Obyektifitas Semu?

Obyektifitas Semu?
Muhammad Chirzin, pada acara Focus Group Discussion yang diadakan oleh DPD RI, di Yogyakatta, Jumat (11/8/2023)

Oleh: Muhammad Chirzin

Catatan penulis berjudul “Nano-nano Intelektualisme dan Krisis Kepemimpinan Ala Madi Saputra” memperoleh tanggapan tertulis, antara lain dari Dr. Anggraini dan Dr. Mohammad Damami berikut ini.

Dr. Anggraini menulis, bahwa ia juga mengamatinya. Ia merunut tulisan-tulisan Pak Madi Saputra (MS) seperti campur aduk ide dari beberapa tayangan buzzer projok. Ataukah karena ada gejala stroke sebagian, karena overload ya? Atau, karena hanya terus-menerus mengamati ke satu arah. Jadi ingat perilaku “penggeret” andong-andong Malioboro yang berkacamata, supaya tidak ngamuk dengan sekeliling? Pingin bebas ekspresi, tapi berkewajiban hanya ke satu arah. (Maaaf Ustadz Muhammad, bila saya khawatirkan Pak MS). Sama-sama Kagama juga.

Masih menurut Dr. Anggraini, beliau Pak MS, sebenarnya punya ide yang maunya baik, dengan gaya intelektual akademinya, tapi justru jadi tidak realistik, tidak objektif, tidak rasional, dan tidak proporsional.
Dr. Mohammad Damami menulis renungan terhadap istilah “objektif-faktual” dalam metodologi “epistemologi zaman AI”.

Pada zaman sebelum berkemajuan “teknologi listrik” diberlakukan dalam wilayah Teknologi Informasi, misalnya yang digunakan dalam dunia fotografi dan komputografi, semua fakta dan data visual masih bisa “diobjektivikasikan” dengan teknologi yang berbasis “sinar”. Dalam fisika, sejauh bacaan saya, bersifat “tunggal”, tidak dapat dipahami dengan metodologi penafsiran terhadap “fakta dan data” bangunan fisik sinar itu sendiri. Kalau sinar itu menyilaukan, maka fakta dan datanya memang membuat silau asal-muasalnya. Kalau sinar itu berwarna biru, ya memang secara fakta dan data berwarna biru, dan sebagainya.

Tetapi energi “listrik” ketika dipakai dalam dunia Teknologi Informasi, khususnya yang tersangkut dalam Fotografi dan Komputografi, buyar semua “objektivikasi yang menyatu” tadi. Dunia visual dalam Fotografi bisa direkayasa (animasi, teknik-fotografi, dsb.) dan dalam Komputografi lebih-lebih lagi dalam praktik penulisan (huruf, hapus-menghapus, tambah-menambah huruf, kata, kalimat, sebagian susunan kalimat, alinea, sisip-menyisip, dan sebagainya) luar biasa canggih dan cepatnya waktu (hanya sepersekian detik). Dalam bahasa agama, fenomena ditemukan teori “energi listrik” ini merupakan “fitnah atau cobaan terbesar dan terbahaya” dalam sejarah kemanusiaan manusia. Orang bilang dengan tertemukan “energi listrik dalam Zaman Revolusi Industri 2.0” merupakan peristiwa yang sangat mematikan pada akhir zaman ini.

Dengan energi listrik, manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk mengaduk-aduk dan membuat meredup “kebenaran objektif yang menyatu” di atas.

Di sini betapa pun hebat dan canggihnya “otak di kepala manusia” dipakai, digunakan, dimanfaatkan, tetap kondisi “limbung” hampir sukar dihindari. Kalaulah mungkin, walaupun sepertinya mustahil bin mustahal, jalan penyetopnya hanya satu: dihilangkan ilmu tentang energi “listrik” itu.

Satu hal yang cukup mengerikan, seperti yang disinggung Al-Qur’an (QS Ar-Rum, 30: 41) bahwa “kerusakan di daratan dan di lautan (include di permukaan planet bumi) pasti akan terjadi” karena “goro-goro” (bhs. Jawa) s-e-b-a-g-i-a-n dari tingkah-perbuatan manusia yang mencoba meliar-buaskan kemampuan-kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Alhamdulillaah, ayat tersebut tidak mengindikasikan “kehancur-leburan manusia secara total selama-lamanya” dengan bukti pada ujung ayat Al-Qur’an tersebut masih menyebut harapan agar manusia “sadar kembali atas kebrutalannya” (“la’allahum yarji’un”).

Divisi pelaku, penghayat, pemikir visioner agama Islam, siapa pun dia, di mana pun dia, kapan pun dia, dalam kondisi apa pun dia, dan dalam situasi seperti apa pun dia, maka harus tetap tegak berdiri lurus, waspada zaman, menjaga penuh potensi kemanusiaan dan keberagamaan/ketuhanannya, untuk tetap bertekat “menjaga stabilitas kemakmuran di planet bumi ini” sebagai pemegang panji-panji tugas profetik “wakil Allah di planet bumi” (khalifah fil-ardl). Kiranya tidak pada tempatnya “nglokro” (lemah/hilang semangat) dalam menghadapi “goro-goro” yang diperbuat manusia yang sering mengabaikan “suara” Tuhan YME. Allah SWT selamanya tetap memperkuat “celupan-Nya” – shibghatullah. Insyaallah. Demikian, tulis Dr. Mohammad Damami Zain.

Dalam dunia akademik, “objektif-faktual” merujuk pada pendekatan yang berdasarkan pada fakta dan data yang dapat diverifikasi, tanpa dipengaruhi oleh opini pribadi, bias, atau kepentingan tertentu.

Objektivitas dan faktualitas sangat penting dalam penelitian akademik untuk memastikan bahwa hasil penelitian dapat dipercaya dan valid. Objektivitas berarti bahwa peneliti berusaha untuk tidak memasukkan pendapat atau interpretasi pribadi yang tidak didukung oleh bukti, sementara faktualitas berarti bahwa informasi yang disajikan didasarkan pada data yang akurat dan dapat diverifikasi.

Dalam penelitian akademik, objektif-faktual dapat dicapai melalui beberapa tahap langkah.

Pertama, penggunaan metode penelitian yang sistematis dan transparan.

Kedua, pengumpulan data yang akurat dan dapat diverifikasi.

Ketiga, analisis data yang objektif dan tidak memihak.

Keempat, penyajian hasil penelitian yang jelas dan transparan.

Dengan demikian, penelitian akademik yang objektif-faktual dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada pengetahuan dan pemahaman tentang dunia.

Terdapat dua istilah lain yang berkaitan dengan objektivitas, yakni objektivikasi dan inter-subjectivity.

Objektivikasi merujuk pada proses menjadikan sesuatu (pengetahuan, fakta, atau realitas) sebagai objek yang dapat diamati, diukur, dan dipahami secara independen dari persepsi atau opini individu. Objektivikasi bertujuan untuk menciptakan pengetahuan yang dapat diterima dan dipahami oleh banyak orang, terlepas dari latar belakang atau perspektif individu.

Inter-subjectivity adalah konsep yang menekankan bahwa pengetahuan atau pemahaman tentang sesuatu dapat dicapai melalui kesepakatan atau konsensus di antara banyak orang. Inter-subjectivity mengakui bahwa pengetahuan tidak sepenuhnya objektif, tetapi dapat dicapai melalui interaksi dan kesepakatan di antara individu-individu yang berbeda. Dalam inter-subjectivity, kebenaran atau pengetahuan ditentukan oleh kesepakatan bersama, bukan hanya oleh satu individu atau kelompok tertentu.

Kedua konsep ini sering digunakan dalam filsafat, sosiologi, dan epistemologi untuk memahami bagaimana pengetahuan dan realitas dipahami dan dikonstruksi oleh manusia.
Istilah “objektivitas semu” pada judul tulisan ini mengandung beberapa kemungkinan persepsi.

Pertama, kurangnya kejujuran. Istilah ini menimbulkan kesan bahwa objektivitas yang diklaim tidak sepenuhnya tulus atau jujur, melainkan ada agenda atau kepentingan tertentu di baliknya.

Kedua, manipulasi. Bahwa ada upaya untuk memanipulasi persepsi orang lain dengan menggunakan istilah yang terdengar objektif, tetapi sebenarnya tidak.

Ketiga, kritik terhadap sumber. Orang mungkin melihat istilah ini sebagai kritik terhadap sumber informasi atau pihak yang dikritik, yang dianggap tidak sepenuhnya objektif dalam penyajiannya.

Keempat, skeptisisme. Istilah ini juga bisa menimbulkan skeptisisme terhadap informasi atau klaim yang disajikan, membuat orang lain mempertanyakan validitas atau kebenaran di baliknya.

Tetaplah berjuang untuk mencari dan menemukan serta menegakkan kebenaran!

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K