Musyawarah Dalam Idealita Dan Realita

Musyawarah Dalam Idealita Dan Realita
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Oleh: Muhammad Chirzin

Pada hari Rabu, 2 Juli 2025 Akademi Hikmah menyelenggarakan Kuliah Subuh online via zoom edisi ke-183 bertema “Musyawarah untuk Mufakat”, dengan narasumber Dr. Khamim Zarkasih Putro, Ketua Dewan Penasehat Komnas Pendidikan DIY, Dr.Mastur Thoyib, S.Pd., M.Pd., M.M, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang, dan penulis, Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan moderator Zuhriyah, S.E., MLIS., Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan aktivis ‘Aisyiyah.

Prinsip musyawarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tertera pada sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ Perwakilan.” Sila tersebut menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan bersama.

Musyawarah dalam sila keempat Pancasila memiliki ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.

(1) Pengambilan Keputusan Bersama: Musyawarah digunakan untuk mencapai kesepakatan bersama yang menguntungkan semua pihak.

(2) Kehidupan Bermasyarakat: Musyawarah dapat dilakukan dalam berbagai konteks, seperti di desa, sekolah, atau organisasi masyarakat.

(3) Pendidikan: Musyawarah dapat diajarkan dan dipraktikkan di sekolah untuk membentuk karakter kepemimpinan demokratis dan membangun kesadaran akan pentingnya partisipasi warga negara.

(4) Pemerintahan: Musyawarah dapat digunakan dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam musyawarah sila ke-4 Pancasila:

(1) Mengutamakan kepentingan bersama: Musyawarah bertujuan untuk mencapai keputusan yang terbaik untuk semua pihak.

(2) Menghargai pendapat orang lain: Setiap pendapat harus didengarkan dan dihargai dalam proses musyawarah.

(3) Menerima hasil musyawarah: Hasil musyawarah harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

(4) Memberi kesempatan kepada orang lain: Setiap orang harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dalam musyawarah.

Musyawarah mufakat adalah proses musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan atau keputusan bersama yang diterima oleh semua pihak yang terlibat. Dalam musyawarah mufakat, setiap anggota atau pihak yang terlibat berusaha untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua, bukan hanya sekedar mencapai mayoritas suara.

Musyawarah mufakat memiliki beberapa karakteristik:

(1) Musyawarah mufakat bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.

(2) Menghargai pendapat semua pihak. Setiap pendapat dan aspirasi dari semua pihak yang terlibat harus didengarkan dan dihargai.

(3) Mencari titik temu. Musyawarah mufakat berusaha untuk mencari titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak, bukan hanya memaksakan kehendak mayoritas.

(4) Mengutamakan kepentingan bersama. Musyawarah mufakat mengutamakan kepentingan bersama dan mencari solusi yang terbaik untuk semua pihak.

Musyawarah mufakat sering digunakan dalam konteks kepemimpinan dan pengambilan keputusan dalam masyarakat, organisasi, atau pemerintahan yang berbasis pada nilai-nilai demokrasi dan partisipasi. Dengan musyawarah mufakat, diharapkan dapat tercipta keputusan yang lebih adil, lebih diterima oleh semua pihak, dan lebih efektif dalam mencapai tujuan bersama.

Secara normatif makna musyawarah dan mufakat begitu mulia. Dalam praktik, permusyawaratan MPR maupun DPR tidak selalu berorientasi pada manfaat, kebaikan, dan kepentingan bersama, melainkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Ketika Presiden Jokowi meminta ijin kepada DPR dalam Sidang Paripurna untuk memindahkan Ibukota Negara, dari Jakarta ke tengah-tengah Kalimantan, DPR serta-merta menyetujuinya, tanpa menanyakan pendapat Rakyat yang “diwakili” tentang keinginan Jokowi untuk pindah Ibu Kota itu.

Contoh mutakhir, FPP TNI telah menyuarakan kegelisahan Rakyat atas keberadaan Gibran putra Jokowi sebagai Wakil Presiden RI, karena cacat konstitusi. Sementara itu anggota DPR mayoritas adalah pro rezim penguasa. Dalam sidang Paripurna mereka mufakat untuk tidak membacakan surat dari FPP TNI itu. Coba tanya Rakyat, apakah mereka puas dengan keputusan Dewan tersebut?

Keputusan DPR yang tidak membacakan surat mereka dalam sidang Paripurna tersebut menunjukkan bahwa ada dinamika politik yang kompleks dan kepentingan yang berbeda-beda dalam proses musyawarah.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi berhak untuk menilai apakah keputusan yang dihasilkan dari musyawarah tersebut sudah sesuai dengan kepentingan mereka atau tidak.

Proses musyawarah di DPR tersebut terbukti tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Bagaimana selanjutnya? Wait and see!

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K