Oleh Agus Wahid
Penulis: Analis politik, tersaji dengan gaya sastra. Agar terasa renyah
Heboh di jagad maya. Itulah bendera One Piece yang dikibarkan bersama sang saka Merah Putih, meski terletak di bawahnya. Masyarakat bertanya-tanya, mengapa bendera yang bergambar tengkorak kepala manusia dan disangga secara silang oleh dua tulang kering itu muncul di angkasa bersama bendera Merah Putih? Apa maksud? Sebuah kreativitas semata, atau ada makna yang sangat fundamental secara ideologis?
“Ah, ada-ada saja orang berkarya seni. Seperti, ga ada kerjaan saja”, celetuk seseorang mengomentari kibaran bendera One Piece yang merupakan simbol bajak laut yang dipimpin Monkey D. Luffi dalam film animasinya dengan memodifikasi tengkoraknya ditutupi topi jerami.
“Sepakat om”, tambah seorang politisi di Senayan, yang kini memimpin Komisi IV DPR RI. “Itu ulah atau tindakan cece-reme. Ga penting banget. Bagaimana tidak? Bendera Merah Putih sarat makna perjuangan dan menjadi simbol negara. Seperti halnya negara-negara lain, mereka juga punya simbol. Dan bendera itulah simbolnya.
Dan Indonesia sendiri – tambahnya – bersimbolkan bendera Merah Putih yang jelas-jelas punya makna. Yaitu, merah berarti berani. Putih berarti suci. Secara simplistis, didefinisikan “berani karena benar”. Inilah filosofi yang sangat mendalam maknanya dalam memperjuangkan Indonesia hingga tercapai cita-cita kemerdekaan. Karena itu, simbolitas bendera Merah Putih tertuang jelas dalam konstitusi kita (UUD 1945 Pasal 35) dan Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang serta lagu kebangsaan sebagia dasar hukumnya.
“Jadi, persoalan bendera sungguh sakral”, tegasnya sembari menambahkan, janganlah mempermainkan sakralitas bendera nasional Indonesia.
Menyambung pemikiran politik ideologis itu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pun menyampaikan sikap. “Awas ya… Jangan main-main dengan urusan simbol negara. Karena jelas termuat dalam konstitusi dan UU, maka siapapun yang mengibarkan atau mengenakan pin One Piece bisa dikejar dan diproses secara hukum. Alasannya sederhana. Pengibaran bendera One Piece bisa diterjemahkan sebagai tindakan melecehkan konstitusi dan UU, terutama di hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus.
“Ala maak. Serius sekali responsinya. Memangnya, mereka yang mengibarkan bendera One Piece itu sejuta rius? Main-main kali? Bisa jadi, ulahnya merupakan karya kreatif anak bangsa. Lagi pula, apa benar, pengibaran bendera One Piece – secara sengaja – melecehkan konstitusi atau mendegradasi simbol negara (bendera Merah Putih) itu? Kukira tidak. Jauh dari alam pikiran itu”, sambut salah satu warga Konoha ini.
Namun demikian, jika kita telisik alur historis dari film animasi pimpinan Monkey D. Luffi, One Piece memang merupakan kritik sosial-politik yang cukup mendasar. Mereka yang merupakan kumpulan bajak laut terus mencari keadilan ekonomi bahkan keadilan lainnya. Sejatinya mereka tidak mengunginkan tindakan yang mengganggu siapapun yang berlayar. Tapi, karena tuntutan pangan (kesejahteraan), terpaksa harus membajak. Jadi, kata kuncinya adalah persoalan ketidakadilan yang menyelimutinya. Bisa jadi, kabut ketidakadilan sudah demikian menahun. Dan hanya dengan kekerasan, keadilan itu bisa direbut. Apa boleh buat.
“Lalu, apa hubungannya dengan negeri kita?”, sambar salah satu anggota masyarakat Konoha ini.
“Jelas ada dan sangat korelatif. Sangat kontekstual”, jawabnya singkat.
“Di mana korelasinya. Tolong jelaskan. Maklum, aku wong ndeso. Tak berbepedidikan cukup untuk memahami kondisi obyektif negeri Konoha ini”, pintanya sembari ngopi dan makan singkong, bukan roti berkeju.
“Begini ngger… Biarpun dirimu wong ndeso, tapi sehari-hari khan selalu makan dan minum toh? Bagaimana perkembangan harga pangan beberapa tahun terakhir? Naik dan naik terus toh? Sementara, pendapatanmu piye? Aku yang punya gajian bulanan saja megap-megap. Mungkin, karena pegawai rendahan. Jadi, bergaji kecil. Sulit untuk memenuhi kebutuhan sebulan. Gali lubang tutup lubang. Sudah langganan. Para pemilik warung sembako sudah biasa menghadapi.
Kesimpulannya – lanjutnya dengan penuh semangat empat-lima – orang-orang sepertiku jauh dari kata sejahtera. Dan, untuk menggapai kata sejahtera rasanya ga mungkin. Inilah yang dinamakan kemiskinan struktural. Tampak ada desain kebijakan yang – secara terus-menerus – seperti memelihara kemiskinan itu. Boleh jadi, tak sengaja membikin desain pemiskinan itu. Tapi, fakta bicara: sistem pembangunannya tidak berhasil mengentaskan kemiskinan struktural.
Apalagi, dirimu ngger… yang petani penggarap, alias petani cilik. Semasa tanam, pupuk langka. Begitu ada, harganya jauh dari harga yang ditentukan pemerintah. Menteri Pertanian sudah pontang-panting untuk menertibkan mafia pupuk. Namun, para pemain pupuk tetap mengemplang harganya, atas nama zonasi atau dalih apapun. Intinya, ketika petani membutuhkan pupuk di musim tanam, justru sulit mendapatkannya. Benar-benar menggencet para petani, apalagi setingkat dirimu, ngger… yang status sawahnya hanya sebagai penggarap.
Yang menyedihkan lagi, begitu panen, harga gabah misalnya, langsung ngedrop, karena terdapat importasi beras yang melampaui batas. Dan lebih memilukan lagi, saat hasil panennya diangkut dan melewati jalan raya, terdapat sejumlah oknum di jalan raya telah mengintai. Pritttt. Minggir. Jika tidak menuruti permintaannya, barang tak bisa melaju ke pusat pasar. Inilah sejati “teroris pangan” yang sering kita saksikan di berbagai ruas jalan. Initinya, penderitaan kaum petani telah dirasakan sekian lama, apalagi dalam masa sepuluh tahun terakhir kemarin, semasa kepimimpinan Mr. Iwok itu.
Jika menengok lagi sepuluh tahun lalu, mafianya kian jauh labih gila. Dulu berjanji stop impor gula. Stop impor kedelai. Stop impor beras. Dan stop-stop lainnya. Nyatanya? “Weleh, weleh… Kakek-nenek sepuh juga tahu. Stop importase itu semua hanya body language. Gimik. Biar dikatakan pro petani. Padahal, banjir impor. Atas nama ketersediaan dan keamanan stok pangan nasional, lalu dilakukan impor. Padahal, kala itu proyeksi panen sangat mencukupi. Tapi, ya itulah akal bulus sang pemimpin pebohong. Pagi bilang tahu, sore bilang kedelai. Dan inkonsistensi kebijakan Mr. Iwok karena dirinya harus selalu nyumponin (memenuhi) para bohir yang – dalam kontestasi pilpres – telah memenuhi kebutuhan finansialnya.
Data bicara. Balas budinya demikian meluas. Sektor pertambangan dan energi menjadi wilayah yang terus diembat. Lebih percaya kepada darah seluluhurnya, sang Iwok mendatangkan puluhan bahkan ratusan ribu pekerja asing dari negeri jiran: Tiongkok. Rakyat akan berterima kasih jika kawasan-kawasan industri itu lebih mendahulukan pekerja lokal. Ternyata tidak. Juga, kemungkinan rakyat atau negara akan berterima kasih pada kerjasama ekonomi dan investasi itu. Ternyata, hasil tambangnya seperti nikel dijual ke negeri Tirai Bambu dengan harga super murah, jauh di bawah harga pasar dunia. Lebih dari itu, terdapat impor ilegal nikel sampai lebih dari 5000 ton. Inilah yang membuat Faisal Basri bengok-bengok dan akan membawanya ke ranah hukum. Tapi, tak kesampaian. Terburu “dibantai” karena berani menantang sang rezim. Memang dugaan. Tapi, banyak elemen menduga seperti itu. Persis yang dihadapi Rizal Ramli.
Itulah politik balas jasa penguasa kepada kaum oligarki yang mengakibatkan ketidakadilan terus berlanjut dan kian mengkristal. Panorama ketidakadilan yang masih mewarnai negeri Konoha yang hampir 80 tahun merdeka. “Negeri ini memang merdeka statusnya. Yang merdeka orang-orang sono. Kami, benar-benar masih terjajah. Kurus kerontang bagai tengkorak. Meski masih hidup, tapi terlihat tulang belulangnya”, celutuk salah satu orang kota yang ternyata tinggal sebuah gubug kardus di pinggir rel kereta, berpenampilan lusuh. Kesehariannya hanya memulung. Berangkat pagi. Pulang sore. Hasilnya ditimbang dan diuangkan oleh pengepul. Hanya dapatkan sekitar Rp 50 ribu.
“Lalu, apakah orang sepertiku layak menyatakan merdeka? Secara fisik ya. Tapi, himpitan ekonomi terus mendera. Tak pernah merasa merdeka. Inikah potret keadilan di negeri Konoha ini? Orang waras pun bisa menilai: orang-orang miskin itu sungguh merasakan penderitaan yang tak berkesudahan”, ujar sang pemulung, yang – untuk bertahan hidup di tengah kota – harus memulung. Sebab, kalah saing dalam mencari kerja. Maklum, tak punya akses ke dalam instansi tertentu.
Mbah Parjo yang pernah ikut berjuang semasa revolusi menatap sedih. Di pojok gubuk reotnya di pinggir sawah, dirinya bertanya-tanya, mengapa negeri yang super kaya raya ini tak mampu membebaskan kaum miskin dari penderitaan materialnya?
“Haduh mbah… Telat mikir simbah ini. Bagaimana penjajahan kemiskinan ini akan berakhir? Lho, orang-orang di atas sana pesta pora dengan kekayaannya yang sangat fantastik. Gaji ratusan bahkan milyaran. Tapi, masih juga menggarong kekayaan negara tanpa batas, padahal jika kekayaan negara digunakan untuk kemakmuran rakyat, pasti ga ada orang miskin. Menurut salah satu menteri terkenal kala itu menyatakan, jika kekayaan negeri ini digunakan untuk kemakmuran rakyat, maka setiap penduduk negeri Konoha ini bisa terima kisaran angka Rp 20 juta/orang.
“Jadi, ketidakadilan yang sudah sekian lama, karena negeri ini dirampok oleh sejumlah petinggi negara dengan sikap sama sekali tak merasa bersalah. Anehnya, ketika tertangkap dan diproses secara hukum, di antara mereka hanya cengar-cengir. Tampak tak malu. Faktornya? Karena tak ada hukuman yang menjerakan bagi para koruptor. Hukuman mati sebenarnya pantas dikenakan kepada kaum koruptor. Tapi, kita saksikan, RUU hukuman mati bagi koruptor masih dalam desain. Bisa jadi, baru niat. Konon sih sudah dipersiapkan. Sampai kapan selesainya Bung? Drafnya pun belum sampai di meja DPR. Ketika sampai di lembaga parlemen, juga wallahu `alam nasibnya. Apakah, akan dibahas secara serius antara pemerintah sebagai inisiatif dan DPR sebagai pembahas? Akhirnya, kata yang tepat adalah omon-omon saat bicara hukuman mati untuk para koruptor. Sekedar menghibur kepada pegiat anti korupsi”.
Nun jauh di sana, salah seorang guru puteri di Jawa Barat pun merenung, apa sih maksud bendera tengkorak itu? Tapi, ketika mencermati maknanya, dirinya baru sadar. Memang, kantong kemiskinan di negeri ini cukup meluas. Hidupnya jauh di bawah garis kemiskinan. “Saya pun, sebagai guru dan telah mengabdi sekian lama hanya mendapat honor…. Ah, malu menyebutnya. Pokoknya, tidak rasional dibanding kebutuhan hidup yang riil”, paparnya.
Kondisi riil tersebut relatif tidak mendapatkan perhatian khusus dari aparatur pemerintah. Yang terjadi justru banyaknya larangan itu dan ini terkait kegiatan sekolah yang mencerdaskan, yang sejatinya bisa menjadi sumber pendapatan tambahan yang halal. Para pengurus wali murid pun sebenarnya setuju. Tapi, pemimpin provinsi ini – dengan pongahnya – melarang keras aneka kegiatan itu. Dinilai pemborosan. Membebani.
“Kawan-kawan sepakat. Oke ada larangan itu dan ini. Tapi, apa solusinya bagi lembaga pendidikan dan para gurunya yang honornya tidak layak dan tidak manusiawi itu. Kasih solusi atuh…”, paparnya mengenaskan sembari menegaskan, pendidikan ini pintu besar menuju pembangunan insan cerdas dan berpengetahuan. Menjadi bekal kemajuan untuk kepentingan negara. Sumber daya insani akan berkembang karena campur tangan guru, di samping orang tua dan lingkungannya. Sekecil apa pun andil kaum guru, tak boleh diabaikan. Jadi, sang pemimpin Jabar sudah saatnya membuang ego apriorinya. Sang pemimpin yang wise adalah yang mampu menatap lingkungan dengan pemikiran jernih dan memberikan solusi konstruktif dan berkemanusiaan. Sikap a priori dan egois jelaslah tergolong makhluk yang dikutuk Allah. Siapa dia? Silakan buka al-Qur`an.
“Neng, emang sudah berapa lama mengajar”, tanya seorang ibu yang tergolong sepuh usianya. Dirinya tampak iba mendengarkan keluhan nasib sejumlah guru yang merasa diperlakukan tidak adil, padahal perannya telah memberikan makna bagi kepentingan kehidupan mencerdaskan bangsa. Dan hal ini terkait dengan amanat konstitusi. Inilah problem implementasi konstitusi. Tidak hanya dalam kaitan jabaran kemakmuran yang berdimemsi keadilan, tapi hak dasar terkait pencerdasan.
Akhirnya publik pun bertanya-tanya lebih mendasar. Di hadapan kerumunan banyak orang, salah satu tokoh nasional magnetik bicara dengan santun. “One Piece memang bisa dinilai melecehkan konstitusi. Tapi, kira-kira jauh labih melecehkan mana bagi para pihak, mulai dari para petinggi negara, kaum profesional penjilat yang selama ini menggarong keuangan dan aset negara. Pasal 33 UUD 1945 yang tidak dijalankan dengan penuh amanah, bukankah itu jauh lebih melecehkan konstitusi? Pelecehan ini jauh menerjang sendi-sendi kemanusiaan. Berdampak jauh menyengsarakan setiap insan. Dan bisa menghancurkan entitas bangsa da negara di masa depan. Mengapa pelecehan substantif ini dipandang sebelah mata? Ya, inilah warna negeri Konoha, yang harusnya tak perlu tersinggung dengan kibaran bendera One Piece. Harusnya lebih terpanggil untuk membenahi kondisi yang paradok itu.
Komitmen pembenahannya bukan hanya omon-omon, tapi aksi konkret. Pemerintah saat ini harus mendengak. Tunjukkan dirimu. Beda dengan rezim kemarin yang baru lalu. Tegakkan sikap tegasmu. Siapapun dari warisan rezim kemarin yang menghalangi, haruslah kau sikat. Tak perlu diberi toleransi. Tunjukkan integritasmu sebagai kepala negara yang berbeda kelas dengan pemimpin kemarin yang jelas-jelas jauh di bawah kapasitas. Jangan biarkan dirimu disebut sebagai pion dari sang pemimpin yang baru lalu. Bukan hanya untuk menjaga marwahmu, tapi untuk bangsa dan negeri ini. Perlu dicamkan baik-baik. Seluruh elemen rakyat akan berteriak “setujuuuuuu”, manakala kau tegakkan dan wujudkan kebijakan yang benar-benar pro rakyat. Indikatornya sederhana: singkirkan residu politik warisan rezim kemarin. Okey, Sir….?
Bekasi, 05 Agustus 2025
.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Setelah Ira Puspadewi Direhabilitasi, Layakkah Karen Agustiawan Mendapat Perlakuan Yang Sama?

Faizal Assegaf Minta Megawati Dan SBY Lakukan Mediasi Dengan Jokowi

PBB meluncurkan proses formal untuk memilih sekretaris jenderal berikutnya

Kecerdasan Spiritual Fondasi Kebahagiaan

Kubu Jokowi TawarkanMediasi Kepada Roy cs

Bukan Sekadar Layar: Kehadiran yang Membentuk Hati Anak

TNI AL Amankan Dua Kapal Pengangkut Nikel Ilegal di Perairan Morowali–Konut

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (8) : Penghargaan Dunia Dan Jejak Diplomasi Global Indonesia

Apa Mungkin Selama Ini Negara Tidak Tahu?

Buntut Pemusnahan Dokumen, Taufiq Ancam Laporkan Semua Komisioner KPU Surakarta



No Responses