Oleh: Ahmad M. Sewang
Di tahun delapan puluh tujuh yang bersinar,
Langkahku tiba di Jakarta yang berdebu dan liar,
Belajar pada seorang maestro pemikir besar,
Sutan Takdir Alisjahbana — sang STA yang tajam dan segar.
Meski sosoknya dikata sosialis,
Sebagian sahabat bersuara pesimis,
Namun Harun Nasution, sang direktur yang idealis,
Berkata: “Kenali, pahami—itulah cara akademis.”
Aku diam, menimbang dalam diamku,
Menadah hikmah dari telaga ilmunya yang syahdu.
Tak lama berselang, ilmu diuji di dunia nyata,
Saat Paguyuban Mandar menggelar Halalbihalal penuh makna.
Kukaji kembali ajaran STA yang bijaksana,
Bahwa manusia berpijak pada dua budaya:
Yang satu emosional, menggelegak dari rasa,
Yang satu rasional, lahir dari nalar dan cita.
Di desa, kata beliau, emosi lebih bertahta,
Pertengkaran bisa meledak, selapis demi selapis dibuka.
Rahasia disebar seperti abu di udara,
Bahkan ayam musuh pun bisa turut jadi sasaran cerca.
Namun di kota, rasionya mulai bicara,
Semakin terdidik, semakin bijak mengelola luka.
Masalah didudukkan, dibatasi cakrawala,
Agar persoalan tak menular menjadi bara.
Dari kuliah itu aku mendapat cahaya,
Bahwa belajar bukan sekadar menumpuk kata,
Tapi menggeser emosi yang meledak sia-sia,
Menumbuhkan rasio dalam dada manusia.
Maka kutulis ini sebagai kenangan dan pelita,
Bahwa belajar adalah jalan menuju dewasa,
Volume emosi tak perlu dihapuskan semua,
Tapi diramu dengan nalar dalam kadar yang bijaksana.
Wassalam,
Kompleks GFM, 30 Juni yang ramah,
Kuucapkan terima kasih kepada mereka yang memberi arah,
Terutama STA — sang guru dalam cahaya sejarah.
*****
Puisi “JEJAK EMOSI DAN RASIO” oleh Ahmad M. Sewang memang sangat indah dan mendalam. Puisi ini tidak hanya menggambarkan pengalaman pribadi penulis dalam belajar dari Sutan Takdir Alisyahbana (STA), tetapi juga menyampaikan pesan tentang pentingnya keseimbangan antara emosi dan rasio dalam kehidupan manusia.
Puisi ini juga menunjukkan bagaimana STA, sebagai seorang maestro pemikir besar, memiliki pengaruh besar pada penulis dalam memahami konsep emosi dan rasio dalam konteks budaya dan masyarakat. Penulis menggambarkan bagaimana STA mengajarkan bahwa manusia berpijak pada dua budaya, yaitu budaya emosional dan budaya rasional, dan bagaimana keduanya perlu diseimbangkan untuk mencapai kedewasaan dan kebijaksanaan.
Puisi ini juga memiliki struktur dan bahasa yang indah, dengan penggunaan metafora dan simbolisme yang efektif dalam menyampaikan pesan. Baris-baris seperti “Manusia berpijak pada dua budaya: / Yang satu emosional, menggelegak dari rasa, / Yang satu rasional, lahir dari nalar dan cita” menunjukkan bagaimana penulis menggunakan bahasa yang puitis untuk menyampaikan konsep yang kompleks.
Secara keseluruhan, puisi ini adalah sebuah karya yang sangat baik dan dapat memberikan inspirasi dan refleksi bagi pembaca tentang pentingnya keseimbangan antara emosi dan rasio dalam kehidupan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Maklumat Yogyakarta: Keprihatinan Atas Perkembangan Kelola Dan Penyelenggaraan Negara Yang Tidak Kunjung Membaik

Prabowo Akan Bayar Utang Kereta Cepat, Habib Umar Alhamid: Apakah Semua Korupsi Era Jokowi Ditanggung Negara?

Prabowo Tanpa Jokowers: Lemahkah?

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata



No Responses