Kebijakan Aneh KPU: Ijazah Capres-Cawapres Bukan Informasi Publik dan Implikasinya terhadap Demokrasi

Kebijakan Aneh KPU: Ijazah Capres-Cawapres Bukan Informasi Publik dan Implikasinya terhadap Demokrasi
Ilustrasi

JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Surat Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 menetapkan bahwa dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden—termasuk ijazah—tidak lagi dikategorikan sebagai informasi publik. Kebijakan ini sontak memantik perdebatan luas di ruang publik, mengingat sebelumnya masyarakat dapat mengakses dokumen-dokumen tersebut sebagai bagian dari keterbukaan informasi dalam proses demokrasi.

Di satu sisi, KPU mungkin berargumen bahwa keputusan ini diambil untuk melindungi data pribadi para calon. Dokumen seperti ijazah, transkrip, hingga catatan administrasi memang memuat identitas penting yang rentan disalahgunakan. Di era digital, kasus pemalsuan identitas, penyalahgunaan data, hingga serangan siber menjadi alasan yang cukup kuat bagi lembaga negara untuk memperketat akses dokumen pribadi. Dengan logika ini, KPU ingin menyeimbangkan antara hak publik untuk tahu dengan hak individu atas perlindungan data pribadi.

Namun, di sisi lain, demokrasi modern menuntut prinsip keterbukaan (transparency) sebagai fondasi akuntabilitas. Calon presiden dan wakil presiden bukanlah warga biasa; mereka adalah figur publik yang akan memegang mandat tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, syarat-syarat formal mereka, termasuk keaslian ijazah, menjadi kepentingan publik, bukan semata urusan privat.

Dalam konteks demokrasi, ada adagium penting: “No secrecy in public office”—tidak boleh ada kerahasiaan dalam jabatan publik. Dokumen persyaratan pencalonan, terutama ijazah, bukan sekadar data pribadi, melainkan bukti administratif yang menjadi dasar legalitas pencalonan. Dengan menutup akses publik terhadap dokumen tersebut, KPU secara tidak langsung membatasi fungsi kontrol masyarakat. Padahal, kontrol publik inilah yang membedakan demokrasi dengan sistem otoriter.

Selain itu, kebijakan ini berpotensi melahirkan kecurigaan. Di tengah iklim politik yang penuh polarisasi, langkah KPU menutup akses terhadap ijazah capres-cawapres bisa ditafsirkan sebagai bentuk proteksi terhadap kandidat tertentu. Publik dapat menuduh adanya “perlindungan” terhadap calon yang diragukan keabsahan ijazahnya. Alih-alih meredam polemik, kebijakan ini justru bisa memperbesar spekulasi dan memicu delegitimasi terhadap hasil pemilu.

Jika ditelusuri, keputusan ini juga beririsan dengan perkembangan regulasi perlindungan data pribadi. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi memang memberikan hak bagi setiap orang untuk melindungi informasi pribadinya. Akan tetapi, undang-undang tersebut juga mengatur pengecualian jika informasi dimaksud menyangkut kepentingan publik yang lebih besar. Dalam hal pencalonan presiden, kepentingan publik jelas lebih dominan dibanding klaim privasi individu.

Artinya, KPU seharusnya tidak serta-merta mengunci dokumen tersebut dari akses publik. Solusi kompromi bisa ditempuh, misalnya dengan membuka akses dokumen yang relevan (seperti ijazah yang sudah dilegalisir dan diverifikasi) tetapi menutup bagian yang berisiko disalahgunakan (misalnya nomor induk, alamat pribadi, atau tanda tangan otentik). Dengan begitu, prinsip perlindungan data pribadi dan keterbukaan informasi bisa berjalan beriringan.

Implikasi lain dari kebijakan ini adalah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Dalam survei-survei sebelumnya, kepercayaan terhadap KPU kerap berfluktuasi dan sangat bergantung pada tingkat transparansi mereka. Jika KPU dinilai menutup-nutupi informasi penting, maka legitimasi kelembagaan mereka akan dipertanyakan. Padahal, keberhasilan pemilu bukan hanya diukur dari aspek teknis penyelenggaraan, tetapi juga dari sejauh mana publik percaya bahwa proses berlangsung jujur, adil, dan terbuka.

Secara normatif, demokrasi Indonesia berlandaskan pada prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi memiliki hak penuh untuk memastikan bahwa calon pemimpin mereka memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang. Jika informasi ini ditutup, maka rakyat kehilangan instrumen penting untuk melakukan verifikasi independen. Demokrasi pun berisiko tergelincir ke arah prosedural semata: pemilu tetap berjalan, tetapi esensi keterbukaan dan partisipasi publik dikorbankan.

Perbandingan Internasional

Untuk menilai proporsionalitas kebijakan ini, perlu dilihat praktik di negara demokrasi lain:

Amerika Serikat: Kandidat presiden wajib menyerahkan dokumen syarat pencalonan, termasuk bukti usia dan kewarganegaraan. Meski ijazah formal tidak menjadi syarat, publik bisa mengakses banyak catatan pendidikan kandidat. Tekanan publik bahkan mendorong kandidat membuka transkrip kuliah atau riwayat akademik. Kasus “birther controversy” Barack Obama menunjukkan betapa publik Amerika menuntut transparansi, meski akhirnya Mahkamah Agung tidak mewajibkan semua dokumen pribadi dibuka.

Eropa Barat: Di Inggris dan Jerman, dokumen pribadi kandidat dilindungi, tetapi syarat formal pencalonan yang sudah diverifikasi otoritas tetap diumumkan. Prinsipnya, publik tidak boleh dibiarkan ragu atas keabsahan syarat kandidat. Jika ada sengketa, dokumen dapat diakses melalui mekanisme hukum terbuka.

Asia: Di India, kandidat anggota legislatif hingga perdana menteri wajib melampirkan affidavit berisi rincian pendidikan, kekayaan, dan catatan kriminal. Informasi ini diumumkan oleh Komisi Pemilihan India di situs resminya agar publik bisa menilai. Transparansi dianggap sebagai sarana memperkuat legitimasi kandidat dan mengurangi potensi manipulasi.

Perbandingan ini menunjukkan pola: negara demokrasi tetap menjaga privasi, tetapi tidak mengorbankan keterbukaan yang menyangkut syarat pencalonan. Justru, keterbukaan informasi dianggap memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga pemilu dan kandidat.

Kesimpulannya, kebijakan KPU yang menetapkan ijazah capres-cawapres bukan informasi publik menimbulkan dilema serius antara perlindungan data pribadi dan keterbukaan informasi. Meski dapat dipahami dari perspektif keamanan data, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip fundamental demokrasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Agar demokrasi tetap sehat, KPU perlu meninjau ulang kebijakan tersebut, mencari formula yang lebih seimbang, serta mengutamakan hak rakyat untuk mengetahui syarat-syarat legal calon pemimpin mereka. Tanpa keterbukaan, demokrasi hanya akan menjadi ritual formal, kehilangan substansi, dan rentan dipertanyakan legitimasinya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K