Komunikasi Publik Pejabat Harus Bijak

Komunikasi Publik Pejabat Harus Bijak

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

 

Saya tertarik membaca kritikan “adik” saya mantan aktivis mahasiswa, salah satu tokoh masyarakat Bawean yang sekarang menjadi Wakil Ketua Komisi IX DPR yaitu Yahya Zaini. Sang anggota DPR ini  menyentil pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang berbicara orang dengan gaji Rp 15 juta lebih sehat dan pintar ketimbang orang bergaji Rp 5 juta. Yahya meminta Menkes lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan ke publik. “Menurut saya tidak otomatis orang yang gajinya Rp 15 juta lebih sehat dan lebih pintar dari orang yang bergaji Rp 5 juta. Sebaiknya Menkes lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan sehingga tidak menimbulkan keresahan di publik,” kata Yahya kepada wartawan, Minggu (18/5/2025).

Saya lalu ingat tahun-tahun 1960-1970 an di Surabaya ada orang Madura namanya Haji Sukri, seorang pengusaha “scrap metal” atau besi tua. Beliau tentu tidak sekolah S1, S2 atau S3, namun beliau lebih pintar dari saya dalam hal berbisnis besi tua itu. Haji Sukri dikenal “mreteli” kapal perang, tank, amphibi dsb yang sudah udzur umurnya; hasil dari kepiwaian dibidang besi tua itu Haji Sukri kaya raya.

Saya tidak membicarakan sentilan dik Yahya Zaini kepada pak Menkes soal orang yang bergaji Rp 5 juta itu tidak sehat dan tidak pintar dibandingkan orang yang gajinya Rp 15 juta; yang ingin saya bicarakan adalah cara komunikasi seorang pejabat apapun jabatannya, apakah itu Presiden, Menteri, Panglima, Ketua Parpol, Juru Bicara Kepresidenan, Duta Besar, diplomat, tokoh-tokoh agama, masyarakat, Profesor, guru dll. – haruslah hati-hati dan bijak dalam memilih suatu narasi, diksi, semantik karena “audience” atau penerima pesan itu adalah rakyat, masyarakat yang memiliki keragaman latar belakang.

Komunikasi kepada publik tanpa didahului dengan tindakan yang “prudence” akan menimbulkan kesalah pahaman, kesalah pengertian dan ujung-ujungnya bisa memunculkan konflik, kebingungan dan purbasyangka yang negatif, walaupun sebenarnya sang pemberi pesan itu memiliki niatan yang baik yang bernuansa memberi motivasi dan nasihat. Dalam ilmu komunikasi hal itu disebutkan sebagai Komunikasi yang tidak efektif.

Rakyat sudah sering mendengar pernyataan dari pejabat publik yang tidak mengandung motivasi atau mendinginkan hati rakyat yang sedang menderita akibat kondisi ekonomi yang sulit; misalnya “kalau minyak goreng harganya mahal, ya jangan menggoreng, dikukus saja makanannya”, atau “dua pisang itu sebenarnya sudah mengenyangkan dibanding nasi” atau “kalau harga beras naik, beli saja umbi-umbian karena menyehatkan”. Pernyataan-pernyataan seperti itu keluar dari mulut tokoh-tokoh nasional yang menjadi “panutan” rakyat kecil dalam merespon keluhan-keluhan rakyat kecil tentang mahalnya harga-harga pangan.

Kembali ke pak Menkes kita ini sebelumnya beliau pernah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan reaksi dari masyarakat. Dalam sebuah acara peluncuran layanan kesehatan di Jakarta Pusat pada Rabu (14/5/2025), Budi menyampaikan bahwa pria dengan ukuran celana jeans di atas 32-33 cenderung mengalami obesitas dan berisiko lebih cepat meninggal dunia. “Pokoknya laki-laki kalau beli celana jeans masih di atas 32-33. Ukurannya berapa celana jeans? 34-33 sudah pasti obesitas. Itu menghadap Allahnya lebih cepat dibandingkan yang celana jeansnya 32,” ujar Budi saat menghadiri acara peluncuran tiga layanan kesehatan bersama Gubernur Jakarta Pramono Anung di Rusun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, Rabu. Namun, Budi menegaskan bahwa pernyataannya bukan bermaksud untuk mempermalukan tubuh atau body shaming, melainkan sebagai peringatan akan pentingnya menjaga lingkar pinggang agar terhindar dari risiko penyakit kronis.

Ucapan pak Menkes ini didunia maya memunculkan beragam reaksi dari netizen yang salah satunya bertanya pada Pak Menkes: “ukuran celananya Pak Presiden Prabowo berapa?”.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K