Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Oleh: Budi Puryanto

Malam itu Singapura basah oleh gerimis halus. Lampu-lampu gedung di Marina Bay berkilau seperti permukaan chip silikon, memantulkan cahaya dingin yang terasa tidak manusiawi. Di antara deretan gedung korporasi multinasional, satu menara menjulang tanpa logo, hanya berwarna hitam pekat — Menara Horizon-3.

Seno dan Ratna tiba di kota itu dengan identitas baru: pasangan peneliti ekonomi laut dari Universitas Kyoto. Tapi di balik visa diplomatik itu tersembunyi operasi paling berbahaya yang pernah mereka tangani — Operasi Garuda Bayangan tahap dua, infiltrasi pusat kendali data milik Imperium Tiga Samudra.

Seno menatap layar ponselnya. Pesan dari pusat PSC hanya berisi satu kalimat pendek: “Horizon-3 bukan bangunan, tapi sistem.”

“Artinya?” tanya Ratna.

“Artinya yang harus kita masuki bukan gedungnya, tapi jaringan di dalamnya,” jawab Seno, menyalakan komputer mini portabel.

“Server mereka tersembunyi di bawah markas riset kelautan di bawah Marina Coastal Drive. Dari situ, mereka mengatur algoritma ekonomi dunia.”

Ratna mengerutkan kening.

“Jadi benar teori kita di Jakarta — bahwa fluktuasi harga pangan dan energi dunia dikendalikan dari sini?”

Seno mengangguk.

“Ya. Dan Indonesia adalah titik keseimbangan mereka. Siapa yang menguasai Indonesia, dia memegang kendali geopolitik abad ini.”

Sementara itu di Jakarta, Presiden Pradipa menerima laporan dari Kepala BIN.

“Pak, ada peningkatan aktivitas komunikasi antara Horizon-3 dengan jaringan perusahaan logistik di Batam dan Surabaya. Kami mendeteksi pola enkripsi yang identik dengan pesan Gema beberapa bulan lalu.”

Pradipa menatap layar besar di ruang kendali nasional. Grafik yang rumit itu tampak seperti jaring laba-laba dengan pusatnya di Singapura.

“Jadi Gema bukan lagi sekadar kelompok pembangkang politik,” katanya pelan. “Mereka sudah jadi terminal lapangan dari Imperium.”

Kepala BIN mengangguk. “Tapi kita masih belum tahu siapa yang memimpin di balik Horizon-3.”

Pradipa tersenyum samar, getir.

“Kalau begitu, mari kita biarkan Seno yang menemukan wajah mereka.”

Di Singapura, Seno dan Ratna menyusup ke fasilitas bawah laut Horizon-3 melalui jalur servis yang biasanya dipakai teknisi robotik. Dinding terbuat dari logam berlapis serat karbon, dan setiap pintu terkunci dengan pengenal retina serta pola denyut jantung.

Ratna bekerja cepat di konsol digital, mengunggah skrip dari PSC.

“Saya masuk lewat pintu logistik data. Sekarang kita lihat apa yang mereka sembunyikan.”

Tiba-tiba layar menampilkan peta dunia dengan tiga lingkaran besar berwarna biru — Samudra Atlantik, Hindia, dan Pasifik — bertaut di satu titik kecil merah: Indonesia.

Ratna menahan napas.

“Ini bukan sekadar sistem pemantauan ekonomi. Ini peta kendali global energi dan pangan.”

Seno membaca deretan kode di bawah layar.

“Setiap sumber daya — minyak, emas, batu bara, nikel, bahkan cadangan pangan laut — dikontrol lewat algoritma yang mereka sebut ‘Balance Index’. Dan server utama Horizon-3-lah yang memutuskan siapa boleh untung, siapa harus rugi.”

Namun penyusupan itu tidak lama dibiarkan. Dalam hitungan menit, alarm senyap berbunyi. Suara perempuan elektronik terdengar dari speaker tersembunyi.

“Unauthorized data access detected. Identify yourself.”

Ratna mematikan sambungan nirkabel, tapi terlambat — sistem pengawasan AI Horizon sudah membaca biometrik mereka.

Dari sisi ruang bawah tanah muncul sosok tinggi berjas abu-abu, diikuti dua pengawal.

“Selamat datang, Tuan Seno Wiradarma,” katanya dalam bahasa Inggris halus. “Kami sudah menunggu Anda.”

Seno menatap dingin.

“Dan Anda siapa?”

Pria itu tersenyum.

“Sebut saja saya Direktur Node Asia dari Imperium. Kami tidak ingin menghancurkan Indonesia. Kami ingin menstabilkan dunia — dengan cara kami.”

“Dengan mencuri kedaulatan negara-negara lain?” balas Seno.

“Dengan menghindari perang,” jawab pria itu tenang.

“Jika dunia dibiarkan tanpa sistem seperti Horizon-3, kekacauan ekonomi akan menghancurkan lebih banyak nyawa daripada peluru.”

Ratna menatapnya tajam.

“Tapi sistem kalian menjadikan manusia sekadar angka.”

Pria itu mendekat.

“Angka, atau nyawa? Pilih mana?

Seno dan Ratna berhasil keluar berkat ledakan pengalih perhatian yang diatur oleh agen PSC di luar fasilitas. Tapi meski mereka selamat, data yang mereka unduh hanya sebagian.

Hasilnya mencengangkan — Horizon-3 ternyata dikendalikan oleh konsorsium tiga blok dunia, masing-masing mewakili kepentingan ekonomi:

Blok Atlantik (Eropa) – menginginkan dominasi energi, terutama minyak dan panas bumi.

Blok Amerika – fokus mempertahankan kontrol atas tambang emas dan minyak di Asia Tenggara.

Blok Asia–Eurasia (Rusia, Tiongkok, Australia) – mengincar jalur distribusi dan keamanan pangan lewat lautan Indonesia.

Imperium Tiga Samudra ternyata bukan satu suara — tapi konsorsium yang memiliki jalur pengendalian atas komoditas berbeda-beda. Tapi intinya sama, kerakusan dan nafsu mengendalikan dunia.

Seno menatap cakrawala dari tepi pelabuhan Singapura.

“Kita baru melihat lapisan terluar,” katanya. “Horizon-3 hanyalah jantung buatan. Otaknya masih tersembunyi — di tempat yang tak bisa dijangkau satelit.”

Ratna memegang tangannya erat.

“Lalu apa langkah kita sekarang?”

Seno menatap arah barat laut, ke Pulau Natuna yang samar di kejauhan.

“Sekarang, kita pulang. Tapi bukan untuk bersembunyi. Untuk memulai Perang Data.”

Langit di atas Singapura menyala oleh kilatan petir — seolah menandai awal babak baru pertarungan antara kedaulatan bangsa dan algoritma global.

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga :

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Last Day Views: 26,55 K