Negeri Yang Menukar Laut Dengan Janji dan Rel Dengan Ketergantungan

Negeri Yang Menukar Laut Dengan Janji dan Rel Dengan Ketergantungan
Ilustrasi

Penulis : Sri Radjasa, MBA

(Pemerhati Intelijen)

NEGERI ini tampaknya kian pandai menukar. Menukar laut dengan beton, menukar rel dengan utang, menukar kedaulatan dengan jargon kemajuan. Setiap kali pemerintah berbicara tentang pembangunan, yang terdengar bukan lagi napas kemandirian, melainkan desah ketergantungan yang kian dalam.

Sepanjang pantai utara Jawa, laut perlahan berubah menjadi daratan buatan. Rumah nelayan yang dulu menghadap ombak kini berhadapan dengan tembok-tembok reklamasi. Di atasnya berdiri menara kaca dan apartemen berlabel “kemajuan”. Tapi di bawahnya, air asin membawa kisah kehilangan yang tak terdengar.

Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, hingga 2024 terdapat 63 proyek reklamasi bermasalah. Banyak di antaranya tanpa izin yang sah, menabrak tata ruang, bahkan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir. Padahal, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jelas mengamanatkan bahwa wilayah pesisir adalah ruang publik yang harus dijaga keberlanjutannya. Tapi hukum di negeri ini sering kali kalah oleh proyek yang sudah disiapkan di ruang tertutup, dengan tanda tangan yang lebih berharga daripada keadilan.

Reklamasi bukan sekadar proyek fisik. Ia adalah metafora tentang bagaimana negara kini mereklamasi batas moralnya sendiri. Laut yang dulu simbol kebebasan kini dijual per meter persegi. Ekosistem rusak, nelayan tergusur, tapi di layar televisi semua tampak seperti kemajuan.

Rel Yang Menjauh dari Kemandirian

Nasib yang sama menimpa rel baja kereta cepat Whoosh yang katanya menjadi simbol lompatan peradaban. Tapi di balik kecepatannya, tersimpan beban yang tak ringan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2024 mencatat, biaya proyek ini melonjak menjadi lebih dari Rp120 triliun, dua kali lipat dari rencana awal. Sebagian besar dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang dijamin oleh negara.

Artinya, kecepatan itu dibeli dengan utang, dan utang itu diwariskan pada generasi yang belum sempat menikmati hasilnya. Negara berlari cepat, tapi bukan menuju kemandirian, melainkan ketergantungan.

Dalam politik global, hal semacam ini disebut debt diplomacy yakni diplomasi utang. Fenomena ini bukan isapan jempol. Laporan Lowy Institute (2023) dan World Bank Debt Atlas menunjukkan bahwa banyak negara di Asia dan Afrika kini kehilangan kendali atas aset publik strategis karena gagal membayar utang proyek infrastruktur. Sri Lanka sudah merasakannya. Beberapa negara Afrika menyusul. Dan Indonesia, jika tak berhati-hati, sedang berjalan ke arah yang sama, dimana menjadi bangsa yang berutang untuk membangun, dan membangun untuk membayar utang.

Negeri Yang Perlu Mengingat Dirinya Sendiri

Bangsa ini lahir dari kesadaran kolektif bahwa kemerdekaan harus dijaga, bukan dijual. Tapi di tengah derasnya investasi dan proyek raksasa, kesadaran itu perlahan memudar. Kita terlalu sering terpukau oleh angka pertumbuhan, lupa bahwa pembangunan sejati tidak diukur dari banyaknya beton, melainkan dari kokohnya kemandirian.

Soekarno sudah mengingatkan lewat Trisakti, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tapi kini yang terjadi sebaliknya, dimana politik tunduk pada ekonomi, ekonomi bergantung pada pinjaman, dan kebudayaan kehilangan arah.

Negeri ini sedang menghadapi bentuk penjajahan baru, tanpa kapal perang, tanpa peluru, tapi dengan kontrak investasi dan pasal perjanjian yang lebih tajam dari pedang.

Kita boleh membangun apa saja, tapi jangan sampai kehilangan arah siapa kita. Sebab bangsa yang kehilangan kedaulatan ekonomi tak lagi bisa menentukan nasibnya sendiri, dan bangsa yang tak mampu menolak proyek berisiko tinggi atas nama “strategis nasional” sejatinya sedang menjual masa depannya dengan tanda tangan sendiri.

Laut dan rel yang kita bangun hari ini akan mencatat sejarah, apakah ia menjadi simbol kemajuan, atau monumen dari kedaulatan yang hilang perlahan.

Sebab setiap jengkal reklamasi dan setiap kilometer rel bukan hanya urusan pembangunan, tapi ujian bagi nurani kita sebagai bangsa merdeka.

EDITOR:REYNA

Last Day Views: 26,55 K