JAKARTA – Langit Jakarta pekat malam itu. Hujan mengguyur deras, menelan suara-suara kota menjadi gemuruh samar. Di lantai atas sebuah gedung kementerian, lampu kantor masih menyala. Hanya satu ruangan yang masih hidup: ruang kerja Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer.
Jarum jam hampir menyentuh pukul 23.30 ketika ia menandatangani dokumen terakhir. Di luar, lorong kantor terasa terlalu sepi untuk sebuah gedung di tengah kota. Pendingin ruangan berdengung pelan, tapi ada jeda aneh, seakan-akan mesin pun menahan napas.
Ponsel di mejanya bergetar. Nomor tak dikenal. Suara di ujung sana berat dan terputus-putus, seperti datang dari jauh:
“Pak… jangan keluar malam ini. Mereka sudah di bawah.”
Sebelum ia sempat bertanya, sambungan terputus.
Tiga malam sebelumnya, firasat buruk sudah mengusiknya. Di rumah, istrinya terbangun dari tidur sambil terengah. “Noel… aku mimpi buruk,” ujarnya. Dalam mimpinya, ia melihat lorong kantor suaminya dipenuhi kabut tipis. Dari ujung lorong, sosok-sosok berpakaian hitam berjalan pelan, membawa map dan kamera.
Anak bungsunya juga mengalami keganjilan. Malam itu, ia terbangun sambil memegang kepala, berkata setengah sadar:
“Ayah… jangan pulang lewat pintu besar, ada orang menunggu…”
Malam OTT, angin dingin dari ventilasi kantor menusuk hingga ke tulang. Ebenezer berjalan menuju lift, tapi langkahnya terhenti. Dari ujung koridor, ia melihat bayangan bergerak cepat. Bukan satpam. Bayangan itu tinggi, bahunya lebar, dan ada kilatan logo kecil di dada—logo yang samar terlihat seperti perisai.
Ia memutuskan kembali ke ruang kerja, mencoba menenangkan diri. Tapi detik berikutnya, pintu ruangannya terbuka. Beberapa pria berpakaian gelap masuk, wajah mereka tanpa ekspresi, jaket bertuliskan tiga huruf yang sangat ia kenal: KPK.
Tidak ada teriakan. Hanya suara hujan di luar dan bunyi pena mencatat di buku berita acara. Di meja, secangkir kopi yang tadi masih hangat kini dingin.
Di lantai bawah, kamera-kamera media sudah menunggu, seakan tahu persis jam dan lokasi kejadian. Koridor panjang yang tadi kosong kini penuh langkah kaki cepat dan kilatan blitz kamera.
Ketika digiring keluar, matanya sekilas menangkap layar ponsel yang tertinggal di meja kerja. Pesan terakhir yang masuk berbunyi:
“Mimpi istrimu itu bukan kebetulan.”
EDITOR: REYNA
Related Posts

Air minum di Teheran bisa kering dalam dua minggu, kata pejabat Iran

Perintah Menyerang Atas Dasar Agama

Forum Bhayangkara Indonesia DPC Ngawi Layangkan Somasi ke Camat Kwadungan Soal Pengisian Calon Sekdes Desa Tirak

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Study Tour ke Jogja Diduga Buat Ajang Bisnis, Kepala SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Diduga Langgar Hukum

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Sudah Bayar 200 Juta, Tidak Lulus Seleksi Calon Perangkat Desa Tirak, Uang Ditagih

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Warna-Warni Quote




No Responses