Misteri di Balik “Aksi 25 Agustus”: Siapa di Belakang Seruan “Bubarkan DPR”?

Misteri di Balik “Aksi 25 Agustus”: Siapa di Belakang Seruan “Bubarkan DPR”?
Ilustrasi: Aksi demonstrasi minta pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Jumat (16/10/2020) diwarnai ritual para dukun yang mengirimkan santet ke Gedung DPR RI. Diduga banyak makhluk halus penunggu Gedung DPR

JAKARTA – Gelombang ajakan demo pada 25 Agustus menuntut Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR telah viral di media sosial. Namun, siapa sebenarnya yang menjadi penggerak atau penyelenggara aksi ini? Hingga kini, tidak ditemukan satu pun lembaga, aliansi resmi mahasiswa, serikat buruh, atau organisasi masyarakat sipil—mendukung atau mengklaim sebagai penyelenggara aksi tersebut.

Apa yang Diketahui Saat Ini?

Belum ada penyelenggara resmi. Baik organisasi mahasiswa seperti BEM SI maupun serikat buruh (KSPI) tegas membantah keterlibatan mereka dalam gerakan ini
.
Seruan tersebar melalui media sosial dan Whatsapp tanpa sumber jelas. Pesan ajakan dilengkapi dengan panduan menggunakan pelindung kepala (polybag) terhadap gas air mata, tapi asal-usul konten tersebut masih samar

Siapa yang “Berbicara” di Ruang Maya?

Akun X (dulu Twitter) seperti @Heraloebss menyoroti kemarahan publik sebagai bahan bakar gerakan. Ia menyebut “Sentimen publik terhadap DPR memuncak, netizen Seruan Demo Bubarkan DPR!!!”

Akun seperti @NenkMonica bahkan memberi panduan praktis bagi peserta, misalnya penggunaan pelindung kepala dan teknik menghadapi gas air mata
.
Namun, semua akun ini beroperasi secara anonim atau non-instansional—bukan aktor formal seperti BEM, KSPI, atau LSM.

Kenapa Bisa Terjadi Kekosongan Identitas Penyelenggara?

Aksi instan. Respons terhadap isu politik yang membara seperti kenaikan tunjangan DPR menghasilkan reaksi instan di median digital—rasanya spontan dan tidak terdokumentasi secara formal.

Tujuan paradoksal. Menuntut pembubaran parlemen tanpa organisasi jelas bisa ditafsirkan sebagai “aksi tanpa kepemimpinan”—rentan dimanfaatkan pihak berkepentingan tertentu.

Potensi manipulator. Ketika narasi aksi diambil dari obsess publik terhadap DPR, ada peluang suara-suara ekstrem muncul sekaligus menyebar hoaks.

Reaksi Publik dan Respon DPR

Tokoh buruh seperti Mohammad Jumhur Hidayat (KSPSI) menyatakan menolak aksi: “Tidak jelas siapa penanggung jawab, rawan anarkis”—karena bisa jadi digunakan untuk “pertarungan politik elit” yang merusak rakyat

DPR, melalui Wakil Ketua Saan Mustofa, menyatakan terbuka menerima aspirasi lewat dialog formal dan badan aspirasi, daripada aksi massa yang belum jelas landasannya

Kesimpulan: Siapa yang Bertanggung Jawab? Masih Sebuah Misteri

Tidak ada organisasi atau tokoh teridentifikasi sebagai inisiator gerakan.

Narasi dan seruan beredar di ruang digital tanpa legitimasi langsung—memicu keraguan tentang kredibilitas dan tujuan aksi.

Potensi manipulasi pun terbuka, baik oleh aktor politik, simpatisan partai, maupun oknum anti-establishment.

Dalam demokrasi, demonstrasi adalah hak rakyat. Namun, legitimasi dan kecermatan dalam menyuarakan aspirasi adalah fondasi utama agar tetap produktif—bukan menjadi alat disintegrasi atau politik pecah belah.

EDITOR:REYNA

Last Day Views: 26,55 K