Kasus Polonia Mempertanyakan Aset-Aset ANgkasa Pura

Kasus Polonia Mempertanyakan Aset-Aset ANgkasa Pura

Oleh: Nirmal Ilham
Tenaga Ahli DPR RI

Pemerintah berupaya melakukan holding BUMN penerbangan dan pariwisata ke dalam BUMN Injourney. Untuk selanjutnya diprivatisasi. Apakah bisa aset Angkasa Pura diprivatisasi melalui InJourney? Semudah itukah memprivatisasi aset aset BUMN?

Mari kita belajar dari sejarah penting, sebuah bandara yang punya nilai sejarah, dari kolonialisme hingga kemerdekaan, bagaimana aset-aset yang sekarang ada bukan saja dilihat dari kertas-kertas sertifikat kepemilikan, tapi bagaimana aset itu ada di tangan Indonesia sekarang, ada di tangan BUMN-BUMN Indonesia. Dari Sumatera kita belajar.

Sumatera Utara merupakan wilayah yang paling maju pada era kolonial Belanda. Hal ini karena sumber daya alamnya yang melimpah. Dari mulai yang di bawah tanah, minyak bumi, batubara, dan emas. Hingga yang di atas tanah, hasil hutan, perkebunan karet, kelapa, kopi dan tembakau.

Pada abad 19 tembakau menjadi komoditas primadona dunia. Tembakau Deli memimpin sebagai tembakau nomor satu dan termahal di dunia. Hal ini membuat banyak investor asing berminat membuat perkebunan tembakau di Sumatera Utara.

Salah satunya investor dari Polandia, seorang Baron bernama Michalsky yang datang pada 1872. Sultan Deli kemudian memberikan konsesi 1.100 hektar untuk perkebunan tembakaunya, dengan sistem bagi hasil. Oleh Michalsky tempat itu dinamakan Polonia.

Belanda dengan sistem ekonomi monopolinya merasa terusik. Sehingga mengakuisisi perkebunan tersebut menjadi Deli Matchappij pada 1879. Dengan bagi hasil 50-50 antara perusahaan dan kesultanan. Perusahaan lalu memberikan sedikit lahan untuk landasan pacu pesawat menjelang kedatangan penerbangan pertama dari Amsterdam ke Batavia, yang singgah di Medan.

Pada 1924, dengan memakan waktu 55 hari dan singgah di 20 kota dunia, pesawat Fokker buatan Belanda singgah di Polonia, Medan. Pihak Kesultanan Deli menyambut penerbangan bersejarah itu. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah kemudian menjadi orang pertama yang menaiki pesawat itu mengelilingi Medan.

Pada 1928 lapangan terbang Polonia resmi dibuka untuk perusahaan penerbangan Belanda KLM. Tahun 1930 Belanda membuka penerbangan ke Medan secara berkala. Tahun 1936 Belanda memperluas bandara Polonia untuk dapat menampung pesawat besar Boeing.

Pemerintahan Sukarno yang terkenal dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di tahun 1950-an, menasionalisasi Deli Matchappij menjadi PT Perkebunan (PTP), termasuk lahan bandara Polonia di dalamnya.

Pemerintahan Suharto kemudian menjadikan bandara Polonia sebagai penerbangan komersial pada 1975. Kerjasama pengelolaan bandara oleh Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan dan Departemen Perhubungan.

Tahun 1981 dilakukan pembangunan gedung terminal keberangkatan domestik. Pada 1985-1994 bandara Polonia dikelola Perum Angkasa Pura I. Pada 1994 bandara dikelola PT Angkasa Pura II. Luas awal lahan bandara Polonia 144 hektar dengan panjang landasan pacu 2.900 m. Infrastruktur bandara kemudian diperluas menjadi 590 hektar.

Pada tahun 2013, bandara Polonia berhenti beroperasi dengan telah dibangunnya bandar udara internasional Kualanamu, di Kabupaten Deli Serdang. Kualanamu menjadi bandara terbesar ke-5 di Indonesia dan dijadikan bandara transit intenasional untuk kawasan Sumatera.

Namun masalah kemudian muncul karena pemerintah menjadikan bandara Polonia sebagai Lanud TNI-AU Soewondo. Dan karena letak Polonia saat ini di tengah kota Medan, TNI memindahkan Lanud Soewondo ke lahan milik PTPN II lainnya di Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang seluas 170 hektar.

Kekosongan lahan bandara Polonia ini membuat Sultan Deli meminta lahan itu dikembalikan kepadanya. Sultan Deli lalu menghubungi pakar hukum Yusril Ihza Mahendra untuk mengurus pengembalian tanah tersebut. Tanah menjadi tumpang tindih kepemilikan dari PTPN II, PT Angkasa Pura dan TNI. Seperti inilah negara mengurus asetnya.

Ini hanyalah salah satu kasus sengketa tanah BUMN yang berasal dari nasionalisasi Sukarno. Dimana tanah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi itu sebenarnya milik kesultanan atau tuan tanah atau bahkan rakyat biasa yang disewa. Sehingga jika Kolonial Belanda saja menghargai hak kepemilikan tanah. Apakah pemerintah Indonesia bangga merampasnya. Semoga kasus kepemilikan tanah BUMN dapat menggagalkan privatisasi BUMN.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K