Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Mafia migas di Indonesia bukan sekadar jaringan bisnis ilegal. Mereka adalah struktur kekuasaan dalam bayang-bayang, yang memadukan kekuatan ekonomi, perlindungan politik, dan kontrol informasi. Setelah mengulas bagaimana kontrak terminal BBM seperti di Merak direkayasa untuk keuntungan segelintir pihak, serta bagaimana uang dan kekuasaan didistribusikan, kini kita masuk ke ranah yang lebih gelap: bagaimana para mafia ini menjaga dominasinya dan membungkam upaya pengungkapan?
1. Menguasai Informasi: Bungkam Media dan Manipulasi Narasi
Salah satu strategi utama mafia migas adalah mengendalikan arus informasi. Mereka memiliki koneksi dengan media besar, baik melalui iklan korporat maupun kedekatan personal dengan pemilik atau editor media. Dengan cara ini, isu-isu strategis seperti manipulasi harga BBM, sewa terminal, atau blending ilegal nyaris tidak pernah menjadi headline nasional secara konsisten.
Jika ada media yang berani mengangkat isu tersebut, mereka akan menghadapi tekanan berupa: Ancaman pencabutan iklan dan kerja sama bisnis. Serangan balik hukum (SLAPP) atas dasar pencemaran nama baik. Disinformasi dan framing bahwa isu tersebut “politis” atau “tidak akurat”
Di media sosial, mereka menggunakan buzzer bayaran dan akun palsu untuk menggiring opini publik, merelatifkan tuduhan, atau menyudutkan tokoh pengkritik.
2. Intervensi Politik: Amankan Posisi Lewat Lobi dan Donasi
Para pengendali bisnis migas, seperti Riza Chalid dan kroninya, diketahui memiliki akses langsung ke tokoh-tokoh partai politik lintas spektrum. Mereka mendanai kampanye, menjalin perjanjian tidak tertulis, dan sebagai balasannya, mendapatkan perlindungan atas bisnis-bisnis mereka.
Hasilnya?
Komisi III (Hukum), Komisi VI (BUMN), Komisi VII (ESDM) dan Komisi XII (Keuangan) di DPR cenderung pasif dan tidak mendorong audit serius terhadap skema terminal BBM
Laporan atau rapat pengawasan atas kontrak janggal, blending, atau kebocoran subsidi tidak pernah sampai ke tahap penyelidikan serius
Posisi strategis di BUMN energi, bahkan regulator seperti BPH Migas, bisa dinegosiasikan melalui pendekatan politis
3. Membentuk Aliansi dalam Birokrasi dan BUMN
Mafia migas juga menyusupkan orang-orang ke dalam struktur birokrasi dan perusahaan negara. Jabatan-jabatan kunci seperti direktur distribusi, logistik, atau keuangan di anak usaha Pertamina, terutama Patra Niaga, dijadikan “pion” untuk meloloskan kebijakan, menyusun kontrak, dan memastikan keberlangsungan rente.
Bahkan ketika terjadi pergantian direksi, pola ini tetap berulang. Mengapa? Karena sistem rekrutmen dan promosi di BUMN belum sepenuhnya bebas dari pengaruh politik dan transaksional.
4. Tekanan dan Intimidasi terhadap Pengungkap Fakta
Strategi klasik lainnya adalah membungkam para whistleblower. Banyak orang dalam Pertamina, auditor, bahkan akademisi yang tahu dan ingin bersuara, tetapi mundur karena tekanan. Beberapa bentuk tekanan yang biasa terjadi seperti: Mutasi dan pembekuan karier internal. Intimidasi hukum atau pelaporan balik. Ancaman fisik, baik tersirat maupun langsung. Stigma dan perusakan reputasi di media sosial
Inilah sebabnya hanya sedikit suara independen seperti CERI (Center of Energy and Resources Indonesia an Direktur Eksekutif -nya, Yusri Usman yang konsisten bersuara, meskipun menghadapi berbagai tekanan.
5. Rekayasa Regulasi dan “Legalisasi” Modus
Modus canggih mafia migas adalah merekayasa regulasi agar praktik curang menjadi tampak legal. Contohnya:
Celah dalam aturan blending BBM yang tidak secara eksplisit melarang pencampuran di luar kilang. Tidak adanya kewajiban audit terbuka atas kontrak sewa terminal BBM. Ketiadaan sistem pelaporan digital real-time untuk volume dan mutu BBM subsidi
Dengan demikian, saat skandal dibongkar, mereka bisa berdalih bahwa semuanya dilakukan “sesuai prosedur”.
Penutup
Apa yang terjadi di sektor migas bukan sekadar kelalaian, melainkan hasil dari strategi sistematis yang dijalankan oleh mafia energi yang kuat dan terorganisir. Mereka mampu menyusun jaringan politik, ekonomi, dan media untuk memastikan bahwa kepentingannya tidak terganggu.
Jika publik ingin perubahan nyata, maka strategi mafia ini harus diurai, satu per satu, dan diberantas sampai ke akarnya.
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (5): Siapa Melindungi Riza Chalid?
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (4): Kemana Uang Skandal Blending Pertalite Menggalir?
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (3): Siapa di Balik Skema Blending Ilegal BBM?
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (2): Blending Ilegal Pertalite di Terminal Merak
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (1): Riza Chalid Akali Kontrak Terminal Merak
Related Posts

Aliansi Masyarakat Tirak Nilai Seleksi Perangkat Desa Cacat Hukum, Akan Bawa ke DPRD dan PN

Isolasi Dalam Sunyi – Gibran Akan Membeku Dengan Sendirinya

Pertalite Brebet di Jawa Timur: Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Masalah Mesin

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”



Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (7): Petral Mati, Mafia Migas Belum Terkubur - Berita TerbaruAugust 8, 2025 at 10:49 am
[…] Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (6): Strategi Mafia Migas Menjaga Kekuasaan dan Meredam Investigas…Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (Bagian 5): Siapa Melindungi Riza Chalid? […]