Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI-16: MADRASAH DI BUCHARA
Sesudah sarapan di hotel aku bersama Ibrahim berangkat menuju stasiun kereta dengan membawa tiket yang sudah dibeli secara online melalui HPnya. Stasiunnya baru, cukup megah, dan bersih. Kami duduk sebentar sambil melihat para penumpang yang lalu-lalang. Saat sudah ada panggilan Kami menuju kereta. Aku perhatikan keretanya baru, lokomotif dan gerbongnya menyerupai kereta-kereta cepat di Eropa. Aku berdecak kagum spontan, kalah Indonesia fikirku.
“Ini kereta cepat”, komentar Ibrahim.
Saat mulai bergerak aku perhatikan kecepatan rata-ratanya hanya sekitar seratus limapuluh kilometer perjam, bahkan saat tertentu turun sampai hanya seratus kilometer saja. Ini kereta semicepat fikirku dalam hati. Aku perhatikan rel yang digunakan ternyata rel yang sama dengan kereta biasa dengan cara melihat kereta lain yang bergerak dari arah berlawanan.
“Negara mana yang membuat kereta cepat ini ?”, kataku menyelidik.
“Dalam masalah kereta Kami bekerjasama dengan beberapa negara diantaranya Rusia, China, dan Spanyol”, katanya.
Walaupun aku ragu dengan penjelasannya yang mungkin kurangnya pengetahuan Ibrahim tentang masalah ini, tetapi bagiku tema ini bukanlah menjadi perhatianku. Karena itu aku simpulkan bahwa kebijakan terkait dengan kereta Pemerintah Uzbek memilih cara kompromi dengan merevitalisasi rel yang ada kemudian menambah kereta baru yang bisa bergerak lebih cepat dan lebih nyaman sementara kereta lama masih tetap diberdayakan, tidak seperti di Indonesia dimana kereta cepatnya sama sekali terpisah dengan kereta lama atau kereta konvensionalnya.
“Bandara di Samarkand kelihatannya juga baru walaupun tidak besar aku suka karena memenuhi standard internasional”, kataku menyanjung.
“Bandara di Samarkand baru saja dibangun untuk menyambut acara UN Tourism, sebelumnya kami hanya mengandalkan Bandara di ibukota Tashkent untuk para turis yang ingin mengunjungi kota ini”, komentarnya.
Sambil mengobrol aku perhatikan rumah-rumah penduduk yang dilewati jalur kereta, sederhana dan nyaris kumuh menggambarkan tingkat ekonomi mayoritas rakyatnya. Di Indonesia jalur yang dilewati kereta biasanya juga kumuh tetapi di sini jauh lebih kumuh. Fikiranku terus melayang membandingkan dengan keadaan di tanah air.
“Ngomong-ngomong selama di Samarkand apa yang menarik ?”, tanya Ibrahim memecah lamunanku.
“Gadis-gadisnya yang sangat cantik dan terkenal di dunia termasuk di Indonesia”, komentarku sambil tersenyum menggodanya.
“Ya saya sudah mendengar gadis-gadis Uzbek yang berkeliaran di Jakarta, semua itu akibat himpitan ekonomi”, katanya dengan wajah muram, padahal sama sekali tidak ada niatku untuk menyinggung kehidupan kupu-kupu malam.
“Aku bisa memahaminya”, komentarku dengan nada prihatin.
“Tahukah anda apa yang membuat gadis Uzbek sangat cantik ?”, pancingku untuk mengalihkan pembicaraan yang salah arah.
“Menurut anda ?”, tanya Ibrahim balik kepadaku
“Pernah dengar hukum Mendel ?”. Ibrahim hanya menggeleng.
“Nama lengkapnya Gregor Johann Mendel adalah seorang ahli biologi yang sangat terkenal dengan experimen kawin silangnya”, kataku.
“Ia mengawinkan sejumlah tanaman yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu species. Hasil eksperimennya menghasilkan bibit baru yang unggul”, kataku menambahkan.
“Aku belum mengerti maklum saya tidak pernah belajar biologi”, komentarnya.
“Misalnya jeruk yang manis berukuran kecil dikawinkan dengan jeruk kecut berukuran besar, maka hasilnya jeruk besar manis, atau bunga indah tanpa bau dikawinkan dengan bunga yang tidak indah dengan aroma wangi akan melahirkan bunga indah yang menebar wangi. Belakangan experimen serupa dilakukan oleh ilmuwan lain pada hewan. Ternyata hukum Mendel berlaku pada hewan. Jangan-jangan juga berlaku pada manusia”, komentarku sambil tersenyum.
“Apa hubungannya dengan bangsa kami ?”, katanya sambil mengerutkan alisnya.
”Saat Amir Timur berkuasa banyak suku dan bangsa yang berbeda ditaklukan, ia kemudian membawa pulang harta pampasan perang, para ilmuwan yang dipekerjakan di kerajaannya, dan jangan lupa gadis-gadis cantiknya juga ikut serta”.
Ibrahim lalu tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan suara keras sambil mengangkat-angkat telunjuknya kearah wajahku, membuat para penumpang yang berada di sekitar kami menoleh.
Tanpa terasa setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam kami tiba di Kota Buchara. Dengan menyewa taxi langsung bergerak ke kota lama. Kami berjalan melewati bekas Istana yang nampak masih menampakkan sisa kemegahan dengan bentengnya yang kokoh terletak di bagian yang paling tinggi kota ini.
“Di masanya benteng ini merupakan salah satu benteng yang sangat sulit ditembus oleh Jengis Khan sang penakluk dunia asal Mongol”, kata Ibrahim menjelaskan saat aku kagum memandanginya. Aku lalu mendekat dan merabanya untuk bisa merasakannya melalui jari-jemariku.
“Lalu bagaimana ceritanya kok akhirnya kota ini bisa ditaklukan ?”, komentarku ingin tahu.
“Setelah berkali-kali penyerbuan yang dilakukan gagal, kemudian Jengis Khan menggunakan siasat baru dengan cara mengirimkan surat kepada para tokoh masyarakat termasuk ulama dan para komandan lapangan Sultan yang isinya antara lain bahwa tentaranya akan dilipat gandakan dan dilengkapi dengan senjata baru yang tidak mungkin bisa dibendung. Karena itu ia menawarkan bagi mereka yang mau kompromi akan diampuni sedangkan yang tetap melawan akan dihabisi”, cerita Ibrahim.
Aku terus memperhatikan ceritanya yang sangat menarik perhatianku.
“Kemudian terjadi perdebatan diantara para pejabat di istana, tokoh masyarakat, sampai rakyat jelata di pasar-pasar dan masjid-masjid, yang secara sederhana dapat dikatakan masyrakat terbelah dua antara yang ingin tetap melawan dan yang ingin kompromi. Rupanya melalui mata-matanya Jengis Khan terus memantau keadaan ini”.
“Ini seperti politik devide et impera atau politik belah bambu atau politik adu domba”, komentarku untuk menegaskan.
“Kami di sini menyebutnya sebagai bagian dari perang urat syaraf. Setelah situasi cukup matang kemudian Jengis Khan mengirim surat lagi yang isinya kepada mereka yang mau kompromi untuk menyingkir dari Istana dan pusat kota agar tidak menjadi korban salah sasaran. Akibatnya kekuatan Sultan tinggal separuhnya saja, saat itulah penyerangan dilakukan sehingga benteng ini berhasil diambil-alih dan seluruh keluarga Kerajaan beserta para pendukungnya dihabisi”, kata Ibrahim dengan nada sedih.
“Lalu bagaimana dengan mereka yang bersedia kompromi dan menyingkir dari medan perang saat itu ?”, kataku ingin tahu.
“Mereka kemudian diundang untuk kembali dan mereka berfikir akan mendapatkan hadiah jabatan atau harta dari penguasa baru, setelah semuanya berkumpul mereka kemudian dipancung. Yang menarik adalah kata-kata yang disampaikan dalam pidato Sang Penguasa Mongol tersebut yang sangat terkenal sebelum prosesi pembantaian masal dilakukan: ‘Bagaimana mungkin kami mempercayai loyalitas saudara-saudara sekalian kepada kami sebagai penguasa asing, sementara kepada penguasa bangsa sendiri saja kalian berkhianat”, kata Ibrahim dengan nada sedih.
Kami kemudian berjalan kaki menyusuri kota lama dimana bangunan-bangunan kunonya nampak masih kokoh, indah, dan terawat. Pertama kami mengunjungi masjidnya yang besar dan megah, bahkan menurutku masih cukup besar untuk ukuran sekarang. Setelah itu Kami mengunjungi madrasah tempat Imam Buchari menimba ilmu.
Madrasah Mir-i Arab adalah sebuah madrasah yang masih aktif, yang berada di kota Bukhara di Uzbekistan
“Madrasah ini masih berfungsi akan tetapi santrinya sangat sedikit karena sejak Komunis berkuasa ruang geraknya dibatasi. Sekarang kami memulai kembali dari nol. Kebanyakan orang Uzbek sudah lupa cara shalat dan tidak pandai membaca Al Qur’an, sementara di negara anda saat ini banyak anak kecil yang sudah hafal Al’qur’an”, katanya.
“Kami beruntung karena Komunis kalah dan tidak sempat berkuasa di negara kami”, komentarku datar.
“Ulama-ulama ternama di seluruh Uzbek saat ini sebagian besar lahir dan dibesarkan di Madrasah ini”, kata Ibrahim melanjutkan.
“Suasananya mirip dengan pondok pesantren di pulau Jawa yang dilengkapi dengan asrama santri”, komentarku balik.
Aku melihat sejumlah santri yang sedang belajar di dalam kelas, sementara sejumlah ustad muda berjalan melewati halaman madrasah sambil menjinjing buku tebal.
“Saatnya kita makan siang !”, kata Ibrahim sambil bergerak ke sebuah restoran di dekat lapangan yang berada diantara gedung-gedung tuanya.
Aku membaca tulisan di depannya: Terrace Restaurant. Aku perhatikan restoran ini sudah mengembangkan konsep modern yang meletakkan dapur di depan dan hanya ditutupi dengan dinding kaca transparan, sehingga terlihat para juru masak yang bekerja disamping kebersihannya yang selalu terjaga. Kami memilih tempat di dalam yang ber-AC bersama turis-turis lokal, sementara bule-bule yang juga makan di tempat itu memilih tempat terbuka di luar.
“Mau makan apa ?”, kata Ibrahim sambil menyodorkan menu yang dilengkapi dengan gambar.
“Nasi Buchari dengan kambing bakar, dan minum teh panas dengan daun mint”, kataku sambil menunjuk gambar di menu. Aku berfikir kini saatnya aku mencoba Nasi Buchari yang sangat terkenal di seluruh dunia di tempat asalnya. Aku perhatikan potongan-potongan besar kambing ditusuk dengan besi menyerupai sate raksasa dipanggang dalam tunku yang diisi oleh arang yang dibakar.
Saat meninggalkan kota ini tergambar di kepalaku sebuah bangsa yang dulunya jaya dan makmur kemudian jatuh dan terpuruk sampai pada kemiskinan yang akut dan praktis diabaikan masyarakat global, kini mulai membangun jati dirinya kembali, memungut dan mengumpulkan barang-barang yang selama ini berserakan, diabaikan, dan tak terurus. Akhirnya mereka tidak bisa menghindar untuk mengakui bahwa mereka besar, maju, dan makmur Islam, ilmu pengetahuan, sain dan teknologi.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Seri-15: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-15): Makam Imam Buchari
Seri-14: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand
Seri-13: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-13): Antara Ataturk dan Erdogan
Ser-12: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid
Seri-11: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts

Puisi Kholik Anhar: Benih Illahi

Novel Imperium Tiga Samudara (7)- Kapal Tanker di Samudra Hindia

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik



No Responses