Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (Seri 22) : Pertarungan Gelap di Balik Tender dan Kilang

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (Seri 22) : Pertarungan Gelap di Balik Tender dan Kilang
Kilang GRR Tuban: Pekerjaan teknis awal seperti desain dan infrastruktur dasar sebagian sudah tampak pada beberapa sudut proyek

Oleh: Budi Puryanto

Mafia migas di Indonesia tak pernah benar-benar hilang, hanya berganti wajah dan modus. Jika sebelumnya nama Riza Chalid dan skandal “Papa Minta Saham” mencuat, kini arena permainan bergeser ke tender impor minyak, pembangunan kilang, hingga pengadaan LNG. Di balik jargon efisiensi dan kemandirian energi, ada perang kepentingan besar yang melibatkan pejabat, pengusaha, dan aktor asing.

Tender Impor Saudi Aramco: Jalan Pintas atau Perangkap?

Kasus terbaru yang ramai dibicarakan adalah dugaan permainan dalam tender impor minyak Saudi Aramco. Pertamina semestinya bisa mengoptimalkan pasokan dari kilang domestik, namun tetap membuka jalan bagi impor dalam jumlah besar. Beberapa pengamat menyebut, praktik “mark-up” harga dan permainan kuota masih terjadi, di mana trader tertentu diduga mendapat prioritas.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) menilai, praktek ini membuat negara kehilangan miliaran dolar setiap tahun. “Tender seolah transparan, tapi di balik layar sudah ada ‘pemenang’ yang disiapkan,” kata Yusri. Ia menyebut pola lama mafia migas tak pernah benar-benar hilang, hanya dimodifikasi dengan metode baru yang lebih halus.

Kilang Tuban: Proyek Strategis yang Tersandera

Pembangunan Kilang Tuban (Grass Root Refinery/GRR) Tuban, yang digadang-gadang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), tak lepas dari kontroversi. Sejak awal, kerja sama dengan Saudi Aramco menggantikan Rosneft (perusahaan minyak asal Rusia), yang diharapkan menjadi backbone proyek itu justru bubar di tengah jalan. Pertamina kemudian melanjutkan sendiri dengan menggandeng mitra lain, namun hingga kini progresnya tersendat.

Area proyek GRR Tuban terlihat berupa lahan reklamasi luas di tepi pantai, dengan aktivitas konstruksi (meski masih terbatas).

Di balik itu, sejumlah sumber di internal migas menuturkan adanya tarik-menarik kepentingan. Kilang Tuban, yang nilai investasinya mencapai puluhan miliar dolar (sekitar Rp205 triliun) menjadi rebutan berbagai pihak untuk mendapat jatah proyek, mulai dari penyedia lahan, kontraktor, hingga pemasok peralatan. Mafia migas, yang lihai memanfaatkan celah, masuk dengan menawarkan “solusi cepat” namun penuh jebakan rente.

Kasus LNG: Bisnis Gas yang Jadi Ladang Baru

Tak hanya minyak, bisnis gas alam cair (LNG) pun tak luput dari permainan mafia migas. Skandal pengadaan LNG oleh Pertamina beberapa waktu lalu membuka mata publik tentang bagaimana kontrak jangka panjang bisa merugikan negara. Ada indikasi bahwa harga pembelian LNG dipatok lebih tinggi dari pasar, sementara distribusinya tidak terencana dengan baik.

Dalam beberapa kasus, kapal pengangkut LNG bahkan menganggur di laut karena belum ada pembeli di dalam negeri. Kerugian? Ditanggung BUMN dan pada akhirnya rakyat. “Ini pola klasik: kontrak jangka panjang yang dikunci di harga tinggi. Ada pihak yang untung besar, sementara negara tekor,” ungkap seorang mantan pejabat SKK Migas yang enggan disebut namanya.

Pertarungan di Balik Layar

Kasus Aramco, Kilang Tuban, dan LNG menunjukkan pola yang sama: mafia migas bekerja bukan di level teknis, melainkan di level pengambil kebijakan. Mereka membisikkan rekomendasi, menekan keputusan, bahkan mengatur kontrak dari balik layar.

Pertamina, sebagai BUMN strategis, kerap menjadi arena pertarungan kepentingan antara kelompok politik, pengusaha lokal, hingga pemain global. Setiap kali manajemen mencoba reformasi, selalu ada resistensi. Skandal demi skandal yang muncul hanyalah puncak gunung es dari permainan yang jauh lebih besar.

Jalan Panjang Reformasi

Presiden Prabowo sudah berkali-kali menegaskan pentingnya kemandirian energi. Namun selama mafia migas masih bercokol, upaya itu sulit terwujud. Pengamat energi menilai, satu-satunya jalan adalah memperkuat transparansi dalam tender, mempercepat pembangunan kilang, dan menertibkan kontrak LNG yang merugikan negara.

Pertanyaannya, apakah pemerintah berani memutus mata rantai rente yang sudah mengakar puluhan tahun? Ataukah mafia migas justru akan kembali menang, bersembunyi di balik jargon efisiensi dan investasi asing?

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (21): Membongkar Jejaring Internasional Riza Chalid

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (20): Mafia Migas di Parlemen: “Ketok Palu” Anggaran dan Bagi-Bagi Proyek Energi

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (19): Lobi Politik di Balik Blok Migas: Dari Meja Menteri hingga Ruang Istana

Last Day Views: 26,55 K