Oleh: Budi Puryanto
Pemimpn redaksi
Sejak kilang Balongan berdiri di pertengahan 1990-an, Indonesia tidak pernah lagi benar-benar “menyalakan” kilang baru. Proyek peremajaan/ekspansi paling penting—RDMP Balikpapan—sudah melewati enam tahun, baru di Agustus 2025 diklaim 96,15% fisik, sementara target rampung berkali-kali mundur. Akibat stagnasi ini, kilang-kilang tua bekerja keras menjahit pasokan, namun tetap tertinggal dari laju permintaan.
Secara kapasitas terpasang, peta kita sederhana: Dumai dan Plaju masing-masing sekitar 127 ribu bph, Balikpapan ~260 ribu bph, Balongan ~125 ribu bph, Kasim (Sorong) sekitar 10 ribu bph, dan raja di antara semuanya adalah Cilacap 348 ribu bph. Namun kapasitas bukan berarti realisasi output. Data operasional yang dibuka KPI menunjukkan selama 2023 seluruh kilang mengolah 340,9 juta barel crude (~934 ribu bph) dengan produksi produk BBM 274,8 juta barel (~753 ribu bph). Artinya, bahkan pada tahun “baik”, pabrik kita hanya memasok sekitar separuh dari kebutuhan harian negeri.
Bandingkan dengan kebutuhan: konsumsi minyak Indonesia 2023 berada di kisaran 1,60 juta bph (≈585 juta barel/tahun). Selisihnya kasar-kasar 585 – 275 = ~310 juta barel per tahun (±850 ribu bph) yang harus ditutup lewat impor produk, impor crude tambahan untuk diolah di dalam negeri, dan/manajemen stok. Inilah “jurang pasokan” yang melahirkan rente.
Rentenya ada di mana?
Pertama, di tahap pengadaan internasional. Dengan nilai impor migas 2024 mencapai sekitar US$36,27 miliar—terdiri dari crude US$10,35 miliar dan produk US$25,92 miliar—setiap celah 1–3% dari harga, ongkos angkut, asuransi, hingga biaya waktu tunggu (demurrage) berpotensi menjadi “krim” di atas kue. Konservatif saja: 1–3% dari US$36,27 miliar setara US$0,36–1,09 miliar (kira-kira Rp6–18 triliun pada kurs Rp16.500/US$) potensi rente tahunan—angka indikatif yang tidak menuduh individu, tapi menggambarkan ruang ekonomi yang terbuka lebar ketika tata niaga tidak transparan.
Kedua, di logistik dan operasi. Audit-audit dan pemberitaan publik selama bertahun-tahun menyebut problem demurrage, mismatch jadwal sandar, hingga ketidakefisienan storage/dermaga—persis titik-titik di mana setiap jam keterlambatan berarti uang. Biaya-biaya ini sering “hilang” dalam agregat biaya impor, namun pada skala puluhan miliar dolar, serpihan kecil pun menjadi gunung.
Ketiga, di spesifikasi dan tender. Di pasar produk, manipulasi spesifikasi (misal quality “downgrade/upgrade” yang tak relevan) atau tender yang tidak benar-benar kompetitif bisa menambah premi beberapa sen per liter. Pada volume puluhan juta kiloliter, premi “sekecil” itu berubah menjadi triliunan rupiah tiap tahun. Isyarat-isyarat soal lemahnya pengendalian internal dan praktik yang membuka ruang penyimpangan pernah muncul di temuan-temuan lama, dan narasi publik tentang kasus impor tertentu juga mengulang pola yang sama: kurang transparan, mahal di biaya tak langsung.
Bagaimana menutup kran rente?
Pertama, selesaikan RDMP Balikpapan dan proyek-proyek peningkatan kompleksitas kilang. Setiap tambahan 100 ribu bph kapasitas efektif akan memotong kebutuhan impor, memperkecil basis rente impor.
Kedua, wajibkan publikasi periodik throughput per kilang, yield, utilisasi, dan biaya logistik (termasuk demurrage) secara terbuka—bukan hanya angka agregat tahunan.
Ketiga, digitalisasi penuh rantai impor: e-tender real-time berbasis indeks (MOPS/Platts) dengan kompetisi supplier global, plus kontrak freight yang transparan. Keempat, audit kinerja logistik independen dengan KPI keras (port time, turnaround, losses) yang diumumkan ke publik. Tanpa cahaya, rente akan terus berbiak.
Struktur Pasar
Sampai di sini pesannya jelas: soal “mafia migas” bukan semata siapa orangnya, tetapi struktur pasar yang membuat rente mudah dipanen. Kita mengimpor karena tertinggal kapasitas dan kompleksitas kilang. Selama jurang pasokan 800-900 ribu bph itu belum tertutup, nilai impor puluhan miliar dolar akan terus menjadi ladang premia, fee, dan delay yang tak terlihat. Menutup jurang itu—dengan kilang yang selesai, data yang dibuka, dan proses yang dipertandingkan—adalah vaksin paling efektif melawan skandal yang berulang.
EDITOR: REYNA
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (14): Konspirasi Minyak: Politik, Birokrasi, dan Uang Gelap
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (13): Negara Dibawah Bayang-Bayang Kartel Migas
Related Posts

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Danantara & Uang Negara Penebus Dosa Oligarki

KPK Tetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Tersangka Suap Promosi Jabatan dan Gratifikasi, Langsung Ditahan

Presiden Harus Belajar dari Sultan Iskandar Muda

Mencuri Uang Rakyat Turun-Temurun

Pangan, Martabat, dan Peradaban: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

Prabowo Whoosh Wus

Jebakan Maut Untuk Presiden

Mikul Duwur Mendem Jero

Ribut Soal Pahlawan, Habib Umar Alhamid: Soeharto Layak dan Pantas Jadi Pahlawan Nasional



Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (17): Pertarungan Elite — Menguasai Migas, Mengendalikan Negara - Berita TerbaruSeptember 16, 2025 at 11:48 am
[…] Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (16): Memperkecil Kran Rente, RDMP Balikpapan Cepat Selesaikan […]