Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Dalam jagat bisnis migas Indonesia, nama Mohammad Riza Chalid (MRC) bukan sekadar legenda—dia adalah simbol kekuatan di balik layar, pengendali jaringan migas yang tak tersentuh. Setelah terungkap bagaimana kontrak sewa Terminal BBM Merak direkayasa untuk menguntungkan pihaknya dan merugikan negara triliunan rupiah, – meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga minyak – namun sampai saat ini dia masih menghirup udara bebas, melenggang diluar negeri.
Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources Indonesia), Yusri Usman dalam analisisnya yang pernah diterbitkan media ini menyebutkan, MRC yang selama ini bersembunyi di Malaysia, tetapi setelah kondisi politik Malaysia saat ini bergejolak, Anwar Ibrahim dituntut mundur, sekarang MRC pindah ke di Jepang. Begitu mudahnya?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapa yang melindungi Mohammad Riza Chalid?
Pria yang pernah dijuluki “The Oil King” atau “Godfather Minyak” ini bukan tokoh biasa. Dia dikenal luas sebagai pengusaha minyak yang beroperasi tanpa jabatan formal di institusi negara, tetapi memiliki akses luar biasa ke ruang-ruang kekuasaan. Jejaknya terekam dalam berbagai dokumen penting negara, termasuk kasus “Papa Minta Saham” pada 2015 yang mengguncang DPR dan Istana. Meski terseret dalam polemik nasional, Riza Chalid tak pernah benar-benar tersentuh hukum. Mengapa?
1. Perlindungan dari Dalam Sistem
Berbagai indikasi menunjukkan bahwa Riza mendapat perlindungan dari oknum pejabat tinggi, baik di birokrasi, legislatif, maupun aparat penegak hukum. Dalam kasus Terminal BBM Merak, kontrak yang merugikan negara diduga tetap disahkan karena ada restu dari “atas”. Nama-nama besar yang pernah menjabat di Kementerian ESDM, BUMN, hingga pejabat tinggi BUMN energi disebut-sebut sebagai bagian dari jejaring pelindung.
Riza Chalid bukan hanya sekadar penyewa terminal, dia yang akhirnya memiliki meskipun melalui klausul “kontrak gelap dan curang”, — mengubah pasal dari BOT menjadi BOO, sehingga Terminal Merak berhasil dikuasai. “Harusnya jika tidak dirubah salah satu pasal dalam kontrak itu, per tanggal 14 Agustus 2024, maka semua fasilitas kilang PT OTM sudah beralih kepemilikannya ke PT Pertamina Patra Niaga,” tegas Yusri Usman.
MRC adalah pengendali logistik, pemasok BBM, dan makelar kebijakan energi. Dalam banyak kasus, ia tak tampil langsung, tetapi menggunakan perusahaan-perusahaan cangkang dan proxy bisnis yang terhubung dengan anak usaha Pertamina.
2. Koneksi Politik Lintas Rezim
Hebatnya, pengaruh Riza Chalid tidak mengenal perubahan pemerintahan. Dari era Presiden SBY hingga masa Presiden Jokowi, ia tetap eksis sebagai “kingmaker” dalam urusan migas. Kuat dugaan, ia memiliki akses ke partai-partai besar, baik melalui donasi kampanye, konsesi proyek, maupun pengaturan kontrak migas.
Sumber dari dalam industri menyebutkan bahwa Riza Chalid menjadi “penentu” dalam sejumlah pengadaan BBM nasional, termasuk impor solar dan bensin. Perusahaannya disebut-sebut memenangkan tender dengan metode direct appointment, dengan justifikasi logistik dan infrastruktur yang diciptakan oleh dirinya sendiri—seperti Terminal Merak.
3. Penegak Hukum Tak Bergerak
Meski berkali-kali namanya muncul dalam laporan audit BPK, pengaduan masyarakat, hingga liputan media, tidak satu pun aparat penegak hukum yang mampu membawa Riza Chalid ke meja hijau. Bahkan dalam kasus besar seperti “Papa Minta Saham”, ia justru “menghilang” ke luar negeri dan tidak pernah kembali diperiksa secara tuntas.
Pertanyaannya, mengapa? Dugaan kuat, jejaring Riza di lembaga hukum sangat kuat. Beberapa pengacara ternama dan pelobi diketahui menjadi “tameng” hukumnya. Bahkan, ada indikasi adanya permainan dalam proses audit dan penyidikan, sehingga kasus-kasus strategis yang melibatkan Riza selalu “mentok”.
4. Diamnya Internal BUMN dan DPR
Hingga kini, belum ada sikap terbuka dari Pertamina atau Patra Niaga terkait penyewaan terminal ke entitas yang diduga terkait dengan Riza Chalid. DPR Komisi III, Komisi VI dan Komisi XII pun cenderung seperti orang bodoh, meski kasus ini menyangkut kerugian keuangan negara dalam jumlah fantastis. Tak sedikit pengamat menduga, Riza memiliki “jaringan diam” di parlemen yang berfungsi untuk mengunci isu agar tidak berkembang menjadi penyelidikan resmi.
Penutup:
Siapa melindungi Riza Chalid? Jawabannya mungkin tersebar di berbagai institusi: dari kementerian, parlemen, BUMN, hingga aparat hukum. Selama jejaring ini masih kokoh, praktik rente dan penghisapan dana publik dari sektor migas akan terus berlangsung.
Namun, desakan publik, media independen, dan audit investigatif bisa menjadi alat pemutus. Saatnya negara menjawab: apakah mafia migas masih dibiarkan jadi penguasa dalam gelap, atau kita berani menyalakan lampu kebenaran?
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (4): Kemana Uang Skandal Blending Pertalite Menggalir?
Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (3): Siapa di Balik Skema Blending Ilegal BBM?
Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (2): Blending Ilegal Pertalite di Terminal Merak
Related Posts

Aliansi Masyarakat Tirak Nilai Seleksi Perangkat Desa Cacat Hukum, Akan Bawa ke DPRD dan PN

Isolasi Dalam Sunyi – Gibran Akan Membeku Dengan Sendirinya

Pertalite Brebet di Jawa Timur: Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Masalah Mesin

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”




No Responses