Muhammad Chirzin: Kepahlawanan Sam Ratulangi

Muhammad Chirzin: Kepahlawanan Sam Ratulangi
Makam dan Tugu Sam Ratulangi terletak di kawasan sejuk dan berbukit di Desa Wawalintouan, Kabupaten Tondano Minahasa, Sulawesi Utara

Oleh: Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijogo

 

Dr. Phil. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi (5 November 1890–30 Juni 1949), lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi, politikus, jurnalis, dan guru dari Sulawesi Utara. Pahlawan Nasional Indonesia, tokoh multi dimensional.

Ia dikenal dengan filsafatnya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia. Ratulangi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menghasilkan UUD 1945, Gubernur Sulawesi pertama.

Ratulangi lahir pada tanggal 5 November 1890 di Tondano, Minahasa, putra Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan.
Ayahnya guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-anak dari kepala-kepala desa) di Tondano. Ibunya putri Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor) Tondano-Touliang.

Ratulangi mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda, lalu melanjutkan di Hoofden School, di Tondano.

Pada tahun 1904, ia berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA), lalu belajar di sekolah menengah teknik Koningin Wilhelmina.Ratulangi lulus pada tahun 1908 dan mulai bekerja pada konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan Jawa Barat. Di sana ia mengalami perlakuan tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan dibandingkan dengan karyawan Indo.

Pada tahun 1911, Ratulangi kembali ke Minahasa, karena ibunya sakit parah, dan meninggal pada tanggal 19 November 1911.

Ratulangi menggunakan uang warisan yang dia terima untuk biaya pendidikan di Eropa. Dia tiba di Amsterdam pada tahun 1912, dan melanjutkan studinya.

Pada tahun 1913, ia menerima sertifikat untuk mengajar matematika untuk tingkat sekolah menengah. Atas saran Abendanon Ratulangi mendaftarkan diri dan diterima di Universitas Zurich di Swiss.

Pada tahun 1919, ia memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.

Selama di Amsterdam, Ratulangi sering bertemu dengan Sosro Kartono (saudara RA Kartini) dan tiga pendiri Indishe Party: Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjanongrat (Ki Hajar Dewantara).

Ratulangi juga aktif dalam organisasi Perhimpujnan Indonesia. Dia terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1914.

Di Swiss ia aktif di Asosiasi Mahasiswa Asia dan bertemu Jawaharal Nehru dari India.Ratulangi juga aktif dalam menulis artikel-artikel. Dalam satu artikel berjudul “Sarekat Islam” tahun 1913, Ratulangi menulis tentang pertumbuhan koperasi pedagang lokal Sarekat Islam dan memuji Gerakan Boedi Oetomo di Indonesia. Pada akhir artikel tersebut Ratulangi menulis:

“Sejarah tidak memiliki catatan tentang bangsa yang dijajah selamanya. Diharapkan bahwa pemisahan yang tak terelakkan (Hindia dan Belanda) akan berlangsung secara damai, yang seharusnya akan memungkinkan interaksi yang baik dari unsur-unsur budaya antara Hindia dan Belanda, yang telah terjalin selama berabad-abad dalam sejarah, bisa dilanjutkan.”

Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1919, Ratulangi pindah ke Yogyakarta untuk mengajar matematika dan sains di sekolah Teknik Prinses Juliana School.

Setelah tiga tahun mengajar, ia pindah ke Bandung dan memulai perusahaan asuransi Assurantie Maatschappij Indonesia dengan seorang dokter yang juga berasal dari Minahasa. Inilah contoh pertama yang diketahui penggunaan “Indonesia” dalam dokumen resmi.

Soekarno pertama kali bertemu Ratulangi ketika ia mengunjungi Bandung untuk sebuah konferensi, dan melihat nama perusahaan Ratulangi dengan kata “Indonesia”. Dia penasaran dengan pemilik usaha ini, dan bertemu dengan Ratulangi.

Ratulang kembali ke Minahasa dan menjadi sekretaris badan perwakilan daerah Minahasa di Manado tahun 1924 hingga 1927. Selama di Minahasa Raad, Ratulangi memperjuangkan hak-hak untuk orang-orang Minahasa.

Dia mendesak pemerintah kolonial menghapuskan kerja paksa di Minahasa. Dia juga berperan dalam pembentukan yayasan untuk membiayai pendidikan siswa-siswa yang membutuhkan.

Ratulangi dan Tumbelaka membentuk partai Persatuan Minahasa, mewakili suatu wilayah di Sulawesi memberikan identitas lokal kepada anggota-anggotanya, tetapi juga bertujuan mempromosikan persatuan secara nasional. Partai ini “menyerukan ‘solidaritas semua kelompok penduduk Indonesia.”

Tahun 1939 Persatuan Minahasa membentuk Gabungan Politik Indonesia. Ratulangi mengkritik pemerintah colonial. Dia ditangkap karena pandangan politiknya, dan dipenjarakan selama beberapa bulan di Sukamiskin Bandung.

Ratulangi salah satu pendiri Persatuan Cendekiwan Indonesia pada tahun 1932. Pada bulan Juni 1937, terbit buku Ratulangi “Indonesia in de Pacific.” Buku itu dianggap visioner. Sam Ratulangi memperingatkan terhadap militerisasi Jepang dan meramalkan kemungkinan Jepang menyerang kepulauan Indonesia karena sumber daya alamnya.

Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1938, Ratulangi menjadi editor sebuah majalah berita berbahasa Belanda.
Ia gunakan majalah ini untuk menulis pendapat-pendapat yang menentang tindakan tidak adil pemerintah colonial, dan untuk menyadarkan sesama orang Indonesia akan keadaan pada saat itu.

Pendudukan Jepang

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, pada 20 Maret 1942, pihak Jepang melarang segala jenis kegiatan politik di Indonesia.
Pada awal Agustus 1945, Ratulangi diangkat sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sulawesi.

Pada saat Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Ratulangi hadir dalam upacara tersebut karena Ratulangi baru saja tiba di Batavia bersama para anggota PPKI lainnya dari wilayah timur untuk mengikuti rapat PPKI.

Rapat PPKI yang diadakan pada hari berikutnya menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan pengangkatan secara aklamasi Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Rapat-rapat itu juga membagi Indonesia ke dalam wilayah-wilayah administratif di mana Ratulangi diangkat menjadi Gubernur Sulawesi.

Setelah kembali ke Makassar dan secara resmi mengumumkan proklamasi kemerdekaan, Ratulangi dihadapkan pada situasi yang sangat sulit.

Jepang belum siap menyerahkan senjata mereka. Pasukan Sekutu tiba pada bulan September 1945 yang siap untuk mengambil alih daerah Hindia Belanda seperti sebelum perang.

Dengan masuknya orang-orang asing tersebut pemuda daerah di Sulawesi bersiap untuk berjuang dengan segala cara untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Bersamaan dengan ini, Ratulangi menerima dukungan dari raja-raja adat termasuk dari Kesultanan Bone dan Kesultanan Luwu yang menyatakan dukungan kepada Republik yang baru didirikan.

Ia membentuk pemerintah daerah yang beroperasi selama sembilan bulan. Pada 5 April 1946, Ratulangi dan beberapa stafnya diambil dari rumah mereka dan ditahan oleh polisi militer Belanda.

Ratulangi diasingkan ke Serui bersama enam stafnya dan keluarga mereka. Di sana mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat, mendirikan sekolah lokal, dan organisasi sosial untuk membantu para wanita dalam komunitas.

Pada 23 Maret 1948, setelah penandatanganan Perjanjian Renville, Belanda melepaskan Ratulangi dan rekan-rekannya. Mereka dipindahkan ke Surabaya menuju ibu kota republik di Yogyakarta.

Ratulangi ditunjuk sebagai penasihat khusus untuk pemerintah Indonesia dan anggota delegasi Indonesia dalam negosiasi dengan Belanda.

Pada tanggal 10 November 1948, sebuah manifesto diumumkan oleh RRI yang mendesak rakyat Indonesia di bagian timur yang berada di bawah kendali Belanda untuk menjaga persatuan mereka dengan Republik Indonesia agar suatu hari Indonesia secara sepenuhnya akan menjadi merdeka.

Alinea pertama manifesto ini:

“Bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Republik Indonesia tidak hanya mengenai kepentingan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia, yang tergabung dalam Republik Indonesia, akan tetapi juga meliputi kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia seluruhnya, serta pengakuan hak dasar rakyat itu untuk hidup bebas dan merdeka atas bumi, bagian dari dunia ini yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada mereka.”

Pada waktu Agresi Militer Belanda II, Yogyakarta dikuasai Belanda, dan para pemimpin Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka.

Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada tanggal 25 Desember 1948. Dia dipindahkan ke Jakarta pada tanggal 12 Januari 1949 untuk dipindahkan ke Bangka. Namun, karena masalah kesehatannya, ia diizinkan tinggal di Jakarta sebagai tahanan rumah.

Ratulangi meninggal pada tanggal 30 Juni 1949, dimakamkan sementara di Tanah Abang. Berikutnya, jenazah Ratulangi dimakamkan di kampung halamannya di Tondano.

Pada bulan Agustus 1961, Ratulangi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Soekarno. Ia juga menerima Bintang Gerilya pada tahun 1958, Bintang Mahaputra Adipradana pada tahun 1960, dan Bitang Satyalancana pada tahun 1961.

Kepahlawanan Sam Ratulangi adalah buah dari etos belajar, etos berjuang, dan etos bekerja sejak muda. Orang tuanya menginspirasi untuk mencintai ilmu guna mencari rezeki, sekaligus untuk berjuang membela bangsa.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K