JAKARTA – Kuota HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) yang sering dikeluhkan industri sebenarnya lahir dari kompromi antara target harga murah yang diatur pemerintah dan realitas keterbatasan pasokan gas domestik. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini memang menimbulkan beban baru bagi industri.
Latar belakang pembentukan HGBT
Perpres No. 121/2020 mengatur harga gas industri tertentu di level USD 6/MMBTU (di plant gate) untuk tujuh sektor industri (pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, sarung tangan karet, oleokimia).
Tujuannya: menurunkan biaya energi agar produk industri lebih kompetitif.
Karena harga USD 6 ini lebih rendah dari harga komersial, pemerintah menetapkan volume kuota sesuai kapasitas pasokan dari kontrak jangka panjang gas domestik (PGN, Pertamina, produsen gas).
Mengapa kuota diberlakukan
Pasokan domestik dari lapangan gas menurun, sehingga tidak semua kebutuhan industri bisa dipenuhi dengan harga HGBT.
Pemerintah membatasi volume agar: Subsidi implisit tidak membengkak.
Gas yang murah bisa merata ke semua industri penerima HGBT, tidak habis diserap hanya oleh segelintir pabrik besar.
Sisanya (di luar kuota) industri harus membeli gas harga pasar (bisa USD 9–12/MMBTU, bahkan lebih jika lewat LNG spot).
Dampak bagi Industri
1. Industri Plastik: Tertekan Kuota & Biaya Tinggi
Gangguan pasokan gas dan kebijakan kuota HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) menyebabkan tekanan pada industri plastik, memicu penurunan produksi dan ancaman PHK.
Pasokan gas industri untuk sektor plastik tengah menghadapi tekanan serius akibat pembatasan kuota Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik (Inaplas) menyatakan bahwa penurunan pasokan gas dan tingginya biaya (dengan tarif hingga USD 17,8/MMBTU karena surcharge hingga 120 %) memicu penurunan produksi dan menekan daya saing industri lokal terhadap produk impor, terutama dari China
.
Kondisi tersebut bahkan telah memaksa beberapa pabrik menghentikan produksinya dan merumahkan pekerja, karena tidak mampu bersaing dari sisi harga
.
2. Industri Keramik: Shutdown 50% Produksi & PHK Massal
Sektor keramik pun tak luput dari dampak krisis gas. Pembatasan pasokan gas sebesar 48%, dengan sanksi berat jika melebihi kuota, membuat banyak produsen terpaksa mengurangi kapasitas produksi hingga 50 %
Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) memberi alarm serius: dua pabrik tableware di Tangerang merumahkan sekitar 700 karyawan karena gangguan gas
Bahkan di PT Doulton, sekitar 450 dari 850 karyawan dirumahkan karena operasi pabrik berhenti total akibat gangguan pasokan gas
Kementerian Perindustrian menyebut angka keseluruhan mencapai 900 karyawan dirumahkan di beberapa perusahaan keramik akibat krisis gas
.
3. Ancaman Terhadap Investasi & Target Ekspansi Industri
Tak hanya produksi yang turun, rencana ekspansi industri keramik juga terancam. Proyeksi perluasan kapasitas sebesar 718 juta m²/tahun (akhir 2026) dan hingga 850 juta m²/tahun (2030) kini terpental akibat ketidakpastian suplai gas dan biaya tinggi
.
Padahal, pencapaian utilisasi kuartal I-2025 sempat naik ke 75 %, walau jauh dari target 85 %
Sektor ini merupakan bagian penting dari proyek “3 juta rumah” nasional, dan gangguan di hilir bisa menaikkan subsidi pemerintah secara tajam
4. Dampak Ekonomi Makro: PHK, Impor & Melemahnya Daya Saing
Kelangkaan gas industri bukan hanya soal produksi yang terhenti. Ini berdampak pada makin tingginya impor bahan jadi maupun setengah jadi, melemahnya kontribusi industri domestik, serta menurunnya penyerapan tenaga kerja.
Asaki menyoroti multiplier effect positif yang telah hilang: rencana investasi sebesar Rp 8 triliun untuk ekspansi tambahan kapasitas 90 juta m² dan penyerapan tenaga kerja hingga 6.000 orang kini terancam batal
Kondisi ini menciptakan ketergantungan impor jangka panjang, berpotensi melemahkan neraca perdagangan dan menurunkan kepercayaan investor
.
5. Ancaman PHK
PHK massal yang terjadi akibat pabrik berhenti beroperasi tentu akan menaikkan angka pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat, khususnya di kota-kota industri seperti Jabodetabek.
Kelangkaan gas memicu tekanan ekonomi: meningkatnya inflasi, turunnya kesejahteraan, ketidakstabilan sosial, hingga potensi konflik lokal akibat distribusi yang tak merata
6. Ketidakpastian Kebijakan: Perlu Solusi Pemerintah
Asaki bersama Inaplas mendesak pemerintah untuk segera menyuntik kepastian pasokan dan harga—baik melalui tambahan alokasi gas domestik maupun revisi skema kuota HGBT dan surcharge
PGN sendiri menyatakan kemungkinan mengambil alih alokasi dari volume ekspor (seperti blok Natuna) untuk menambah pasokan dalam negeri
.
Kemenperin juga sempat mempertanyakan pembatasan HGBT yang diberlakukan padahal pasokan gas reguler seharusnya tersedia, seperti di kasus PT Doulton. Mereka menyerukan kajian mendalam atas kebijakan HGBT yang saat ini dirasa aneh dan merugikan
Jika tidak ada tindakan konkret dan cepat—seperti penambahan pasokan gas domestik, skema harga stabil, atau revisi kebijakan kuota HGBT—apa yang terjadi bukan hanya sekadar krisis industri, melainkan potensi runtuhnya sektor manufaktur dan penyusutan tajam perekonomian nasional.
Solusi Pasokan Gas Industri Tanpa HGBT: Stabil, Terjangkau, dan Berkelanjutan
Selama bertahun-tahun, industri di Indonesia menikmati program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan tarif US$ 6/MMBTU. Namun, skema ini membawa konsekuensi: kuota terbatas, disparitas harga antar pelaku, dan ketergantungan pada subsidi fiskal yang membebani APBN. Saat kuota habis, industri terpaksa membeli gas dengan harga pasar yang lebih mahal, menimbulkan ketidakpastian biaya produksi.
Ke depan, pemerintah dapat mempertimbangkan menghapus HGBT, tetapi menggantinya dengan mekanisme harga stabil sepanjang tahun. Harga ini tidak harus selalu US$ 6/MMBTU, tetapi cukup kompetitif dan terprediksi — di kisaran US$ 6,2–6,4/MMBTU — sehingga industri dapat menyusun rencana produksi dan investasi dengan lebih pasti.
Diversifikasi Pasokan dan Optimalisasi Distribusi
Ada tiga sumber utama yang dapat dimanfaatkan:
Pertama: Pasokan Tambahan dari West Natuna
Proyek koneksi pipa dari West Natuna ke Jawa harus dipastikan pipa dan fasilitas kompresi rampung Desember 2025
Kapasitas pasok potensial: 150–200 MMSCFD. Harga delivered diperkirakan US$ 6,4–6,7/MMBTU setelah biaya transmisi, jauh lebih murah dibanding LNG spot.
Dengan masuknya gas ini, porsi gas domestik murah dalam “pool” meningkat, menurunkan rata-rata harga.
Kedua: Pemanfaatan LNG Corpus Christi (CCL)
Indonesia sudah memiliki kontrak jangka panjang LNG dari Corpus Christi, AS.
Tantangannya adalah harga delivered saat ini relatif tinggi (US$ 11–12/MMBTU) karena biaya freight, regasifikasi, dan slot FSRU.
Solusi: negosiasi ulang biaya logistik, optimasi jadwal kapal, atau swap kargo untuk menekan delivered price menjadi ≤ US$ 10,5/MMBTU.
Ketiga: Optimalisasi Jaringan Pipa Domestik
Saat ini distribusi gas di Jawa masih mengalami bottleneck di beberapa titik.
Integrasi jaringan PGN, optimalisasi tekanan dan kapasitas pipa, serta pengurangan biaya “toll fee” akan menurunkan ongkos distribusi.
Foto: Pekerja PT Pertamina EP Cepu sedang melakukan pekerjaan rutin harian memastikan pasokan dari Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro
Misalnya, menekan biaya tol West Natuna–Jawa dari US$ 1,2 menjadi US$ 0,8/MMBTU dapat memangkas harga delivered signifikan.
Dampak Positif yang Diharapkan
Harga Stabil: Industri dapat memproyeksikan biaya energi setahun penuh tanpa khawatir lonjakan mendadak.
Pemerataan Akses: Tidak ada lagi perbedaan harga antar pelaku akibat kuota.
Efisiensi APBN: Subsidi fiskal berkurang karena penurunan harga dicapai lewat efisiensi pasok dan distribusi.
Daya Saing Industri: Biaya energi yang kompetitif mendorong ekspansi investasi manufaktur.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia bisa meninggalkan model HGBT berbasis subsidi kuota, beralih ke sistem harga gas yang kompetitif, transparan, dan berkelanjutan — tanpa mengorbankan daya saing industri.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Prabowo Tanpa Jokowers: Lemahkah?

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi







No Responses