Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI – 14 : KOTA SAMARKAND
UN Tourism Conference kali ini diadakan di Kota Samarkand, Uzbekistan. Pemerintah Uzbekistan sangat bersemangat untuk menjadi tuan rumah sebagai bagian dari cara mempromosikan negaranya sebagai destinasi baru bagi wisatawan manca negara. Para delegasi yang berasal dari negara anggota hadir dan biasanya dipimpin pejabat setingkat menteri sehingga berbagai bentuk kerjasama antar negara biasanya dilakukan di sela-sela kegiatan ini. Selain itu hajatan seperti ini juga mendapatkan liputan dari banyak media penting di dunia.
Setelah berbagai seremoni dan acara resmi yang dilaksanakan di Congress Center yang berada di kawasan yang diberi nama Silk Road Samarkand selesai aku meminta ijin kepada atasanku untuk kembali ke Madrid belakangan. Kementerian Pariwisata setempat merekomendasikan salah seorang stafnya yang masih muda, bersemangat, dan cukup lancar berbahasa Inggris untuk menemaniku. Saat diperkenalkan ia menyebut namanya:
“Ibraghimov”.
“Oh Ibrahim !”, kataku.
“Ya Anda boleh memanggil saya seperti itu. Sampai saat ini nama-nama orang Uzbek masih kental pengaruh Rusianya karena cukup lama Kami menjadi bagian dari Uni Soviet”, katanya.
“Enak di era Uni Soviet atau sekarang ?”, tanyaku menyelidik.
“Ya tentu sekarang, akan tetapi kebebasan juga masih dikontrol”, katanya.
“Emangnya ada masalah setelah merdeka dari Rusia ?”, kataku sengaja menggunakan terminologi yang bisa diasosiasikan dengan penjajahan.
“Ini sebagai bagian dari bentuk kehati-hatian, Kami tidak ingin negara Kami seperti tetangga sebelah”, katanya.
“Afghanistan ?”, kataku to the point.
Ibrahim mengangguk pelan sebagai expresi kehati-hatian.
“Ya Saya juga bersedih karena konflik politik berkepanjangan di sana, meskipun Rusia sudah lama angkat kaki. Kita sesama Ummat Islam harus membantunya agar negara dan masyarakatnya segera bisa bangkit sebagaimana saudara-saudaranya di kawasan ini”, kataku.
“Masalahnya yang berkuasa sekarang mengembangkan nilai-nilai Islam yang sangat berbeda dengan di negara asal anda”, katanya seakan ia mengetahui situasi di Indonesia.
“Pernah ke Indonesia ?”, kataku.
“Belum !”, jawabnya sambil tersenyum.
“Ya kami mengembangkan Islam yang rahmatan lilalamin, toleran, moderat, dan terbuka”, kataku menegaskan.
“Mereka juga mengatakan hal yang sama tetapi kurang terbuka, kurang toleran, dan tertutup”, katanya.
“Beberapa pemimpinnya sudah berkunjung ke Indonesia, tokoh-tokoh kami juga sudah mengunjungi negaranya. Tampaknya mereka perlu waktu untuk belajar dan belakangan secara bertahap mereka sudah mulai lebih terbuka !”, kataku dengan maksud menenangkan kerisauannya.
“Semoga !”,katanya sebagai isyarat tidak ingin ngobrol terlalu panjang tentang politik.
“Kita akan kemana hari ini ?”, tanyaku untuk segera memulai program hari itu sesuai dengan rencana.
“Kita berputar-putar di sini terlebih dahulu sebagai bagian dari pengembangan kota baru di Timur Samarkand yang diberi nama Silk Road Samarkand, setelah itu baru kita mengunjungi kota lama yang bersejarah, diakhiri dengan kunjungan ke Makam Imam Buchari yang berada di luar kota kearah Utara”, katanya.
Pada tahun 2022, Jalan Sutra Samarkand (Silk Road Samarkand) diperkenalkan sebagai kompleks wisata multidisiplin mutakhir di bagian timur Samarkand.
Aku perhatikan kawasan ini betul-betul merupakan kawasan baru yang dibangun di atas tanah kosong. Banyak bangunan baru pencakar langit yang digunakan sebagai pusat perkantoran, hotel, gedung pertemuan, pusat pameran, dan tempat hiburan. Aku teringat kawasan Nusa Dua di Bali yang idenya serupa, tetapi Pak Harto sudah memulainya lima puluh tahun lebih dahulu, fikirku dalam hati.
“Ini investornya dari mana saja ?”, tanyaku
“Sebagian besar dari China dan Korea Selatan, negara-negara lain sedang dilobi”, katanya.
“Adakah negara Muslim yang sudah investasi di sini ?”, tanyaku.
“Turki dan beberapa negara Arab kaya di kawasan Teluk tampaknya tidak lama lagi”.
“Bagaimana dengan Indonesia ?”, tanyaku setengah bercanda.
“Indonesia sudah mulai walaupun tidak besar”, katanya sambil tersenyum.
“Sekarang kita menuju The Ethernal City yang dikitari oleh air yang untuk memasukinya kita harus melewati satu-satunya jembatan. Kawasan ini dibangun untuk menggambarkan kehidupan bangsa Uzbek di masa lalu, mulai pasar, masjid, sekolah, sampai seni budayanya. Restoran disini juga menyediakan berbagai jenis masakan khas kami. Pentas seni tari, musik, dan berbagai pegelaran budaya secara periodik ditampilkan khususnya di hari libur. Jadi semacam miniatur bangsa kami”, katanya.
“Mirip dengan taman MINI di Jakarta”, komentarku sambil membayangkan kembali kita sudah mendahuluinya lima puluh tahun.
“Kita makan siang di sini setelah itu baru bergerak ke kota lama”, katanya sambil memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu masuk Restoran Choyona No.95 yang menyajikan masakan khas Uzbekistan serupa nasi briani yang disajikan bersama daging kambing. Aku memilih minum teh panas yang ditambah daun mint.
Perjalanan menuju kota tua yang dihubungkan dengan jalan bebas hambatan hanya memerlukan waktu kurang dari satu jam. Ragistan Square merupakan lokasi pertama yang Kami kunjungi. Aku berdecak kagum melihat kemegahan dan keindahan bangunannya di kawasan yang cukup luas dengan arsitektur yang unik dikelilingi taman yang hijau.
“Ini pusat Pendidikan di masa kejayaan bangsa Uzbek, Imam Buchari dulu pernah mengajar di sini, banyak ulama yang dilahirkan dari madrasah ini. Disamping ilmu agama, juga diajarkan ilmu pertanian, kedokteran, astronomi, dan matematika di tempat ini. Jadi semacam universitas saat ini. Kami menyebutnya Madrasah”, katanya sambil bergerak mendekat bangunan utamanya.
Aku perhatikan hampir seluruh dinding bagian luarnya dilapisi keramik bertuliskan Allah atau ayat-ayat Al Qur’an yang didominasi warna biru. Kubah dan menara menjadi bagian yang melekat dari gaya arsitekturnya.
“Orang menyebut ini jenis arsitektur Timured”, kata Ibrahim seakan mengerti apa yang sedang Aku fikirkan.
“Subhanallah”, kataku bergumam kagum.
“Ada hubungannya dengan Timur Leng ?”, tanyaku.
“Ya memang istilah ‘Timured’ diambil dari nama ‘Amir Timur’”, kata Ibrahim yang menggunakan sebutan Amir untuk menyebut sang pemimpin yang sangat dihormatinya seakan ingin mengoreksiku secara halus.
“Aku ingin membeli lukisan sebagai kenang-kenangan”, kataku.
Ibrahim kemudian mengantarkanku ke sejumlah ruangan yang dulunya digunakan sebagai kelas, kini ditempati oleh sejumlah pedagang yang berjualan beraneka ragam souvenir. Aku memilih lukisan yang berupa gambar bangunan Registan yang ukurannya cukup besar, ditambah beberapa yang lebih kecil lukisan para musyafir penunggang onta dengan latar bangunan kuno.
“Sekarang kita berziarah ke Makam Amir Timur”, ajak Ibrahim.
Peti mati Amir Timur terletak di tengah terbuat dari jade (giok) hitam utuh yang terbesar pada masanya.
Kami kemudian kembali ke mobil dan bergerak ke bangunan yang menyerupai masjid kecil. Ternyata di bawah kubahnya bersemayam makam Amir Timur dan keluarganya yang sampai saat ini dianggap sebagai pahlawan besar yang mengantarkan bangsa Uzbek mencapai kejayaannya di masa lalu.
“Tahukah anda kapan sebutan Amir pertamakali digunakan untuk menyebut nama seorang pemimpin dalam Sejarah Islam ?”, kataku kepada Ibrahim untuk melanjutkan diskusi sebelumnya.
Ia tidak menjawab tetapi hanya menggeleng.
“Pernah dengar nama Umar bin Khattab ?”, tanyaku memancing.
“Ya beliau Khalifah kedua sesudah Abu Bakar Assidiq”, katanya.
“Abu Bakar saat menggantikan Rasulullah dipanggil ‘Khalifah’. Umar tidak mau dipanggil khalifah karena arti harfiah ‘khalifah’ adalah penerus atau pelanjut Rasulullah, sementara Umar merasa sebagai penerus Abu Bakar. Karena itu ia lebih suka dipanggil ‘Amirul Mukminin’ yang arti harfiahnya sebagai pemimpin orang-orang yang beriman”, kataku sambil memperhatikan expresi wajah Ibrahim. Ternyata ia tidak berkomentar tetapi hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
Sebelum meninggalkan tempat ini, aku menyempatkan berdoa semoga amal saleh pemimpin besar ini diterima Allah dan kesalahannya dimaafkan. Aku sengaja menyisipkan kalimat ‘agar kesalahannya dimaafkan’ karena literatur-literatur yang aku baca selalui mengaitkan tokoh ini dengan kekejaman dalam memerintah dan pembantaian saat menaklukan negara lain. Aku lalu minta diambilkan foto di depan gerbang luarnya agar seluruh bangunan indah berwibawa yang menawan hatiku bisa jadi latar belakangnya.
Tampaknya Ibrahim memahami seleraku, ia lalu berkata : “Seluruh bangunan di kawasan ini sudah dicatat sebagai bagian dari warisan dunia oleh UNESCO yang harus dijaga dan dipelihara”.
“Ada berapa banyak ?”, kataku penasaran.
“Ada puluhan yang tersebar di hampir setiap pojok kota lama, diantaranya yang terkenal antara lain: Abu Mansura Maturidi’s Mausolium, Masjid Bibi Khanum, selain Registan, dan Amir Timur Mausolium ini”, jelas Ibrahim.
“Agar tidak kesorean sekarang kita harus bergerak ke Observatory of Ulugbek, lalu langsung ke Makam Imam Buchari”, kata Ibrahim sambil bergerak ke mobil.
“Tahukah anda pelajaran apa yang bisa dipetik dari Amir Timur ?”, kataku untuk mengetes sejauh mana Ibrahim memahami pemimpin yang dibanggakannya.
Tampaknya ia tidak memahami kemana arah pertanyaanku, sehingga responnya hanya diam sembari menatap wajahku dengan mata kosong.
“Ia adalah seorang panglima besar, memimpin pasukan yang sangat tangguh sehingga tidak pernah terkalahkan sepanjang hidupnya, kekuasaannya luas di Timur sampai perbatasan China dan ke Barat sampai Turki, ke Utara sampai Rusia, ke Selatan sampai India. Kemudian secara politik sangat kuat sehingga tidak ada yang berani menggoyang kekuasaannya di dalam negri, inilah modal utamanya sehingga ia bisa memajukan negaranya dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu bisa difahami jika pendidikan sangat maju di masanya”, kataku menjelaskan.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Seri-13: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-13): Antara Ataturk dan Erdogan
Ser-12: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid
Seri-11: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Seri-10: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-10): Islam Agama Sejak Adam
Seri-9: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-9): Usaha dan Do’a
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik





No Responses