukan makna yang diinginkan oleh pengarangnya, dengan asumsi bahwa teks adalah untuk dimaknai oleh pembaca, bukan penulis. Dengan demikian pembaca berhak sepenuhnya untuk memaknainya. Pembaca memiliki otoritas mutlak terhadap teks. Ketika teks lahir, pengarang dianggap mati. Dalam ungkapan yang sarkastis: persetan dengan pengarang! Madzhab ini dipelopori oleh Martin Heidegger (1889-1976).
Menurut Martin Heidegger, teks memiliki wujud tersendiri terlepas dari penulisnya, dan karena itu tidaklah penting mengetahui tujuan sang pengucap/penulis, tidak juga mitra bicara/yang dihadapinya pada masa terciptanya teks itu, tetapi yang penting pembacaan dan pemahaman penafsir/penakwil sesuai dengan pengetahuan mereka yang mendahului kandungan teks serta dugaan dan pertanyaan-pertanyaan mereka terhadap teks saat mereka berdialog dengannya.
Dalam konteks Al-Quran sebagai firman Allah swt apakah manusia bebas menafsirkan firman Allah swt menurut kehendaknya? Layakkah manusia menafsirkan Al-Quran melampaui maksud dan kehendak Ilahi? Adakah jaminan hermeneutika subjektif bahwa interpretasi manusia itu tidak berselisih/bertolak belakang dengan nash Al-Quran?
Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir menyatakan bahwa tidak semua ide yang diketengahkan oleh berbagai aliran dan pakar hermeneutika itu keliru atau negatif. Pasti ada di antaranya yang baik dan baru serta dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan, bahkan memperkaya penafsiran, termasuk penafsiran Al-Quran. Meski demikian, bisa jadi ada kesalahan dalam penerapannya.
Menurut Prof. Quraish Shihab, tidaklah wajar bagi pihak yang tidak menyetujui hermeneutika untuk menolaknya mentah-mentah secara keseluruhan. Ada pendapat pakar hermeneutika yang sejalan dengan pendapat ulama-ulama Islam, sebagaimana ada juga yang dengan sedikit penakwilan dapat mengantar ke penerimaan substansinya. Berikut contoh penafsiran ayat Al-Quran menggunakan pendekatan hermeneutika.
Fasaqa lahuma tsumma tawalla ilazh-zhilli faqala rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqir – Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS Al-Qashash/28:24)
Demikian terjemah ayat tersebut versi Tim Kemenag RI. Berikutnya terjemah versi Abdullah Yusuf Ali beserta tafsir atas ayat tersebut dan beberapa ayat sesudahnya.
Maka ia memberi minum untuk (ternak) kedua mereka, kemudian ia pun kembali ke tempat semula berteduh, dan berkata: “Tuhanku, sungguh aku memerlukan anugerah yang dapat Kauturunkan kepadaku.”
Kedua gadis itu pun pergi, sambil meninggalkan senyum di bibir dan rasa terima kasih dalam hati. Kenangan apa yang ada pada Musa setelah ia kembali ke tempatnya berteduh di bawah pohon? Ia bersyukur kepada Allah atas sepercik sinar yang baru saja dilihatnya. Adakah ia sudah mengerjakan suatu amal kebaikan? Suatu kesempatan yang sangat berharga yang telah ia kerjakan. Ia sudah mengatasi rasa dahaganya. Tetapi dia seorang musafir yang tak punya tempat tinggal, dan dalam hatinya sangat merindukannya sekali, tapi tak berani ia melukiskan dalam kata-kata.
Gembala-gembala itu tidak begitu akrab kepadanya. Benar-benar ia seperti seorang pengemis yang sangat sengsara. Betapa kecilnya pun barang yang ditemuinya selama dalam perjalanan ia merasa bersyukur sekali. Tetapi apa itu? – bayangan sebuah rumah tangga yang menyenangkan, dipimpin oleh seorang orang tua yang kaya dengan ternak, dan lebih kaya lagi dengan dua anak gadis, begitu bersahaja dengan kecantikannya. Barangkali dia tidak akan pernah melihat mereka lagi. Tetapi Yang Maha Kuasa memberikan sesuatu buat dia yang di luar dugaannya.
Musa baru saja beristirahat, salah seorang gadis itu datang kembali, melangkah dengan malu-malu. Dengan sopan santun ia menyampaikan pesan ayahnya. “Ayah sangat berterima kasih atas bantuanmu kepada kami. Beliau mengundangmu, karena beliau ingin menyampaikan rasa terima kasih itu secara pribadi kepadamu, dan setidak-tidaknya ingin membalas jasa atas segala kebaikanmu.”
Tak ada yang lebih pantas mendapat sambutan daripada pesan serupa itu, dan melalui utusan itu pula. Sudah tentu Musa berangkat dan menengok orang tua itu. Yang dijumpainya ialah seorang kepala rumah tangga yang begitu teratur. Orang tua itu merasa bahagia dengan putri-putrinya itu, juga mereka merasa senang atas kedatangan Musa. Ada saling percaya antara mereka. Orang asing itu mereka lukiskan kepadanya dalam kata-kata yang membuat sang ayah terlebih dahulu dapat mengambil kesimpulan. Sebaliknya Musa, dibiarkan khayalnya menerawang jauh, menggambarkan orang tua itu dalam suasana keagungan, sehingga membuat kedua putrinya tampak di matanya seperti malaikat. Serta merta kedua orang itu jadi akrab.
Kepada orang tua itu Musa menceritakan pengalamannya, siapa dia, bagaimana ia dibesarkan, dan bagaimana nasib buruk menimpa dirinya sehingga ia keluar dari Mesir. Barangkali seluruh keluarga, termasuk kedua putrinya itu mendengarkan kisah Musa sambil menahan napas. Barangkali keheranan dan kekaguman mereka bercampur dengan semacam rasa kasihan – lebih-lebih lagi barangkali dengan perasaan yang lebih halus, pada gadis yang tadi menjemputnya.
Barangkali pesona tertentu bergema pada gadis itu. Bagaimananpun juga orang asing itu telah mendapat tempat dalam hatinya. Orang tua itu, kepala rumah tangga, memberi jaminan kepadanya dengan keramahan dan ketenangan tinggal di rumahnya. Sebagai orang yang kaya dengan pengalaman hidup ia memberi selamat kepadanya atas pelariannya itu. “Siapa yang mau tinggal di tengah-tengah orang yang zalim? Syukurlah kau sudah lepas dari mereka!”
Sejenak waktu sudah berlalu. Bagaimanapun juga seorang tamu tak dapat tinggal selama-lamanya. Mereka semua sepakat, sebaiknya ia tinggal bersama mereka. Gadis yang telah jatuh hati kepadanya mengutarakan isi pikiran yang tak terkatakan. “Kenapa tidak mengupah dia saja mengurus ternak? Ayah sudah tua, dan orang yang masih muda diperlukan untuk mengurus ternak. Dan – barangkali masih ada sekian lagi kemungkinan-kemungkinan yang lain. Kuat dan jujur sudah dibuktikan oleh Musa, dan bawaan laki-laki demikian inilah yang paling dikagumi perempuan yang mencintainya.
Sejenak waktu telah berlalu, dan akhirnya sang ayah memulai pembicaraan mengenai perkawinan. Tidaklah pada tempatnya seorang pengembara akan mendahului pembicaraan mengenai adanya tali perkawinan yang akan mengikat itu, terutama bila diukur dari segi kekayaan duniawi, keluarga gadis itu lebih unggul, dan mereka sudah mempunyai kedudukan tetap, sementara dia hanya seorang pengelana. Sang ayah bertanya kalua-kalau ia sudi dikawinkan dengan salah seorang putrinya itu dan tinggal menetap bersama, sekurang-kurangnya untuk selama delapan tahun, atau kalau dia mau sepuluh tahun, tapi untuk waktu yang lebih lama itu terserah kepadanya.
Kalau Musa tidak membawa maskawin, maka masa kerjanya selama itu sudah lebih dari cukup sebagai pengganti maskawin. Gadis yang dimaksud itu tentu lama sebelumnya dengan diam-diam sudah mengambil ketetapan. Sebab kedua hati muda itu sudah saling tertarik. Oleh Musa usul itu disambut dengan segala senang hati. Mereka mensahkannya dengan penuh khidmat, disertai permohonan kepada Allah swt.
Mengetahui peranan anak menantunya itu, dengan sungguh-sungguh orang tua memberikan jaminan kepadanya bahwa bagaimanapun juga ia tidak akan menggunakan kesempatgan dari kedudukannya untuk menjadi seorang majikan atau memaksakan sesuatu yang tidak sejalan dengan kehendak Musa. Masa depannya yang baru harus terbuka buat dia. Dan setelah masa percobaan kerjanya itu selesai masa depan yang baru dan gemilang memang sedang menantinya.
Untuk menafsirkan maksud permohonan Musa yang tersurat dalam QS 28:24 terdahulu, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqir – Tuhan, sungguh aku amat sangat mendambakan uluran kebaikan dari hadirat-Mu.” penulis menggunakan sumbangan wawasan hermeneutika.
Ibnu Jarir ath-Thabari maupun Ustadz Qurasih Shihab menafsirkan kata khair dalam ayat tersebut sebagai makanan. Argumentasinya bahwa itulah yang paling dibutuhkan oleh Musa setelah menempuh perjalanan dari Mesir ke Madyan. Secara harfiah khair berarti kebaikan, sesuatu yang baik, tetapi dapat pula mengandung arti beberapa hal yang baik.
Dengan melacak peristiwa terdahulu sebelum Musa pergi ke Madyan, dan membaca narasi Al-Quran pada ayat-ayat berikutnya penulis menafsirkan khair dalam doa Musa pada ayat tersebut demikian. Selain bermakna makanan, kata khair yang diterjemahkan oleh Abdullah Yusuf Ali sebagai anugerah, penulis memahaminya lebih dari sekadar makanan. Sebagai pengembara Musa tentu membutuhkan tempat berteduh dan perlindungan serta jaminan keselamatan.
Musa memanjatkan doa tersebut adalah setelah ia menolong dua putri orang tua yang dikenal oleh para mufasir sebagai Nabi Syu’aib. Wajar bilamana Musa terkesan oleh kedua putri yang menjalankan tugas yang biasanya dilakukan laki-laki.
Manakala salah satu putri itu atas perintah orang tuanya menghampiri Musa untuk mengundangnya ke rumah, boleh jadi Musa amat terkejut, karena doa yang baru selesai ia panjatkan mendadak terkabulkan.
Dari percakapan orang tua dan Musa serta interupsi salah satu putri, sang orang tua memutuskan untuk menikahkan Musa dengan salah satu putri tersebut. Maharnya Musa bekerja pada keluarga itu selama delapan tahun, dan bila Musa sukarela dapat menggenapkannya menjadi sepuluh tahun.
Dari uraian tersebut penulis memaknai khair dalam doa Musa itu meliputi makanan, perlindungan, tempat berteduh, jodoh, dan pekerjaan. Jika atas kepemurahan Allah swt Musa mendapat anugerah bermacam-macam, maka siapa saja layak memanjatkan doa yang sama untuk memohon keselamatan, kemudahan urusan, kelapangan dan keberkahan rezeki, tambah ilmu, memperoleh jodoh, pekerjaan, jabatan, tempat tinggal, anak keturunan yang saleh, senantiasa bersyukur, tobat sebelum mati, dan rahmat ketika mati, serta ampunan setelah mati dan terhindar dari neraka serta ampunan pada hari perhitungan, dan lain sebagainya.
Penulis memang harus lebih banyak membaca daripada menulis.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Misteri Kebahagiaan

Masa Depan ITS

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Presiden Pasang Badan Untuk Jakowi Dan Luhud B. Panjaitan

Saya Muslim..

Informaliti

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan



No Responses