Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Di atas kertas, Petral —singkatan dari Pertamina Energy Trading Ltd.—telah lama mati. Pemerintah secara resmi membubarkan perusahaan offshore itu pada 2015 setelah desakan publik dan temuan banyak penyimpangan. Namun, seperti makhluk mitologis yang tak pernah benar-benar mati, praktik-praktik kotor dan tertutup dalam tata niaga migas nasional justru diduga masih hidup dalam wajah baru.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, termasuk salah satu pihak yang terus menyuarakan bahaya laten ini. Ia menyebut bahwa meskipun Petral telah dibubarkan, pola lama seolah hanya berganti baju. Salah satu transformasi terselubung itu muncul dalam bentuk Pertamina International Marketing Downstream (PIMD) yang aktif sekitar 2015–2016.
“Meskipun Petral dinonaktifkan, operasinya bisa saja dilanjutkan dengan nama atau kendaraan lain,” tegas Yusri.
Pernyataan ini seolah menjadi tamparan bagi semangat reformasi tata kelola energi nasional yang digaungkan pemerintah. Jika benar adanya, maka yang dibubarkan hanyalah simbol, sementara jantung dari mafia migas tetap berdetak—beroperasi dalam senyap.
Dari Petral ke PIMD: Wadah Lama, Wajah Baru?
Petral dulunya menjadi ujung tombak pengadaan minyak mentah dan BBM untuk Pertamina. Namun dalam praktiknya, Petral menjadi sorotan banyak pihak karena dianggap menjadi sarang permainan harga, manipulasi tender, dan kartel pengadaan.
Bubarnya Petral disambut sebagai langkah besar menuju transparansi. Namun, menurut Yusri, euforia itu terlalu cepat. Sebab, struktur dan modus operandi Petral justru muncul kembali lewat badan baru.
PIMD, anak usaha Pertamina yang berada di bawah PT Pertamina International, disebut sebagai pengganti informal dari fungsi Petral. Meskipun belum terbukti secara hukum, indikasi penyimpangan tetap tercium, terutama dari cara operasional yang tertutup dan minim akuntabilitas publik.
ISC: Dari Niat Mulia Jadi Alat Permainan?
Yusri juga menyinggung Integrated Supply Chain (ISC) yang semula dibentuk dengan maksud mulia oleh mantan Direktur Utama Pertamina, Ari Sumarno. Tujuan awal ISC adalah menyatukan proses pengadaan minyak dalam satu tangan agar efisien, transparan, dan menguntungkan negara.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain.
“ISC dibentuk demi kepentingan nasional, tapi kenyataannya disalahgunakan untuk permainan tertutup yang tidak transparan,” ujar Yusri.
Justru dalam proses terpusat itu muncul banyak lubang gelap. Penunjukan mitra dagang dilakukan secara tertutup. Harga dan volume kerap tak bisa diverifikasi oleh publik. Sistem tender pun, menurut laporan beberapa pihak, kerap dijalankan secara semu—mengundang hanya segelintir pemain yang itu-itu saja.
Mafia Migas: Bayangan Tak Pernah Hilang
Istilah “mafia migas” bukanlah sesuatu yang baru. Sejak era reformasi, isu ini telah menghiasi halaman depan media nasional. Namun hingga kini, mafia migas tetap tak tersentuh. Tidak banyak aktor yang benar-benar diproses hukum. Sistem yang seharusnya steril dari intervensi justru menjadi ladang permainan oknum elite dan perantara licik.
Transparansi dalam pengadaan energi nasional—khususnya dalam pengadaan impor BBM—masih jauh dari harapan. Bahkan ketika Petral dibubarkan dan ISC dibentuk, **hantu mafia itu tetap membayang, membuktikan bahwa persoalannya bukan hanya soal institusi, tapi soal budaya dan keberanian politik.
Solusi dan Harapan
Yusri dan para pegiat transparansi energi terus mendesak:
Audit menyeluruh terhadap lembaga-lembaga pengadaan energi. Penguatan peran BPK dan KPK dalam pengawasan tata niaga migas. Penyelidikan terhadap struktur baru pasca-Petral yang disinyalir menjadi kendaraan baru mafia
Tanpa reformasi total dan ketegasan hukum, bubarnya Petral hanyalah kamuflase politik. Mafia migas tetap hidup, menyedot keuntungan pribadi dari sumber daya publik yang seharusnya menjadi milik rakyat.
Petral mungkin telah mati, tapi mafia migas belum terkubur. Dan selama tidak ada kemauan politik yang kuat, nama-nama baru akan terus menggantikan nama lama—dengan cara kerja yang sama kotornya.
EDITOR: REYNA
Baca juga artkel terkait:
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (6): Strategi Mafia Migas Menjaga Kekuasaan dan Meredam Investigasi Publik
Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (Bagian 5): Siapa Melindungi Riza Chalid?
Related Posts

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Patrick Kluivert Dihentikan Setelah 9 Bulan — Apa Yang Salah?

Sentimen Pasar Bangkit, Tapi Bayang-Bayang Inflasi Masih Menghantui

Tirai Terbuka atau Tirai Besi? Ketika Prabowo Menyatakan ‘Saya Bukan Otoriter’

Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menetapkan preseden iklim utama dalam kasus minyak Norwegia



Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (8): Dugaan Praktik SPV di Pertamina Potensi Rp 10 Triliun Menguap Setiap Tahun - Berita TerbaruAugust 9, 2025 at 10:08 am
[…] Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (7): Petral Mati, Mafia Migas Belum Terkubur […]