JAKARTA – Sejarah industri kilang minyak di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masa kolonial Belanda. Sejak akhir abad ke-19, wilayah Nusantara sudah menjadi salah satu pusat eksplorasi minyak dunia, bahkan jauh sebelum berdirinya Pertamina. Dari ladang-ladang tua di Cepu hingga rencana raksasa pembangunan kilang baru di Tuban, jejak panjang industri ini merekam perjalanan energi nasional selama lebih dari satu abad.
Awal Mula: Cepu, Blora — Kilang Mini dari Abad ke-19
Kilang minyak pertama di Indonesia dibangun pada tahun 1894 di Cepu, Blora (Jawa Tengah) oleh perusahaan Belanda De Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM). Kilang ini didirikan untuk mengolah minyak dari sumur-sumur Ledok, Kawengan, dan Nglondo, yang mulai dibor sejak 1893.
Sumur minyak tua di hutan jati Ledok, Blora, gambaran bahwa produksi minyak makin menipis dan perlengkapan yang digunakan sangat sederhana
Kapasitas awal kilang Cepu hanya sekitar 3.800 barel per hari, tetapi keberadaannya menjadikan Cepu salah satu pusat migas tertua di Asia. Kini, kilang tersebut dikenal sebagai PPSDM Migas Cepu — lebih berfungsi sebagai fasilitas pelatihan dan produksi terbatas, simbol warisan awal industri migas nasional.
Zaman Kolonial: Kilang Besar di Plaju dan Balikpapan
Melihat potensi besar minyak di Nusantara, pemerintah Hindia Belanda memperluas pembangunan kilang di daerah lain.
Pada tahun 1904, berdirilah Kilang Plaju di Sumatera Selatan, dikelola oleh Nederlandse Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM). Kilang ini menjadi salah satu pusat pengolahan utama di kawasan barat Indonesia dan terus beroperasi hingga kini di bawah pengelolaan Pertamina RU III.
Sementara di Balikpapan, Kalimantan Timur, Belanda mendirikan kilang pada tahun 1922, dikelola oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) — cikal bakal Royal Dutch Shell. Kapasitas awalnya sekitar 10.000 barel per hari, dan sejak saat itu Balikpapan menjadi pusat industri migas Kalimantan. Hingga kini, kilang tersebut masih beroperasi di bawah Pertamina RU V, dan tengah menjalani proyek RDMP Balikpapan untuk meningkatkan kapasitas hingga 360.000 barel per hari. Namun sayangnya pekerjaan RDMP untuk menambah kapasitas 100.000 BPD belum juga rampung. Ditargetkan tahun ini bisa beroperasi, setelah mengalami penundaan beberapa tahun.
Era Kemerdekaan: Pertamina dan Nasionalisasi Aset
Pasca kemerdekaan, Indonesia menasionalisasi seluruh aset migas asing. Pemerintah membentuk Permina (1957) dan Pertamin (1961), yang kemudian dilebur menjadi Pertamina pada tahun 1968.
Pertamina mewarisi sejumlah kilang peninggalan Belanda dan Jepang, antara lain di Cilacap, Dumai, Plaju, Balikpapan, dan Cepu.
Pada masa ini pula, beberapa kilang baru dibangun untuk memperkuat pasokan domestik.
Kilang Dumai (Riau) mulai beroperasi pada 1971, dengan kapasitas 170.000 barel per hari.
Kilang Cilacap (Jawa Tengah) dikembangkan sejak 1974, dan menjadi kilang terbesar di Indonesia dengan kapasitas kini sekitar 348.000 barel per hari.
Kilang Kasim (Papua Barat) berdiri 1997 dengan kapasitas lebih kecil, sekitar 10.000 barel per hari, melayani wilayah timur Indonesia.
Kilang Balongan (Indramayu, Jawa Barat) resmi beroperasi 1994, kapasitas awal 125.000 barel per hari, sebagai salah satu kilang termodern kala itu.
Dengan jaringan ini, total kapasitas pengolahan nasional mencapai sekitar 1 juta barel per hari.
Modernisasi dan Tantangan: RDMP dan GRR Tuban
Selama lebih dari dua dekade terakhir, Indonesia tidak lagi membangun kilang baru. Kilang Balongan (1994) sering disebut sebagai kilang terakhir yang benar-benar baru. Selebihnya, pemerintah lebih fokus pada proyek RDMP (Refinery Development Master Plan) — modernisasi dan perluasan kapasitas lima kilang besar: Balikpapan, Cilacap, Plaju, Dumai, dan Balongan.
Program RDMP menargetkan peningkatan kapasitas nasional menjadi sekitar 1,4 juta barel per hari agar Indonesia bisa mengurangi impor BBM.
Namun, upaya memperkuat kemandirian energi nasional juga disertai tantangan besar: pendanaan, kompleksitas proyek, hingga gangguan operasional seperti kebakaran kilang yang berulang di beberapa lokasi.
Sebagai langkah terobosan baru, pemerintah menggagas GRR Tuban (Grass Root Refinery Tuban) — proyek pembangunan kilang baru pertama dalam lebih dari 30 tahun terakhir. Kilang ini dikerjakan oleh PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP), hasil kerja sama antara Pertamina dan Rosneft (Rusia), dengan kapasitas desain 300.000 barel per hari dan nilai investasi mencapai US$13 miliar. Jika rampung, Tuban akan menjadi tonggak baru sejarah perminyakan Indonesia. Namun hingga kini kilang GRR Tuban masih terkendala, akhirnya balum juga dimulai pembangunannya.
Kilang GRR Tuban: Pekerjaan teknis awal seperti desain dan infrastruktur dasar sebagian sudah tampak pada beberapa sudut proyek
Dari Kilang Kolonial ke Kilang Mandiri
Dari Kilang Cepu yang sederhana di bawah bayang-bayang kolonial, hingga GRR Tuban yang digadang-gadang sebagai simbol kebangkitan industri nasional, perjalanan kilang Indonesia mencerminkan pergulatan panjang menuju kemandirian energi.
Lebih dari satu abad berlalu, cita-cita untuk benar-benar berdikari dalam produksi dan pengolahan minyak bumi masih terus diperjuangkan. Hingga saat ini kapasitas kilang eksisiting belum mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga harus impor, baik minyak mentah maupun BBM jadi.
EDITOR: REYNA
Related Posts

PBB meluncurkan proses formal untuk memilih sekretaris jenderal berikutnya

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta

Kasus Lapangan Terbang Morowali Hanya Kasus Kecil

Habib Umar Alhamid Ingatkan Jangan Ada UU dan Kebijakan “Banci” di Pemerintahan Prabowo









No Responses