Memaafkan Jokowi dan Selanjutnya Harus Tetap Diadili

Memaafkan Jokowi dan Selanjutnya Harus Tetap Diadili
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Pengajar Psikologi Komumnikasi dan Transaksional Analysis

Dalam ajaran agama, kita dianjurkan untuk memaafkan. Bahkan, Tuhan sendiri Maha Pengampun. Namun, ada satu prinsip lain yang tak boleh dilupakan: keadilan. Memaafkan bukan berarti membiarkan kezaliman terus berulang. Maka, meskipun kita bisa memaafkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai manusia biasa dengan segala kekurangannya, sebagai pemimpin yang telah menodai konstitusi, ia tetap harus diadili.

Sebagaimana yang ternukil dalam Quran surat Al An’am ayat 123 yang mengatakan “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya”.

Mari kita mulai dengan daftar dosa-dosa politik Jokowi yang membuat demokrasi Indonesia seperti warteg yang kehabisan lauk. Kosong, tak menggugah selera, dan hanya menyisakan rasa pahit di lidah rakyat.

Dosa Pertama: Menabrak Konstitusi dengan Manuver Licik

Jokowi seperti pemain sepak bola yang suka diving di kotak penalti. Tampaknya berjuang demi rakyat, tapi sebenarnya sedang merancang strategi untuk mengamankan kekuasaan. Kita bisa lihat bagaimana ia menggunakan aparatur negara untuk memenangkan anak emasnya di Pemilu 2024. Dari cawe-cawe terang-terangan, manipulasi aturan, hingga ketidakseimbangan media, semua dilakukan demi mempertahankan dinasti politiknya.

Kita ingat bagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) tiba-tiba menjadi tukang sulap yang mengubah aturan usia calon presiden dalam semalam. Tiba-tiba, batasan usia yang semula sakral bisa dinegosiasi dengan klausa tambahan “pernah menjadi kepala daerah.” Tidak ada yang bisa menjelaskan hukum mana yang dirujuk, kecuali hukum ‘titah penguasa’.

Dosa Kedua: Menjadikan Hukum sebagai Alat Politik

Di era Jokowi, hukum bukan lagi alat keadilan, tapi jadi martil untuk memukul lawan-lawan politiknya. Oposisi dikriminalisasi, kritik dikategorikan sebagai ujaran kebencian, dan KPK yang dulu garang berubah menjadi kucing domestik yang hanya mengeong saat melihat korupsi merajalela.

Contoh konkret adalah bagaimana Anies Baswedan, Said Didu, hingga aktivis-aktivis antikorupsi terus-menerus dicari celah hukumnya. Di sisi lain, para pejabat dan oligarki yang dekat dengan lingkaran kekuasaan seolah memiliki sertifikat kebal hukum.

Dosa Ketiga: Ekonomi yang Kian Tak Merata

Jokowi sering bicara soal pembangunan infrastruktur, tapi kita tahu siapa yang paling menikmati. Oligarki semakin gemuk, sementara rakyat kecil tetap bertahan dengan upah pas-pasan. Program bantuan sosial yang digelontorkan seolah-olah membantu rakyat, padahal efek jangka panjangnya justru memperburuk ketergantungan dan membunuh daya saing.

Bandara dan tol memang bertambah, tapi seberapa banyak rakyat kecil yang bisa menikmati jalan tol itu tanpa harus merogoh kocek dalam? Bukankah lebih baik uang itu dipakai untuk membangun sekolah berkualitas atau rumah sakit yang terjangkau?

Dosa Keempat: Hutang yang Menumpuk, Rakyat yang Menanggung

Jika ada satu kebijakan Jokowi yang berpotensi membuat Indonesia kolaps, itu adalah utang luar negeri yang menggunung. Bayangkan, kita mewarisi utang ribuan triliun rupiah yang entah bagaimana cara melunasinya. Sementara itu, proyek-proyek mercusuar yang dibiayai utang ini justru lebih menguntungkan investor asing dibanding rakyat sendiri.

Sebagai contoh, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang awalnya dijanjikan tanpa dana APBN, justru akhirnya menjadi beban negara. Yang menikmati? Investor luar. Yang membayar? Ya, kita semua.

Bisa Dimaafkan, Tapi Harus Tetap Diadili

Memaafkan Jokowi bukan berarti membiarkan pelanggarannya berlalu begitu saja. Kita bisa memahami bahwa ia manusia biasa yang mungkin berpikir sedang melakukan yang terbaik. Namun, hukum harus tetap ditegakkan. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk bahwa seorang presiden boleh semaunya tanpa konsekuensi.

Maka, saat ini kita punya dua pilihan: menjadikan keadilan sebagai hiasan pidato, atau benar-benar menegakkannya. Jika ingin demokrasi kita pulih, maka pengadilan untuk Jokowi bukan sekadar balas dendam, melainkan pelajaran bahwa konstitusi tidak boleh diinjak-injak seenaknya.

Sekarang, bola ada di tangan Prabowo Subianto. Jika ia benar-benar ingin menjadikan hukum sebagai panglima, maka ia harus berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Jika tidak, Prabowo hanya akan dianggap sebagai presiden boneka yang dikendalikan oleh Jokowi dan oligarki. Ini adalah ujian kepemimpinan bagi Prabowo: apakah ia berani mengadili Jokowi dan mengembalikan marwah hukum, atau justru tunduk pada bayang-bayang kekuasaan lama?

Kita tahu bahwa jasa Jokowi sangat besar terhadap kemenangan Prabowo dalam pilpres 2024, namun kita berharap sebesar apapaun itu jasa Jokowi terhadap Prabowo, hal itu merupakan urusan privat, pelanggaran konstitusi adalah urusan publik dan negara. Sehingga kita berharap Prabowo sebagai seorang presiden dan negarawan bisa memilah antara kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Jokowi adalah persoalan negara dan publik, sehingga keberanian Prabowo menjadikan hukum sebagai panglima dan negara lebih utama dibanding kepentingan pribadi. Kita yakin Prabowo pasti bisa.

Kita bisa memaafkan Jokowi sebagai pribadi, tapi sebagai negara hukum, ia tetap harus mempertanggungjawabkan segala pelanggarannya. Sebab, kalau tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi lelucon, dan rakyat akan terus menjadi korban dari ambisi segelintir orang yang mempermainkan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Jadi, Pak Jokowi, siap-siaplah. Kursi pengadilan menunggu Anda, dengan tiket one-way tanpa jalur tol khusus. Janji Prabowo yang akan mengutamakan kepentingan negara dibanding pribadi dan menjadikan hukum sebagai panglima kita tunggu. Jangan sampai rakyat nanti akan mengatakan bahwa Prabowo hanya omon omon dan tak punya keberanian menangkap dan mengadili Jokowi atas pelanggaran hukum dan konstitusi.

Surabaya, 3 April 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K