Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-17): Mengunjungi Yaman

Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-17): Mengunjungi Yaman
Dr Muhammad Najib, Duta Besar Indonesia untuk Spanyol dan UN Tourism

Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.

Novel ini berkisah seputar masalah ini.

Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism

================================

SERI-17: MENGUNJUNGI YAMAN

Mr.Zarif kedatangan orang kaya Eropa asal Yaman, yang meminta pendapatnya bagaimana memajukan wisata di negara asalnya. Aku yang mendampinginya mendengarkan Sekjen UN Tourism menjelaskan bahwa syarat dasar yang diperlukan negara yang dituju aman dan rakyatnya ramah. Aku menangkap baik jawaban yang diberikan maupun intonasi kalimat yang muncul menunjukkan orang nomor satu di UN Tourism ini tidak tertarik dengan pembicaraan saat itu.

“Adakah syarat lain ?”, tanya sang tamu yang tampaknya tidak menyadari keadaan.

“Objek wisata yang dituju mudah dijangkau, infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, dan jalan bagus”, jawabnya.

“Menurut anda adakah potensi wisata yang layak dikembangkan di Yaman ?”, sang tamu mendesak.

“Perlu survey secara khusus dan saya belum pernah mengunjungi negara anda sehingga belum bisa memberikan saran”, jawab Zarif.

Aku meyakini ia tahu banyak tentang potensi wisata di banyak negara meskipun tidak detail karena ia memiliki peta potensi wisata di seluruh dunia yang ia terima dan diperbaharui secara reguler.

“Silahkan diskusinya dilanjutkan dengan asisten saya, karena saya harus meeting penting melalui webinar”, katanya sambil berdiri dan berpamitan.

“Walaupun mungkin potensinya kecil, saya siap mensponsori seluruh biaya tim yang dikirim ke negri saya. Disamping itu, saya sudah terlanjur berjanji kepada teman saya di ibukota San’a yang kini dipercaya sebegai Mentri Pariwisata”, katanya dengan nada penuh harap.

“Saya akan sampaikan ke Sekjen”, jawabku.

Sebelum pamitan aku diberikan kartu namanya dan ia membubuhkan nomor HP pribadinya sebelum menyerahkannya kepadaku. Aku perhatikan alamat kantornya di Amsterdam, Belanda.

Setelah sang tamu pergi, aku menyampaikan pesannya melalui Sekretaris sebagaimana biasa Kami berkomunikasi terkait masalah-masalah resmi dan penting. Hari itu juga, sebelum Mr.Zarif meninggalkan kantor beliau mampir ke ruangku dan sambil berdiri mengatakan: “Jika Anda tertarik boleh memenuhi undangannya, tolong diatur agar waktunya tidak mengganggu kewajiban dan tugas anda”.

“Dengan siapa saya harus berangkat ?”, tanyaku untuk mengkonfirmasi penugasannya.

“Sendiri”, jawabnya tegas sambil menutup pintu dan pergi.

Saat mendarat di Bandara Internasional di Kota San’a aku dijemput dan diterima seorang perwakilan dari Kementrian Pariwisata bernama Jalal di ruang VVIP yang kondisinya sangat sederhana, AC-nya mengeluarkan suara menderu dan mejanya berdebu, suara di luar ruangan juga mengganggu suasana di dalam. Setelah ramah-tamah aku dijelaskan agenda selama aku di negrinya diawalai dengan pertemuan dengan Mentri Pariwisata di kantornya besok pagi.

Hari berikutnya setelah menikmati sarapan pagi aku dijemput di hotel dengan mobil yang lumayan bagus, kemudian menuju kantor Mentri Pariwisata yang berlokasi di Kota tua San’a. Di mataku kota tua ini sebenarnya cukup unik dan menarik bila dijadikan destinasi wisata, karena keasliannya dijaga. Masyarakat yang hidup di dalamnya juga banyak yang masih menggunakan pakaian tradisional, yang laki-laki mengenakan sarung dengan ikat kepala dilengkapi dengan pisau kecil yang diselipkan di sabuk besar di depan perutnya. Jalal yang mendampingiku menyebutnya: Zambia.

Saat memasuki kantor dan ruangan sang mentri aku merasa terlalu sederhana, lebih bagus kantor bupati di daerah terpencil di Indonesia. Aku diajak masuk melalui lift yang sangat sempit dan tidak ber-AC menuju ruangan sang Mentri di lantai-3. Bangunan kantor Kementrian Pariwisata ini terdiri dari 5 lantai. Saat aku memasuki ruangan sang Mentri tampaknya sudah menungguku meskipun duduk di kursi dan meja kerjanya, ia langsung menyongsong kedatanganku. Aku perhatikan meskipun menggunakan jas dan dasi, tetapi nampak jas dan dasinya tua dan lusuh.

“Ahlan wasahlan wamarhaban”, katanya mengucapkan selamat datang dalam Bahasa Arab.

“Saya sudah membaca CV Anda dan saya senang karena Anda orang yang tepat”, katanya dengan wajah cerah bersemangat.

“Bil Arabiya au Ingglisia ?”, katanya menawarkan pembicaraan bagusnya digunakan dengan Bahasa Arab atau Inggris.

“Kama tuhib !”, jawabku menyerahkan pilihan pada beliau.

“Kita campur-campur saja ya !”, responnya.

“Sebenarnya kementrian yang saya pimpin baru saja dibentuk, jadi saya merupakan Mentri Pariwisata yang pertama di negeri ini”, katanya dengan nada berseloroh.

Setelah menjelaskan berbagai program yang disusunnya, ia juga meminta masukan dariku yang boleh disampaikan ke Jalal yang ditugasi menemaniku selama di negrinya, atau boleh dikirim secara tertulis setelah aku kembali ke Madrid. Di akhir pertemuan aku diberikan agenda acara dan tempat yang akan aku kunjungi selama di negerinya. Aku menerimanya sambil pamitan. Ia memelukku erat sekali diikuti cipika-cipiki sebagai bagian dari tradisi masyarakat setempat.

Saat meninggalkan kantor aku memperhatikan melalui spion mobil ada mobil lain yang selalu menguntit. Memperhatikan tindak-tandukku dan mungkin karena tampak kecemasan di wajahku Jalal kemudian menjelaskan: “Negeri ini baru saja selesai perang saudara karena itu Kita didampingi dengan pengawal”.

Saat mobil berhenti, Jalal memberikan isyarat kepada seseorang yang duduk di mobil pengawal untuk mendekat; “Namanya Husyam, ia akan mendampingi Kita selama Anda di negeri kami”, katanya.

Aku perhatikan Husyam mengenakan seragam loreng militer yang warna aslinya sudah memudar, sepatunya dekil dan tidak diikat secara sempurna, ia menyandang senjata laras panjang berjenis AK buatan Rusia. Aku perhatikan pipinya seperti bengkak seakan menyimpan sesuatu di dalam mulutnya. “Kenapa pipi Husyam?”, tanyaku kepada Jalal sambil berjalan menuju bagian dari kota tua.

“Itu tradisi orang di sini, ia sedang menghisap daun gat”, jelasnya.

Setelah menanyakan ejaannya aku membuka Google melalui HP. Aku terkejut karena ini termasuk narkotik tingkat tinggi.

“Tidak dilarang ?”, kataku kepada Jalal.

“Di sini gat dijual bebas di pasar, hampir setiap laki-laki dewasa mengkonsumsinya seperti rokok di negeri anda”, katanya.

“Bagaimana pendapat tokoh agama ? Adakah fatwa ?”, kataku dengan nada heran.

“Tidak ada fatwa, pendapat satu atau dua orang ulama terkait haramnya barang ini hanya disampaikan secara terbatas dan tidak terbuka”.

“Mengapa ?”, tanyaku penasaran.

“Kalau muncul fatwa seperti itu maka bisa jadi sang ulama akan ditinggal oleh pengikutnya, atau fatwa yang dikeluarkan tidak akan ditaati”.

Mendengar penjelasan ini aku tertawa teringat fatwa serupa terkait rokok di negeriku. Memperhatikan tingkah lakuku Jalal kemudian bertanya: “Ada yang lucu ?”, dengan wajah cemas.

“Tidak !”, jawabku sambil menggelengkan kepala dan memeluknya untuk menenangkannya.

Tanpa terasa Kami berada di salah satu sudut kota tua San’a, ketika sampai disebuah reruntuhan yang tidak terawat dan hanya dipagari kawat seadanya, Jalal kemudian menjelaskan: “Dulu di tempat ini berdiri bangunan bernama Al Qulais yang dibuat oleh Abraha. Bentuknya serupa dengan Ka’bah di Makkah akan tetapi lebih kecil”.

Kota tua San’a, Yaman

Aku teringat dengan peristiwa besar di Makkah menjelang kelahiran Rasulullah, kedatangan tentara bergajah yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Abraha. Jadi Abraha berasal dari sini spikulasiku.

“Mengapa Abrahah ingin menghancurkan Kakbah ?”, kataku penasaran.

“Karena Al Qulais kalah menarik dibanding Ka’bah, para pedagang dan para musyafir lebih suka mampir ke Makkah dibanding ke San’a, tentu hal ini bukan saja terkait dengan persoalan ekonomi tetapi juga harga diri seorang penguasa perkasa saat itu. Sekarang Kami sedang mempromosikan tempat ini sebagai salah satu destinasi wisata sejarah di kota ini”, jelas Jalal.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca seri sebelumnya:

Seri-16: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-16): Madrasah di Buchara

Seri-15: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-15): Makam Imam Buchari

Seri-14: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand

Seri-13: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-13): Antara Ataturk dan Erdogan

Ser-12: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid

Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:

1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)

2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita

3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi

4)Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-1): Kembali ke Madrid

Last Day Views: 26,55 K