Oleh: Muhammad Chirzin*
Tahun ialah satuan waktu yang terdiri atas dua belas bulan. Konsep tahun demikian paling populer dikenal dengan tahun masehi, yakni perhitungan tahun berdasarkan peredaran matahari yang dinisbatkan pada kelahiran Isa Al-Masih.
Kini umat manusia di kolong langit mengidentifikasi diri berada di tahun 2025. Artinya dua ribu dua puluh lima tahun setelah kelahiran Isa Al-Masih. Tapi, apa benar Isa Al-Masih lahir ke dunia 2025 tahun yang lalu? Siapa yang bisa memastikan? Siapa saksi mata lahirnya Isa Al-Masih? Jangankan Akte Kelahiran atau Akte Kenal Lahir Nabi Isa ‘alaihissalam, catatan kelahiran kita masing-masing pun boleh jadi tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta, tapi mari kita sepakati saja, demi kemudahan kita membilang masa.
Orang bisa mengidentifikasi masa kelahiran orang-orang sebelum kelahiran Nabi Isa dengan menghitung mundur, misalnya, Aristoteles lahir mendahului Nabi Isa berapa tahun, demikian pula Plato, Seneca, dan Confucius.
Perhitungan tahun Masehi yang digunakan saat ini didasarkan pada perkiraan yang dibuat pada abad ke-6 oleh Dionysius Exiguus. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa tahun kelahiran Isa Al-Masih tidak tepat seperti yang diperkirakan. Penggunaan perhitungan tahun Masehi sebagai patokan waktu memungkinkan untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian sejarah dengan lebih mudah.
Tahun baru membawa perspektif baru dan pemahaman baru tentang sesuatu. Tahun baru membawa kesempatan untuk refleksi, pembelajaran, dan pertumbuhan. Kesempatan untuk menafsirkan pengalaman dan pengetahuan dengan cara baru, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih dalam dan luas.
Beberapa hari lagi umat manusia akan memasuki tahun baru. Bukan dengan patokan tahun kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam, dan bukan pula berpedoman pada tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., tetapi berpatokan pada tahun Nabi Muhammad saw hijrah, pindah, meninggalkan kampung halaman kelahirannya, Mekah, menuju Yatsrib, wilayah yang direstui Allah swt untuk mengembangkan dakwah pada Jalan-Nya, berdasarkan peredaran bulan.
Penetapan tahun berdasarkan hijrah Nabi ke kota Yatstib, yang di kemudian hari diberi nama baru oleh Nabi Muhammad saw menjadi al-Madinah al-Munawwarah (Kota Bercahaya), bukan tiba-tiba. Semula ada ide untuk membuat penanggalan baru umat Islam dengan tonggak tahun kelahiran Nabi Muhammad saw, sebagaimana momen kelahiran Nabi Isa yang amat sangat monumental, tetapi ada usulan cerdas, konon dari Umar bin Khatab, agar perhitungan penanggalan Islam itu dimulai dari momen yang amat sangat monumental sekali bagi perjalanan umat Islam di panggung sejarah. Hijrah Nabi Muhammad saw bersama para sahabat generasi pertama itu berlangsung pada 1447 tahun yang lalu.
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Madinah merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah Islam. Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga menandai perubahan besar dalam strategi dakwah dan pembentukan komunitas Muslim yang lebih kuat dan terorganisasi.
Tafsir adalah proses memahami dan menjelaskan makna Al-Quran. Ruang lingkup tafsir sekurang-kurangnya meliputi empat hal. Pertama, memahami bahasa dan struktur kalimat dalam teks suci. Kedua, memahami konteks sejarah dan budaya saat teks suci diturunkan. Ketiga, memahami makna literal dan kontekstual dari teks suci. Keempat, menerapkan makna dan nilai-nilai dari teks suci dalam kehidupan sehari-hari. Tafsir tidak lain adalah buah pemahaman atas Al-Quran yang diungkapkan, baik secara lisan, tulisan, maupun sikap, dan perbuatan.
Tafsir dapat dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, ahli agama yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang tafsir. Kedua, sarjana yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang studi agama dan tafsir. Ketiga, siapa pun yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang teks suci dan konteksnya. Tafsir dilakukan dengan hati-hati berdasarkan pengetahuan yang cukup, dan mempertimbangkan interpretasi lain untuk memahami makna yang lebih luas dan mendalam.
Tafsir dan interpretasi memiliki kesamaan dalam proses memahami dan menjelaskan makna, tetapi ada perbedaan dalam konteks dan ruang lingkupnya. Tafsir lebih spesifik pada kitab suci. Interpretasi lebih umum dan luas, serta dapat diterapkan pada berbagai jenis teks, karya seni, atau bahkan fenomena sosial. Interpretasi melibatkan proses memahami dan menjelaskan makna dari sesuatu dengan mempertimbangkan konteks dan perspektif yang relevan. Semua tafsir adalah interpretasi, tetapi tidak semua interpretasi adalah tafsir.
Mula-mula ayat-ayat Al-Quran dipelajari sesuai dengan urutan turunnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa QS Al-‘Alaq/96:1-5 adalah edisi perdana Al-Quran. Kaum muslimin patut untuk selalu merenungkan kembali mengapa Allah swt menurunkan lima ayat perdana kepada Rasul-Nya berupa perintah untuk membaca, dan itu disebutkan dua kali, sekalipun tanpa disertai objek apa yang mesti dibaca. Para ulama tafsir kemudian merumuskan sebuah kaidah, yang dapat diterapkan pada sejumlah ayat yang serupa: bilamana Al-Quran menggunakan kata kerja transitif, tetapi tanpa disertai objek, maka objeknya ialah apa saja yang terjangkau oleh kata kerja itu.
Hari-hari ini Muslim Indonesia tentu tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi juga buku, majalah, jurnal, dan berita-berita terkini, termasuk narasi Dr. Roy Suryo, dr. Tifa, dan Dr. Rismon serta Ridal Fadillah dan Edy Mulyadi seputar ijazah Jokowi, juga pernyataan Beathor Suryadi bahwa ijazah Jokowi diproduksi di Pasar Pramuka, hingga diplesetkan menjadi UPP (Universitas Pasar Pramuka).
Muhammad Abduh berpendapat, bahwa surat Al-Quran yang pertama diturunkan bukan Al-‘Alaq, tetapi Al-Fatihah, sesusai dengan nama dan pokok-pokok kandungannya. Muhammad Ali Ash-Shabuni menengahi perbedaan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa Al-Quran yang mula-mula diturunkan ialah bagian awal surat Al-‘Alaq, sedangkan surat pertama yang diturunkan lengkap ialah Al-Fatihah.
Mengacu pada penutup surat Al-Fatihah (QS 1:6-7), manusia sepanjang zaman dari masa ke masa terbagi menjadi tiga golongan: (1) orang-orang yang mendapat nikmat Allah; (2) orang-orang yang mendapat murka; dan (3) orang-orang yang sesat.
Orang-orang yang mendapat nikmat Allah swt ialah mereka yang beriman kepada-Nya dan mendapat warisan Kitab Suci Al-Quran. Sungguhpun demikian mereka dikategorikan oleh Allah swt menjadi tiga golongan.
Kemudian Kami wariskan Kitab itu kepada mereka yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Tetapi di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, ada yang menempuh jalan tengah, dan ada yang sudah lebih dulu berbuat amal kebaikan dengan izin Allah. Itulah karunia yang amat besar. (QS Fathir/35:32)
Seseorang pernah bertanya kepada ‘Aisyah ummul mukminin tentang siapakah tiga golongan pewaris Al-Quran tersebut. Jawabnya, “Mereka yang mendahului adalah Nabi saw bersama para sahabat genarasi pertama. Golongan menengah ialah generasi berikutnya. Sedangkan aku, mungkin termasuk golongan yang menganiaya diri sendiri.”
Mengapa mereka yang menganiaya diri sendiri disebut pertama, karena mereka mayoritas, sedangkan orang-orang yang pertengahan pas disebut di tengah-tengah. Adapun mereka yang mendahului disebut terakhir, karena mereka minoritas. “Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan minoritas.”
Imam Al-Ghazali mengkategorikan kualitas puasa orang-orang beriman ke dalam tiga kriteria juga: (1) puasa awam; (2) puasa khawash; dan (3) puasa khawashul-khawash.
Dalam QS At-Taubah (QS 9:67-68 dan 71-72), Allah swt memperhadapkan orang-orang beriman dengan orang-orang munafik dengan segala konsekuensinya.
Kaum munafik, laki-laki dan perempuan, saling pengertian satu dengan yang lain, mereka menyuruh berbuat munkar dan melarang berbuat makruf, dan mereka menggenggam tangan. Mereka melupakan Allah, dan Allah pun melupakan mereka. Golongan orang munafik itulah yang menyepelekan ajaran agama. Allah menjanjikan kepada orang munafik, laki-laki dan perempuan, dan kepada orang kafir api jahanam; mereka di sana selama-lamanya. Cukuplah itu buat mereka, dan Allah melaknat mereka, dan untuk mereka azab yang kekal. (QS 9:67-68)
Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, saling menjadi pelindun satu sama lain. Menganjurkan yang makruf, dan melarang yang munkar, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan mendapat rahmat Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang beriman, laki-laki dan perempuan, taman-taman surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka tinggal di sana selama-lamanya, dan kediaman yang indah di taman-taman Bahagia yang abadi, dan keridhaan Allah yang lebih besar. Itulah keberuntungan yang besar. (QS 9:71-72)
Adapun dalam QS Az-Zumar (QS 39:71-72 dan 73-74) Allah swt memperhadapkan orang-orang kafir dengan orang-orang yang bertakwa dengan segala sanksi dan imbalannya.
Orang-orang kafir dibawa ke neraka secara berbondong-bondong, sehingga bila mereka sudah sampai, pintu-pintunya dibuka, dan penjaga-penjaganya berkata, “Bukankah para rasul dari kalanganmu sendiri sudah datang kepadamu, membacakan ayat-ayat Tuhanmu dan mengingatkan kamu tentang pertemuanmu hari ini?” Mereka menjawab: “Memang, tetapi keputusan hukuman sudah dijatuhkan atas orang-orang yang tak beriman. Kepada mereka dikatakan: “Masuklah kamu ke pintu-pintu gerbang jahanam, tinggal di dalamnya.” Sungguh buruk tempat orang yang sombong. (QS 39:71-72)
Mereka yang bertakwa kepada Tuhan akan dibawa ke dalam surga berbondong-bondong pula, sehingga, bila mereka sampai ke sana dan pintu-pintu gerbang dibuka, para penjaganya berkata: “Salam bagimu. Berbahagialah kamu! Maka masuklah, kekal di dalamnya.” Mereka berkata: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami, dan telah mewariskan bumi kepada kami; kami tinggal dalam surga di mana saja yang kami suka. Alangkah nikmat balasan bagi orang yang bekerja untuk kebaikan.” (QS 39:73-74)
Setiap kali menjadi imam shalat subuh di masjid samping rumah, penulis selalu membaca surat adh-Dhuha dan Al-Insyirah. Di dalam surat pertama terdapat ayat: walal akhiratu khairun laka minal ula – sungguh, yang kemudian akan lebih baik bagimu daripada yang sekarang, dan ditutup dengan ayat: wa amma bini’mati rabbika fahaddits – dan nikmat Tuhanmu, hendaklah kausiarkan. Pada surat kedua terdapat ayat: fa inna ma’al ‘usri yusran – sungguh, bersama setiap kesulitan ada kemudahan, dan ditutup dengan ayat: wa ila rabbika farghab – dan kepada Tuhanmu, tujukanlah perhatianmu!
Allahummarhamna bil-quran
Waj’alhu lana imaman wa nuran wa hudan wa rahmah
Allahumma dzakkirna minhu ma nasina wa ‘allimna minhu ma jahilna
Warzuqna tilawatahu ana`allaili wa athrafan-nahar
Waj’alhu lana hujjatan ya Rabbal ‘alamin.
*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen S3 Prodi Pasikologi Pendidikan Islam UMY, S3 Prodi Studi Islam UAD, dan Prodi Akidah dan Filsafat Islam Unida Gontor.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Potret ‘Hutan Ekonomi’ Indonesia

Prof. Djohermansyah Djohan: Biaya Politik Mahal Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Muhammad Taufiq Buka Siapa Boyamin Sebenarnya: Kalau Siang Dia LSM, Kalau Malam Advokad Profesional

Purbaya Dimakan “Buaya”

Pengakuan Kesalahan Oleh Amien Rais Dalam Amandemen Undang‑Undang Dasar 1945

Menemukan Kembali Arah Negara: Dari Janji Besar ke Bukti Nyata

Informaliti

Pasang Badan

Relawan Sedulur Jokowi Tegaskan Tetap Loyal Kepada Jokowi

Bobibos: Energi Merah Putih Dari Sawah Nusantara Yang Siap Guncang Dunia



No Responses