Oleh: Budi Puryanto
Angin dari Teluk Aden membawa kabar yang aneh — bukan tentang perang, tapi tentang perdamaian. Dunia tiba-tiba menyaksikan sesuatu yang tak pernah diperkirakan: Israel menyatakan kesediaannya untuk menerima solusi dua negara. Palestina diakui sebagai negara berdaulat penuh. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyiapkan sidang luar biasa untuk meratifikasi kesepakatan bersejarah itu.
Namun di balik sorak kemenangan dan doa lintas agama yang menggema di dunia maya, sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak di bawah permukaannya — tangan dingin Imperium Tiga Samudra.
Di ruang bawah tanah markas Horizon-3 yang kini beroperasi dalam mode senyap, sekelompok elit global berkumpul secara virtual. Di layar holografik tampak tiga wajah utama — Baron De Vries dari Eropa, Jonathan H. Mercer dari Amerika. Dan Sergei Aliev, utusan Blok Asia–Eurasia.
Pertemuan itu dipandu oleh sistem AI bernama Prometheus, yang dikembangkan oleh konsorsium Imperium untuk memproyeksikan dampak geopolitik setiap keputusan global.
Prometheus: “Konflik Palestina-Israel menjadi variabel ketidakpastian paling tinggi dalam peta stabilitas global. Solusi dua negara akan menormalkan jalur perdagangan dan logistik energi di Timur Tengah.”
Baron De Vries mengangguk.
“Jika Israel dan Palestina berdamai, kita bisa mengaktifkan kembali proyek pipa energi dari Laut Tengah ke Samudra Hindia. Itu menutup celah yang menghambat kendali Imperium di zona energi.”
Mercer, perwakilan Amerika, menyela dengan nada sinis.
“Boleh saja bicara damai, tapi saya lebih percaya pada kontrol langsung. Pasar butuh kepastian, bukan idealisme. Selama saya pegang tambang emas dan minyak, saya tak peduli siapa memerintah di Yerusalem.”
Sergei Aliev menatap tenang.
“Eropa mau energi, Amerika mau tambang, kami hanya mau jalur pangan aman. Jalur laut Indonesia harus netral, bukan milik siapapun.”
Untuk pertama kalinya, tiga blok dalam Imperium itu saling menatap curiga. Konsorsium yang dulu tampak solid kini mulai retak — ambisi masing-masing mulai melawan sistem yang mereka ciptakan sendiri.
Sementara itu di Jakarta, Seno memutar video konferensi itu diam-diam — hasil penyadapan dari unit kontra-siber BIN dan PSC. Ia duduk di ruang bawah tanah Biro Analisis Strategis, ditemani Ratna dan Kolonel Wisnu dari TNI AL.
“Lihat ini,” ujar Seno, menekan jeda pada bagian tertentu. “Imperium menggunakan lembaga internasional sebagai ‘jubah moral’. Mereka tekan PBB, Bank Dunia, IMF, bahkan WEF — semua diarahkan untuk mendukung stabilitas global versi mereka.”
Ratna menambahkan, “Dan BRICS dipakai sebagai ‘kuda troya’ Asia. Mereka ingin menciptakan poros ekonomi baru yang seolah menantang Barat, padahal tetap berada di bawah algoritma Horizon-3.”
Kolonel Wisnu mengetuk meja pelan.
“Artinya, dunia sedang digiring untuk satu peta tunggal — satu sistem keuangan, satu jaringan energi, satu mekanisme politik global.”
Seno mengangguk.
“Dan semua bermula dari Indonesia. Kita adalah jalur laut yang menghubungkan tiga samudra — jalur vital untuk logistik dunia. Itu sebabnya mereka butuh kita ‘aman’, bukan bebas.”
Di kampus-kampus besar, para intelektual mulai berdebat sengit. Sebagian menganggap kerja sama internasional ini adalah peluang emas bagi Indonesia untuk menjadi pusat ekonomi maritim dunia. Sebagian lagi — terutama kelompok muda — mencium bahaya.
Dr. Yuniarti, dosen politik internasional Universitas Paramadya, menulis di jurnal nasional:
“Imperium Tiga Samudra sedang membangun ekonomi tanpa bangsa. Mereka menutup perang fisik dengan perang data, meniadakan batas negara, dan memindahkan kedaulatan dari pemerintahan ke algoritma.”
Tulisan itu viral. Dalam waktu dua hari, ia dipanggil ke Komisi I DPR untuk memberikan keterangan. Beberapa stasiun televisi yang mencoba menayangkan wawancaranya tiba-tiba kehilangan sinyal — gangguan teknis yang terlalu kebetulan.
Sementara di Mabes TNI, sekelompok perwira tinggi melakukan rapat tertutup. Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Wiradipa, memaparkan situasi.
“Menurut analisis intelijen, kapal-kapal riset dari negara asing yang selama ini berlabuh di perairan Indonesia sebenarnya melakukan pemetaan kabel data bawah laut — bukan penelitian ilmiah.”
Seorang jenderal lain bertanya, “Apa Presiden tahu?”
“Beliau tahu,” jawab Laksamana singkat. “Tapi beliau memilih menunggu, karena belum saatnya konfrontasi terbuka. Kita sedang dikurung bukan dengan senjata, tapi dengan sistem.”
Di Istana, Presiden Pradipa membaca laporan harian dari tim Seno. Wajahnya tegang, namun tenang. Ia tahu bahwa Indonesia kini berada di tengah badai paling rumit dalam sejarah modern — bukan perang, tapi pengambilalihan kendali global lewat lembaga internasional.
Ia berkata kepada ajudannya, “Mereka akan menggunakan moralitas global untuk menekan kita. Katanya demi keadilan, demi perdamaian, demi lingkungan. Padahal semua untuk mengendalikan sumber daya dunia.”
Ajudannya bertanya pelan, “Apa rencana Anda, Pak?”
Pradipa menatap jauh ke arah Monas yang diselimuti kabut.
“Kita tidak akan melawan dengan senjata, tapi dengan kesadaran. Kita buka mata rakyat, intelektual, dan militer kita. Karena jika bangsa ini sadar, tak ada algoritma yang bisa menaklukkan kita.”
Seno menerima pesan rahasia malam itu.
“Tahap berikut: identifikasi infiltrasi Imperium di lembaga keuangan regional. Target: Bank Sentral Asia Selatan, markas di Kuala Lumpur.”
Ia menatap Ratna, yang menyiapkan peta digital.
“Permainan makin berlapis,” katanya.
Ratna tersenyum pahit.
“Dan dunia sedang dijalankan bukan oleh politisi atau jenderal… tapi oleh mesin dan korporasi yang menyamar jadi dewa.”
Seno menghela napas panjang.
“Kalau begitu, kita akan melawan para dewa.”
Ratna menatap Seno lama, matanya bergetar di antara kagum dan takut.
“Kadang aku bertanya,” ujarnya pelan, “apa yang sebenarnya kita lawan — mesin yang mereka ciptakan, atau sisi gelap manusia yang memprogramnya?”
Seno menatap ke jendela, ke arah malam yang diselimuti kabut elektromagnetik dari jaringan satelit.
“Mesin hanya memperbesar apa yang manusia sembunyikan,” jawabnya lirih. “Keserakahan, ketakutan, dan obsesi untuk abadi. Mereka ingin jadi tuhan — dan algoritma adalah bait kitab sucinya.”
Ratna menarik napas panjang. “Lalu apa yang tersisa dari kita?”
“Kesadaran,” kata Seno mantap. “Hal yang tak bisa dikalkulasi. Kita mungkin kalah di medan data, tapi selama manusia masih bisa bertanya, kita belum sepenuhnya tunduk.”
Ia menatap Ratna dengan sorot mata yang berat, namun jernih.
“Semua peradaban runtuh bukan karena kalah perang, tapi karena berhenti berpikir. Misi ini bukan sekadar sabotase — ini peringatan. Jika kita gagal, setidaknya dunia tahu bahwa masih ada yang berani berkata: manusia tidak untuk dijumlahkan.”
Ratna menunduk pelan. “Maka mari kita mulai babak yang bahkan algoritma tak mampu prediksi.”
Seno tersenyum samar, tapi matanya tetap dingin. “Kau tahu, Ratna,” katanya pelan, “setiap pertempuran besar selalu dimulai dari kesunyian seperti ini. Tak ada dentuman meriam, hanya denyut hati manusia yang masih percaya bahwa kebenaran layak diperjuangkan.”
Ratna menatap layar holografik di depannya — peta dunia berlapis data, merah menyala di titik-titik yang menandai pengaruh Imperium. “Mereka mengendalikan pasar, media, bahkan sistem pendidikan. Dunia sekarang seperti cermin bengkok: semua tampak benar, padahal sudah dibelokkan.”
“Dan tugas kita,” sahut Seno, “adalah memecahkan cermin itu tanpa melukai bayangan di dalamnya.”
Ratna menghela napas, getir namun tegas. “Kau bicara seperti filsuf, tapi misi ini bukan lagi sekadar intelektual. Kita melawan sistem yang bisa menghancurkan reputasi, memutarbalikkan fakta, bahkan menghapus identitas kita dari sejarah digital.”
“Ya,” Seno mengangguk pelan. “Tapi justru di situlah letak ujian manusia. Jika algoritma bisa menulis ulang sejarah, maka tugas kita adalah menulis ulang nurani.”
Hening sejenak. Di luar, hujan pertama musim monsun mulai turun di Jakarta.
Ratna menatap ke langit. “Apakah Presiden tahu risiko ini?”
Seno tersenyum tipis. “Dia tahu. Tapi seperti semua pemimpin sejati, ia memilih berjalan di tepi jurang — demi memastikan bangsa ini tidak jatuh ke dalamnya.”
Ratna menatapnya dalam-dalam. “Kalau begitu, mari kita buat sejarah… bukan sekadar data.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca Juga:
Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3
Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia
Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda
Related Posts

Mikul Duwur Mendem Jero

Negeri Yang Menukar Laut Dengan Janji dan Rel Dengan Ketergantungan

Misteri Kebahagiaan

Masa Depan ITS

Novel Imperium Tiga Samudra (8) – Horizon 3

Presiden Pasang Badan Untuk Jakowi Dan Luhud B. Panjaitan

Saya Muslim..

Informaliti

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Tak Kuat Layani Istri Minta Jatah 9 Kali Sehari, Suami Ini Pilih Cerai


No Responses