Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Bayangkan sebuah aliran minyak mentah yang tak pernah berhenti mengalir—dari sumur di tengah laut hingga tangki raksasa di pelabuhan, dari pelabuhan hingga kilang, lalu menjadi bahan bakar yang kita beli setiap hari. Namun di balik jalur distribusi yang rumit itu, tersembunyi sebuah jaringan kekuatan yang lebih tua dari banyak pemerintahan, lebih licin dari minyak yang mereka kendalikan, dan lebih sulit diberantas dari yang pernah dibayangkan: Mafia Migas Indonesia.
Jaringan ini bukan sekadar sekelompok oknum nakal di pelabuhan atau orang dalam di kementerian. Mereka adalah sebuah sistem bayangan, berlapis, yang menghubungkan pejabat tinggi, pengusaha hitam, broker internasional, aparat penegak hukum, hingga perantara asing. Dan seperti yang akan kita lihat, jejak mereka selalu kembali—dari lingkar kekuasaan di istana negara, menelusuri jalur kontrak dan tender, lalu berakhir di pelabuhan tempat migas menjadi komoditas emas hitam yang bisa diperdagangkan di pasar gelap.
Jejak dari Istana
Setiap kali kekuasaan berganti, publik berharap bahwa “pembersihan” akan terjadi di sektor migas. Tetapi, harapan itu nyaris selalu kandas.
Investigasi yang dilakukan CERI (Center of Energy and Resources Indonesia) selama beberapa tahun menunjukkan bahwa aktor kunci dalam bisnis migas kerap kali memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan lingkar kekuasaan di Istana—entah melalui hubungan bisnis lama, donasi politik, atau bahkan jaringan keluarga.
Beberapa nama yang disebut dalam dokumen internal pernah duduk di kursi strategis BUMN migas, bahkan ada yang menjadi penasihat tidak resmi presiden. Mereka punya akses langsung ke kebijakan: mulai dari penentuan kuota impor, pengaturan harga, hingga siapa yang mendapat hak mengelola blok minyak tertentu.
Koneksi ini memastikan bahwa siapa pun yang mengusik “arus utama” akan segera terpinggirkan.
Beberapa pejabat yang berani membongkar dugaan permainan kuota impor tiba-tiba dimutasi atau “dipromosikan” ke jabatan yang jauh dari urusan migas.
Pelabuhan: Panggung Mafia yang Nyata
Jika istana adalah ruang strategi, maka pelabuhan adalah panggung eksekusi.
Di sinilah permainan migas berubah menjadi aksi langsung:
Kapal tanker yang datang dengan muatan lebih dari yang tercatat di dokumen resmi.
Bahan bakar yang “dibuang” ke kapal kecil di tengah laut sebelum tiba di pelabuhan resmi—praktik yang dikenal sebagai ship-to-ship transfer.
Solar non-subsidi yang entah bagaimana menghilang dari catatan resmi, lalu muncul kembali di pasar industri dengan harga jauh lebih mahal.
Beberapa pelabuhan besar di Indonesia bagian timur disebut-sebut sebagai “zona abu-abu” yang menjadi surga bagi penyelundupan migas. Dalam catatan investigasi, aktivitas ini melibatkan perwira kapal, oknum bea cukai, dan pejabat daerah yang menerima “upeti” untuk memuluskan jalur keluar-masuk barang.
Metode Operasi: Sistematis dan Terlindungi
Mafia migas tidak bekerja sporadis. Mereka menggunakan metode terstruktur, yang biasanya mengikuti alur ini:
Penguasaan Informasi: Mereka menguasai data impor dan stok nasional. Data ini sangat bernilai karena menentukan kapan pasar sedang defisit dan harga sedang naik.
Pengaturan Tender & Kontrak: Perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan jaringan akan dimenangkan dalam tender pasokan atau distribusi. Kontrak ini sering kali didapat tanpa persaingan sehat.
Manipulasi Volume: Minyak mentah atau BBM yang masuk atau keluar dimanipulasi volumenya di dokumen resmi. Selisihnya masuk ke pasar gelap.
Pencucian Uang: Keuntungan haram dialirkan melalui perusahaan cangkang (shell companies) di luar negeri, lalu kembali ke Indonesia dalam bentuk investasi “resmi” atau dana kampanye politik.
Korban: Negara dan Rakyat
Kerugian negara akibat mafia migas tidak hanya dalam bentuk angka pada laporan BPK.
Setiap liter BBM yang dicuri berarti hilangnya subsidi yang seharusnya dinikmati rakyat.
Setiap manipulasi impor berarti anggaran negara terkuras untuk membayar harga yang lebih tinggi dari seharusnya.
Bagi nelayan di Maluku atau petani di NTT, ini berarti harga solar yang melonjak dan kapal tak bisa berlayar.
Bagi sopir angkot di Medan atau Makassar, ini berarti ongkos operasional membengkak.
Mafia migas ibarat parasit yang menghisap energi dan darah ekonomi bangsa, tanpa pernah memikirkan dampak sosialnya.
Mengapa Sulit Diberantas?
Pertanyaannya: jika semua ini sudah lama diketahui, mengapa mereka sulit diberantas?
Jawabannya singkat: perlindungan politik dan uang yang sangat besar. Mereka tidak hanya membayar oknum di pelabuhan, tapi juga memastikan ada “payung” di level pembuat kebijakan.
Setiap upaya pembongkaran selalu dibayang-bayangi ancaman balasan: Audit yang tiba-tiba dihentikan. Tim investigasi yang dipecah. Jurnalis yang diintimidasi atau diserang kredibilitasnya.
Sistem ini bekerja seperti organisme hidup—jika satu sel tersingkir, sel lainnya segera menggantikan.
Reformasi Total atau Tidak Sama Sekali
Melawan mafia migas tidak cukup dengan razia pelabuhan atau penangkapan kapal. Itu hanya memotong “ranting” sementara akarnya tetap utuh.
Diperlukan reformasi total yang mencakup: Transparansi penuh dalam data impor, stok, dan distribusi migas yang bisa diakses publik. Audit independen terhadap seluruh kontrak dan tender di sektor energi. Pembongkaran jejaring perusahaan cangkang dan jalur pencucian uang. Perlindungan hukum yang nyata bagi whistleblower dan jurnalis investigatif.
Tanpa langkah-langkah ini, kita hanya akan melihat pergantian pemain, bukan berakhirnya permainan.
Epilog: Lingkaran Yang Belum Terputus
Dari istana hingga pelabuhan, dari meja rapat BUMN hingga dek kapal di tengah malam, jejak mafia migas tetap utuh.
Setiap pemerintahan datang dengan janji, tapi jaringan ini selalu menemukan cara untuk beradaptasi.
Mereka bagaikan bayangan yang mengikuti kekuasaan, memanfaatkan setiap celah hukum, setiap kompromi politik, dan setiap keserakahan manusia.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah mafia migas ada—itu sudah jelas. Pertanyaannya adalah: apakah kita siap membayar harga politik dan sosial untuk memutus rantai mereka?
Sebab tanpa keberanian itu, sejarah akan terus menulis bab yang sama: Minyak mengalir, uang berpindah, dan rakyat hanya menjadi penonton dari permainan yang tak pernah berakhir.
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (14): Konspirasi Minyak: Politik, Birokrasi, dan Uang Gelap
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (13): Negara Dibawah Bayang-Bayang Kartel Migas
Related Posts

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Study Tour ke Jogja Diduga Buat Ajang Bisnis, Kepala SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Diduga Langgar Hukum

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Sudah Bayar 200 Juta, Tidak Lulus Seleksi Calon Perangkat Desa Tirak, Uang Ditagih

Dari Api Surabaya ke Api Perubahan: Anies Baswedan dan Gerakan Mencerdaskan Bangsa

Warna-Warni Quote

Kunjungan Jokowi Dan Gibran Ke Keraton Kasunanan Mataram Surakarta Hadiningrat

Krisis Spiritual di Balik Krisis Ekonomi

Tambang Ilegal Diduga Kebal Hukum, LSM Gresik Minta APH Setempat Dan Polda Jatim Bertindak Tegas

Insentif Untuk Berbuat Dosa







No Responses