Oleh: M. Isa Ansori
Sinopsis:
Tulisan ini mengusulkan penataan ulang sistem otonomi daerah agar lebih efisien, adil, dan berorientasi pada pelayanan publik. Provinsi sebaiknya difokuskan sebagai lembaga koordinatif, bukan eksekutif, sehingga gubernur cukup ditunjuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Dengan langkah ini, biaya politik dapat ditekan, tumpang tindih kewenangan berkurang, dan pelayanan publik di kabupaten/kota menjadi lebih cepat, adil, dan terkontrol tanpa melahirkan “raja-raja kecil” di daerah.
Dua puluh lima tahun lebih sudah Indonesia menjalankan sistem otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah. Semangat reformasi kala itu adalah mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, memperkuat partisipasi, dan mewujudkan keadilan sosial. Namun, setelah seperempat abad berjalan, muncul pertanyaan besar: apakah otonomi yang dijalankan hari ini benar-benar menghadirkan keadilan dan pelayanan yang efisien, atau justru melahirkan ketidakefisienan baru dan “raja-raja kecil” di tingkat daerah?
Otonomi daerah sejatinya adalah instrumen, bukan tujuan. Ia hadir untuk memastikan kesejahteraan rakyat dapat dicapai melalui sistem pemerintahan yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal. Namun, dalam praktiknya, pelimpahan kewenangan yang terlalu luas dan bertingkat dari pusat ke provinsi, lalu ke kabupaten/kota, sering kali menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan pemborosan anggaran. Akibatnya, birokrasi menjadi gemuk, koordinasi melemah, dan pelayanan publik justru lamban.
Kita perlu meninjau kembali struktur pemerintahan daerah agar semangat otonomi tetap hidup, tetapi berjalan efisien dan adil. Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan adalah menjadikan pemerintah provinsi sebagai lembaga koordinatif, bukan eksekutif penuh. Dalam kerangka ini, kabupaten dan kota menjadi pusat eksekusi layanan publik, sementara provinsi bertugas mengharmonisasi kebijakan, menjaga pemerataan antarwilayah, dan memastikan sinkronisasi dengan kebijakan nasional. Dengan demikian, otonomi daerah bisa lebih fokus pada hasil, bukan sekadar pembagian kekuasaan administratif.
Jika gagasan ini diterapkan, maka posisi gubernur sebaiknya tidak lagi dipilih melalui pemilihan langsung. Sebaliknya, gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai kepanjangan tangan negara dalam memastikan kebijakan nasional dijalankan secara seragam dan terkoordinasi. Penunjukan ini bukan bentuk kemunduran demokrasi, melainkan penataan logis dalam sistem pemerintahan yang bertingkat. Gubernur menjadi penghubung antara pusat dan daerah, bukan pesaing bagi bupati dan wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat.
Pemilihan langsung gubernur selama ini menghabiskan biaya besar tanpa memberi dampak langsung terhadap kesejahteraan warga. Pemilihan di level provinsi cenderung menjadi ajang politik elitis, jauh dari kebutuhan dasar masyarakat di bawah. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, biaya penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 mencapai lebih dari Rp20 triliun, dan sebagian besar dihabiskan untuk proses pemilihan gubernur. Jika fungsi provinsi dikembalikan pada koordinasi, maka efisiensi anggaran bisa dicapai dengan signifikan, sementara dana tersebut bisa dialihkan untuk sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan.
Namun, penataan ulang otonomi tidak boleh berhenti pada efisiensi. Tujuan utamanya adalah mewujudkan keadilan dalam pelayanan publik. Pemerintah daerah kabupaten/kota harus benar-benar mampu menjadi pusat pelayanan masyarakat, bukan sekadar pelaksana proyek atau mesin politik lokal. Untuk itu, perlu mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang kuat agar tidak muncul “raja-raja kecil” di daerah. Karena tanpa kontrol yang efektif, otonomi justru bisa menjadi sarana memperkuat kekuasaan lokal yang koruptif.
Langkah pencegahan terhadap munculnya “raja kecil” di kabupaten/kota bisa dilakukan dengan tiga pendekatan. Pertama, penguatan sistem audit dan evaluasi kinerja berbasis hasil (outcome), bukan sekadar prosedur. Pemerintah pusat harus memiliki mekanisme digital dan terbuka untuk menilai capaian tiap daerah secara objektif dan transparan. Kedua, pelibatan masyarakat sipil dan media lokal dalam proses pengawasan kebijakan publik di daerah. Demokrasi sejati bukan hanya soal memilih, tetapi juga mengontrol kekuasaan agar tetap berpihak pada rakyat. Ketiga, penerapan merit system yang ketat dalam birokrasi daerah, agar jabatan publik diisi oleh mereka yang berkompeten, bukan karena afiliasi politik.
Di sisi lain, penunjukan gubernur oleh presiden juga memberi peluang untuk memperkuat integrasi kebijakan antarwilayah. Indonesia adalah negara kepulauan dengan kondisi sosial ekonomi yang sangat beragam. Tanpa koordinasi yang kuat di tingkat provinsi, kesenjangan antarwilayah akan semakin melebar. Dengan gubernur sebagai koordinator, pemerintah pusat dapat memastikan distribusi pembangunan berjalan merata tanpa harus melanggar otonomi daerah. Prinsipnya, kabupaten/kota otonom dalam pelaksanaan, provinsi kuat dalam koordinasi, pusat kokoh dalam arah kebijakan nasional.
Dalam konteks hukum, gagasan ini tetap sejalan dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah. UUD 1945 tidak secara eksplisit mewajibkan gubernur dipilih secara langsung. Artinya, ruang reformasi terbuka untuk menata kembali mekanisme pemilihan gubernur sesuai kebutuhan zaman dan efisiensi pemerintahan.
Selain itu, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memberi ruang bagi pemerintah pusat untuk mengatur hubungan kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota berdasarkan asas efisiensi dan efektivitas. Penataan kembali sistem ini justru menghidupkan semangat undang-undang tersebut: menghadirkan pelayanan publik yang sederhana, cepat, dan tepat sasaran.
Menata ulang otonomi bukan berarti mematikan semangat demokrasi lokal, tetapi mengembalikan maknanya. Demokrasi sejati bukan sekadar pemilihan langsung yang mahal dan seringkali memecah belah, melainkan bagaimana kekuasaan dijalankan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kita memerlukan keberanian politik untuk melakukan koreksi sistemik — agar otonomi tidak lagi menjadi simbol pemborosan dan persaingan kekuasaan, melainkan menjadi sarana pemerataan pembangunan dan penguatan pelayanan publik.
Kini saatnya Indonesia melangkah ke fase baru dalam perjalanan otonominya: fase yang lebih matang, efisien, dan berkeadilan. Gubernur tak harus dipilih, cukup ditunjuk untuk memastikan koordinasi nasional berjalan lancar. Kabupaten dan kota harus diberdayakan agar menjadi ujung tombak pelayanan yang benar-benar dirasakan rakyat. Dengan demikian, kita tidak hanya menata ulang struktur pemerintahan, tetapi juga menata ulang cara berpikir kita tentang makna otonomi yang sejati — otonomi yang melayani, bukan berkuasa
Surabaya, 1 November 2025
Tentang Penulis:
M. Isa Ansori — Pegiat pendidikan, Kolumnis, Dosen, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim dan pemerhati kebijakan publik. Aktif menulis gagasan sosial-politik dan pendidikan yang berpihak pada efisiensi, keadilan, dan kemanusiaan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Habil Marati: Jokowi Mana Ijasah Aslimu?

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi

“Purbayanomics” (2): Pemberontakan Ala Purbaya: Rekonstruksi Ekonomi Nasional

“Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global



No Responses