Oleh: Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tak terduga, tiga kolega mengirim pesan luar biasa. Mereka tahu penulis suka bagi-bagi, sharing pesan, dari siapa-siapa, kepada siapa-siapa, kapan saja, di mana-mana, dan untuk siapa-siapa.
Kali ini penulis terima dari sesama alumni Pondok Pesantren Pabelan Magelang, dari Bung Radhar Tribaskoro, dan dari Bang Edy Mulyadi.
FILOSOFI JAWA: “Sirno Dalane Pati, Nursipat, Luber Tanpo Kebak”
Sirno dalane pati: Hilangkan apa yang harus dihilangkan, agar matimu enak (husnul khatimah); yang dihilangkan adalah penyakit hati: di antaranya sombong, iri, dengki).
Nursipat: Jadilah orang yang bermanfaat, Nursipat adalah bersifat Cahya.
Luber tanpo Kebak: Sekaya apa pun hartamu, setinggi apa pun ilmu dan pangkatmu, jangan terlihat menunjukkan diri; tetaplah sederhana, supaya sejatinya penyakit hati tidak muncul.
Jangan Bosan Menjadi Guru Yang Baik
Semoga Allah Swt. memberikan kita semua dan keluarga sehat, panjang umur yang barakah, lancar ibadah, rejeki yang halal berlimpah barakah, kelak husnul khatimah, berhasil bersama-sama masuk surga, selamat dari neraka.
DARI SILUNGKANG KE WALL STREET: MEWARISKAN TRADISI, MERANCANG MASA DEPAN ANAK, DAN MENJAWAB TANTANGAN INDONESIA
Resensi buku “From Jakarta to Wall Street” karya Deswandhy Agusman
Di tengah arus pasang-surut sistem pendidikan nasional, krisis etika di ruang publik, dan kegamangan orang tua dalam mendidik anak di era global, buku From Jakarta to Wall Street hadir sebagai secercah cahaya yang tenang dan reflektif. Ditulis oleh Deswandhy Agusman—bankir senior yang juga pernah menjabat sebagai pejabat tinggi di pemerintahan—buku ini bukan hanya memoar personal, tetapi juga catatan tentang bagaimana membesarkan anak secara sadar, sistematis, dan penuh cinta, dalam masyarakat yang kerap kehilangan arah dalam mendidik generasi mudanya.
Buku ini berbeda dari buku-buku parenting populer yang didominasi tips-tips praktis. Deswandhy tidak memberi daftar “10 langkah agar anak sukses”, melainkan mengajak pembaca menyelami proses panjang membentuk karakter, ketangguhan, dan jati diri anak, sejak dini hingga dewasa. Ia membuktikan bahwa masa depan anak tidak bisa dibentuk hanya dengan motivasi, melainkan harus dengan desain.
Mengasuh Anak Bukan Sekadar Mengantar ke Sekolah
Salah satu kekuatan buku ini adalah pendekatan concerted cultivation—konsep yang jarang kita temukan dalam budaya pengasuhan Indonesia. Deswandhy menyiapkan seluruh aspek pertumbuhan anak: akademik, spiritual, kemandirian, kepemimpinan, dan keterbukaan budaya. Ia tidak hanya menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik, tapi juga memastikan mereka menjalani kehidupan yang seimbang: berenang sebelum subuh, menulis esai setiap pekan, membaca Al-Qur’an dua kali seminggu, menulis catatan perjalanan saat liburan, hingga mempelajari bahasa Prancis sejak usia sembilan tahun.
Yang luar biasa, semua itu dilakukan tanpa tekanan yang membuat anak merasa terpaksa. Ia melakukannya dengan struktur yang lembut, dengan cinta, konsistensi, dan kehadiran sebagai orang tua. Dalam konteks Indonesia—di mana banyak orang tua cenderung menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah dan les privat—buku ini menjadi pengingat keras: bahwa tidak ada sekolah sehebat peran orang tua yang hadir.
Mengakar di Tradisi, Terbang ke Dunia
Sebagai anak Minang yang lahir di Silungkang, Sumatera Barat, Deswandhy membawa serta filosofi merantau dalam membesarkan anak-anaknya. Tradisi ini bukan sekadar berpindah tempat tinggal, tetapi mencerminkan dorongan kultural untuk mencari ilmu, memperluas cakrawala, dan memperkuat jati diri melalui perjalanan.
Deswandhy menjadikan tradisi itu sebagai fondasi, bukan beban. Ia tidak meninggalkan nilai-nilai kampung halaman, tapi membawanya dalam perjalanan global: ketika anak-anaknya belajar di Deerfield Academy, menjalani summer camp di Wolfeboro, atau kuliah di NYU dan Georgetown. Anak-anaknya tumbuh sebagai Muslim yang percaya diri, sebagai profesional yang tangguh, dan sebagai warga global yang tahu dari mana mereka berasal.
Di tengah perdebatan tentang apakah globalisasi mengikis nilai-nilai lokal, buku ini justru menunjukkan bahwa akar budaya tidak bertentangan dengan sayap global. Justru sebaliknya: akar yang dalam memungkinkan anak terbang lebih tinggi dan lebih stabil.
Kisah Dua Putri: Dari Kumon ke Wall Street
Bagian paling mengharukan dan inspiratif dari buku ini adalah kisah perkembangan dua putri Deswandhy: Yasmine dan Andari. Yasmine menempuh pendidikan menengah di Deerfield, lalu melanjutkan ke New York University, dan kini bekerja di institusi finansial bergengsi di Wall Street. Andari, adiknya, menempuh jalan serupa: setelah melewati masa adaptasi emosional yang tidak mudah, ia lulus dari Georgetown University, dan juga bekerja di sektor keuangan global.
Keduanya tidak hanya berhasil dalam arti profesional, tetapi juga tumbuh sebagai pribadi utuh. Yasmine menjadi sosok pemimpin yang tenang dan bertanggung jawab, sementara Andari dikenal sebagai penulis reflektif dan peka terhadap persoalan sosial. Keduanya mewujudkan cita-cita pendidikan dalam arti sesungguhnya: bukan sekadar sarjana, tetapi manusia seutuhnya.
Refleksi untuk Indonesia
Dalam konteks Indonesia saat ini, buku ini memiliki resonansi yang sangat relevan.
Pertama, pendidikan di Indonesia masih berkutat pada hafalan dan angka-angka ujian. Padahal, seperti ditunjukkan dalam buku ini, pendidikan sejati harus membentuk karakter, daya tahan, empati, dan kemampuan berpikir kritis. Pendidikan bukan soal masuk sekolah bagus, tetapi soal mendidik manusia.
Kedua, banyak orang tua kelas menengah di Indonesia terjebak dalam pola konsumsi pendidikan: sekolah mahal, les privat, sertifikat ekskul, tapi tanpa arah jangka panjang yang terencana. Buku ini mengajarkan bahwa orang tua harus menjadi perancang, bukan hanya penyandang dana.
Ketiga, buku ini juga mengangkat peran keluarga, dalam menjaga nilai agama tanpa fanatisme. Di saat sebagian elite kita terjebak dalam sekularisme kosong atau justru ekstremisme agama, kisah keluarga Deswandhy menunjukkan bahwa anak bisa tumbuh sebagai Muslim yang inklusif, percaya diri, dan siap bersaing secara global.
Menulis Masa Depan dengan Cinta dan Disiplin
Yang membuat buku ini begitu menyentuh adalah cara Deswandhy tidak pernah menempatkan dirinya sebagai pahlawan. Ia menulis sebagai seorang ayah yang belajar dari kesalahan, yang rindu anak-anaknya saat harus berpisah, dan yang berkali-kali menegaskan bahwa semua ini dilakukannya karena cinta. Ia bukan guru, bukan motivator, tapi orang tua biasa dengan visi luar biasa.
Bagi para orang tua, guru, maupun pembuat kebijakan, buku ini adalah panggilan untuk kembali pada esensi pendidikan: merancang manusia, bukan sekadar menyiapkan tenaga kerja. Bagi bangsa Indonesia, buku ini adalah pengingat bahwa akar budaya kita yang kuat justru bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi dunia.
Judul Buku: From Jakarta to Wall Street
Penulis: Deswandhy Agusman
Penerbit: Fulton Books, 2025.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benar nyala. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dia. Cahaya mereka memancar di hadapan dan di kanan mereka, seraya mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.'”
(QS At-Tahrim/66:8)
Ya Allah ya Tawwab, malam ini kami datang membawa luka jiwa dan dosa yang tak terhitung. Kami ingin bertobat. Bukan karena takut mati semata, tapi karena kami malu telah jauh dari-Mu. Kami ingin kembali dengan tobat yang tulus, tobat yang menghapus semua noda, tobat yang tak ingin lagi diulangi.
Ya Allah ya Quddus, sucikan hati kami dari cinta dunia yang membutakan. Bersihkan jiwa kami dari niat yang menyimpang. Jangan biarkan hati kami hitam oleh dengki, sombong, dan malas. Jadikan malam ini awal dari hidup yang Engkau ridai, hidup yang mengarah pada cahaya, bukan pada gelap yang menjerumuskan.
Ya Allah ya Rahim, kami ingin termasuk dalam golongan yang kelak Engkau beri cahaya di hari yang gelap. Cahaya yang menuntun langkah, bukan wajah muram penuh sesal. Cahaya yang berasal dari amal yang Engkau terima, bukan dari dunia yang kami banggakan. Kabulkan doa yang Engkau abadikan dalam firman-Mu, “Rabbana atmim lana nurana waghfirlana innaka ‘ala kulli syai’in qadir.”
Ya Allah ya Nur, terangilah hidup kami sejak hari ini. Terangilah setiap sudut gelap dalam hati. Jangan biarkan kami mati dalam keadaan tak bersih. Jangan, biarkan kami menghadap-Mu dengan membawa karat jiwa yang kami pelihara seumur hidup.
Ya Allah, ya Rabb, kami tak tahu kapan ajal datang. Tapi malam ini kami ingin mulai hidup dengan tobat. Jika belum Engkau ambil nyawa ini, beri kami kesempatan untuk memperbaiki. Dan jika esok adalah waktu kami pulang, terimalah kami dalam ampunan-Mu, dalam cahaya-Mu.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Isolasi Dalam Sunyi – Gibran Akan Membeku Dengan Sendirinya

Pertalite Brebet di Jawa Timur: Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Masalah Mesin

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional



No Responses