Novel “Imperium Tiga Samudra” (17) – Mantra Seno

Novel “Imperium Tiga Samudra” (17) – Mantra Seno

Oleh: Budi Puryanto

 

Hujan mengguyur Bogor sejak pagi. Langit berwarna timah, seakan menyimpan amarah. Dari balik kaca jendela Istana Bogor, Presiden Pradipa berdiri diam. Tangannya memegang secangkir kopi hitam, matanya menatap jauh ke arah taman yang mulai tergenang air.

“Washington sudah menutup akses ekspor baja kita lewat jaringan sekunder,” suara Menteri Koordinator Ekonomi terdengar serak.

Pradipa tidak menoleh. “Dan pasar uang?”

“Rupiah ditahan di 17.400 per dolar. Tapi tekanan terus meningkat, Pak.”

Hening. Hanya suara hujan dan detak jam tua di dinding.

Lalu, perlahan, Presiden berujar, “Panggil Seno.”

Semua kepala menoleh. Nama itu seperti mantra — jarang disebut, tapi memiliki bobot yang tak bisa ditawar.
Tak ada yang tahu persis siapa Seno. Bagi sebagian orang, ia mantan analis di London. Bagi yang lain, ia adalah arsitek Bayangan Ketiga, strategi rahasia Indonesia pasca retaknya Three Oceans Imperium.

Beberapa jam kemudian, sebuah sedan hitam berhenti di halaman belakang istana. Dari dalamnya keluar pria berjas abu-abu, tanpa pengawal. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyapu ruangan ketika ia masuk ke ruang kerja Presiden.

“Sudah lama, Seno,” ujar Pradipa tanpa menoleh.

“Lama bagi dunia, Pak, sebentar bagi kita,” jawabnya pelan.

Seno duduk, meletakkan map tipis di meja. Di dalamnya, beberapa lembar data — arus uang digital lintas negara, pola investasi “bayangan” di pasar derivatif, dan peta jaringan ekonomi bawah tanah yang tersebar dari Kuala Lumpur hingga Lagos.

“Operation Floodgate telah memicu efek domino,” katanya tenang.

“Amerika menggunakan IMF dan OECD untuk menekan Asia melalui regulasi transparansi keuangan. Tapi itu juga membuka celah bagi kita.”

Pradipa menatapnya, “Celah?”

“Shadow Exchange, Pak. Jaringan tak resmi yang selama ini mereka remehkan. Kita bisa menjadikannya jalur alternatif bagi perdagangan regional. Tak perlu dolar. Tak perlu SWIFT.”

“Seperti clearing house bawah tanah?” tanya Presiden.

Seno tersenyum tipis, nyaris tanpa ekspresi.

“Lebih dari itu. Ini arsitektur ekonomi paralel. Transaksi berbasis komoditas, energi, dan aset digital, menggunakan protokol yang tak bisa dibekukan oleh sanksi.”

Pradipa terdiam sejenak. “Dan risikonya?”

Seno menatap hujan di luar. “Risikonya sama seperti semua revolusi, Pak. Tidak ada yang tahu kapan peluru pertama dilepaskan.”

Menteng jakarta, pukul 00.30 WIB

Malam itu, di sebuah gedung tua di Menteng, lima orang berkumpul — dua di antaranya pejabat bank negara, satu wakil perusahaan migas, dan dua lagi orang asing dari Singapura dan Vietnam. Mereka berbicara lirih, menatap layar peta interaktif yang menampilkan garis-garis merah menghubungkan Jakarta, Bangkok, dan Dubai.

“Ini jaringan Shadow Exchange tahap pertama,” kata Seno dari layar.

“Jangan gunakan nama negara. Gunakan nama komoditas. Dan gunakan kontrak jangka pendek agar tidak terlacak oleh sistem lintas batas.”

Seorang pria paruh baya bertanya, “Apakah Presiden tahu sejauh ini?”

Seno menatapnya. “Presiden tahu apa yang perlu ia tahu.”

Washington

Washington, seorang analis CIA menatap layar lain — menampilkan data pergerakan keuangan aneh dari Asia Tenggara.

“Ini bukan serangan, ini jaringan paralel,” katanya kepada atasannya.

“Indonesia tampaknya membangun sistem alternatif untuk menghindari Operation Floodgate. Dan yang menarik… mereka melakukannya dengan presisi seperti Eropa tahun 50-an.”

Sang atasan hanya bergumam, “Find the name Seno.”

Kembali di Jakarta, Pradipa duduk sendirian di ruangannya. Ia tahu badai berikutnya sudah dekat. Seno datang tanpa suara, berdiri di sisi jendela.

“Dunia mulai curiga,” kata Presiden pelan.

Seno tersenyum samar. “Biar mereka curiga, Pak. Karena saat mereka sibuk mencari kita di atas permukaan… gelombang ketiga sudah bergerak di bawah air.”

London

Sementara itu, diwaktu yang sama, Langit London kelabu, memantulkan bayangan lembab dari Sungai Thames yang mengalir perlahan. Di dalam ruang bawah tanah sebuah gedung tua dekat Whitehall, cahaya biru dari belasan layar menyorot wajah-wajah lelah para analis.

Tulisan di dinding kaca berbunyi: “Project Echo Mirage: Operation to Undermine Shadow Exchange”

“Indonesia memimpin jaringan Shadow Exchange. Itu bukan rumor lagi,” suara perempuan beraksen Inggris Timur terdengar tegas. Eleanor Hainsworth, kepala divisi siber MI6, menunjuk peta digital yang menampilkan ratusan titik merah di Asia Tenggara, Afrika Timur, dan Timur Tengah.

“Mereka membangun sistem ekonomi paralel berbasis komoditas, energi, dan aset digital. Jika ini berhasil… dolar bisa kehilangan dominasi dalam satu dekade.”

Seorang pria dari CIA menimpali, “Washington menyebutnya ‘ancaman senyap’. Tapi jujur saja, ini bukan senyap lagi — ini epidemi.”

Hainsworth menatap layar. “Mereka tak butuh senjata. Mereka punya algoritma.”

Sementara itu, di Jakarta, Seno baru saja keluar dari ruang Presiden Pradipa. Mereka baru saja berdiskusi selama tiga jam penuh — tentang sesuatu yang bahkan tak tercatat dalam notulensi kenegaraan.

“Echo Mirage,” kata Pradipa perlahan, memutar cangkir kopinya. “Nama yang indah untuk operasi penghancur ilusi.”

Seno mengangguk. “Ilusi mereka atau ilusi kita, Pak?”

Pradipa menatapnya. “Keduanya.”

Sunyi. Hanya suara rintik hujan yang jatuh di luar jendela.

“MI6 dan CIA mencoba menyusup lewat trust layer,” lanjut Seno. “Mereka tidak menyerang sistemnya langsung, melainkan persepsinya. Mereka menanamkan data palsu, membocorkan laporan yang dimanipulasi, lalu membuat pasar percaya bahwa Shadow Exchange hanyalah skema pencucian uang.”

“Dan publik?” tanya Presiden.

“Mereka menelan semua itu,” jawab Seno tenang. “Karena manusia selalu lebih cepat mempercayai ketakutan dibanding fakta.”

Di Singapura, seorang trader anonim dengan nama kode NOMAD-21 menerima pesan terenkripsi: “MIRAGE ACTIVE. Manipulate trade flows. Target confidence index.”

Beberapa menit kemudian, grafik digital di bursa komoditas Asia bergetar. Harga timah melonjak tanpa sebab, sementara kontrak energi bawah tanah anjlok drastis. Media keuangan global mulai menulis: “Krisis Kepercayaan di Shadow Exchange — Sistem Asia Tak Transparan.”

Namun di balik layar, Seno sudah memperkirakan langkah itu.

“Biarkan mereka meniup kabutnya,” katanya dalam pertemuan rahasia di Bandung. “Kita akan gunakan kabut mereka untuk bersembunyi.”

Seorang analis muda bertanya, “Tapi Pak, bagaimana kalau sistem kita benar-benar runtuh oleh hoaks itu?”

Seno menatapnya tajam. “Sistem ekonomi bukan tentang data. Tapi tentang siapa yang paling cepat menciptakan kenyataan. Kita akan balas dengan realitas baru.”

Di sisi lain dunia, Eleanor Hainsworth menerima laporan dari timnya.

“Target belum runtuh. Bahkan, traffic mereka meningkat setelah kampanye disinformasi kita.”

Ia mengernyit. “Artinya?”

“Artinya publik mulai percaya bahwa Shadow Exchange mungkin satu-satunya sistem yang tak bisa mereka kendalikan.”

Eleanor menarik napas panjang. “Mereka membalik cermin…”

Seorang analis CIA di ruangan yang sama bergumam, “Echo Mirage menjadi cermin yang menipu diri kita sendiri.”

Malam itu, dari Bandung Seno dipanggil menghadap Presiden di Istana Bogor. Belum genap tiga hari, dari pertemuan sebelumnya. Begitulah, Seno sudah menjelma menjadi “mantra” Presiden Pradipa. Pada saat-saat kritis dia harus selalu disebelah Presiden. Dan Seno sama sekali tidak merasa keberatan. Tampaknya dia justru menikmati perintah-perintah rahasia dari Prasiden.

“Dunia sedang menciptakan hantu,” kata Presiden pelan.

Seno tersenyum samar. “Dan kadang, Pak, cara terbaik melawan hantu adalah menjadi bayangannya.”

Pradipa menatapnya lama. “Mulai sekarang, Seno, kau bukan hanya arsitek ekonomi bawah tanah. Kau penjaga harapan bangsa ini.”

Seno mengangguk perlahan. “Kalau begitu, izinkan saya membangun protokol baru, Pak. Protokol yang tak bisa disentuh oleh cermin-cermin mereka.”

“Namanya?” tanya Pradipa.

Seno tersenyum. “Shadow Protocol.”

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Novel “Imperium Tiga Samudra” (16) – Shadow Exchange

Novel “Imperium Tiga Samudara” (15) – Operation Floodgate

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Last Day Views: 26,55 K