Operasi Senyap Menumbangkan Prabowo: Mengendarai Krisis Fiskal, Menunggangi Amarah Rakyat

Operasi Senyap Menumbangkan Prabowo: Mengendarai Krisis Fiskal, Menunggangi Amarah Rakyat
Aksi massa di kabupaten Bone Sulawesi menolak kenaikan pajak (19/8/2025)

JAKARTA — Ada aroma busuk yang menguar dari dapur fiskal republik ini. Angka-angka APBN yang dingin, kenaikan pajak yang mencekik, dan kerusuhan di daerah—semuanya membentuk pola. Pola yang, jika dirangkai, menyerupai sebuah operasi senyap untuk mengguncang legitimasi Presiden Prabowo Subianto.

Profesor Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), menyebutnya tanpa tedeng aling-aling: “Saya menduga di sini ada kesengajaan, bahwa di daerah itu dipicu agar ada ketidakstabilan atau kegaduhan seperti yang sudah terjadi di Kabupaten Pati.”

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)


Panggungnya: APBN yang Berdarah

Anthony tak bicara di udara kosong. Ia membongkar angka yang seharusnya membuat telinga penguasa panas:

“Per Juni 2025 (Semester I) penerimaan negara kita dari perpajakan APBN Rp895 triliun. Pembayaran bunga pinjaman Rp398 triliun. Artinya, 40% penerimaan pajak untuk bayar bunga. Ini akibat 10 tahun Jokowi dengan utang yang sangat ugal-ugalan. Dengan beban bunga 40% itu tidak mungkin APBN bisa survive.”

Empat dari setiap sepuluh rupiah pajak rakyat, langsung lenyap ke kantong para kreditur. Sisa yang ada, dipaksa menopang janji-janji politik yang menguras kas. Inilah titik rawan yang, menurut Anthony, kini sedang dieksploitasi.

Kebijakan Pemicu Ledakan

Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan pemotongan transfer daerah dan menyuruh daerah “mencari sumber keuangan sendiri”, efeknya seperti melempar obor ke gudang mesiu. Pemerintah daerah, terdesak, memilih jalan paling cepat: menaikkan pajak.

Dan bukan sembarang kenaikan. Di Pati, Jawa Tengah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melonjak 250%. Di Cirebon, Jombang, Banyuwangi, hingga Bone, Sulawesi Selatan, tarif pajak melesat 200–1 000%.

Bukan hanya protes, rakyat di Pati sampai membakar mobil polisi. Gas air mata pun dilepaskan. Rekaman video memperlihatkan warga berteriak, “Kami lapar, kami diperas!”—slogan yang dalam situasi politik rapuh bisa menjadi bensin bagi api perlawanan.

Aksi massa di Kabupaten Pati Jateng (13/8/2025) menolak kenaikan pajak hingga 250%

Misi Politik di Balik Pajak?

Bagi Anthony, ini bukan sekadar reaksi spontan daerah. Ia melihat pola bahwa kegaduhan ini bukanlah kebetulan. “Ketika publik marah pada pajak, mereka akan marah pada pemerintah pusat. Kewibawaan Presiden yang menjadi taruhan. Dan ketika kewibawaan runtuh, jalan menuju destabilisasi politik terbuka lebar,” tegasnya.

Di ruang publik, skenario ini berbahaya. Krisis fiskal dijadikan narasi bahwa pemerintahan Prabowo “tidak becus” mengelola ekonomi, padahal sebagian besar bom waktunya sudah dipasang pada dekade sebelumnya—lewat utang jumbo yang kini menggerogoti fiskal.

Sri Mulyani di Garis Api

Kebijakan memotong transfer daerah memang bisa dibenarkan secara teknokratis—mengalihkan dana untuk program makan gratis atau infrastruktur. Namun dalam konteks politik, kebijakan itu menempatkan Sri Mulyani di garis api.

Ia menjadi wajah pemerintah yang memotong “jatah” daerah, sementara kepala daerah menjadi algojo yang memungut pajak dari rakyatnya sendiri. Hasilnya: kemarahan diarahkan ke pusat, bukan ke DPR atau pemda. Sebuah framing politik yang, disadari atau tidak, menguntungkan kelompok yang ingin mengguncang kursi presiden.

Kerusuhan yang Menular

Seperti epidemi, amarah fiskal menyebar. Dari Pati ke Cirebon, dari Banyuwangi ke Bone. Setiap video protes yang viral di media sosial menjadi peluru baru dalam perang opini.

Bagi kelompok yang piawai memainkan krisis, ini adalah momentum emas. Seperti reformasi 1998 yang dipicu krisis moneter, kini ada yang berharap “reformasi jilid dua” dengan dalih krisis fiskal.

Dari Fiskal ke Politik

Krisis fiskal ini, dalam kacamata investigasi, tak berhenti di angka defisit atau beban bunga. Ia merembes menjadi krisis kepercayaan. Dan begitu rakyat kehilangan kepercayaan pada pemimpin, sejarah menunjukkan perubahan rezim hanyalah soal waktu.

“Beban bunga 40% itu saja sudah cukup membuat APBN megap-megap. Kalau ditambah sabotase kebijakan di lapangan, bisa-bisa kita bukan hanya bicara soal krisis fiskal, tapi krisis negara,” pungkas Anthony.

Jika analisis Anthony benar, maka bangsa ini sedang menjadi panggung operasi politik yang licin: memanfaatkan lubang fiskal, memicu kemarahan rakyat lewat pajak, lalu mengarahkan peluru ke jantung kekuasaan. Pertanyaannya, apakah Prabowo menyadari bahwa medan perangnya bukan hanya di meja rapat kabinet—tetapi juga di jalanan, di pasar, dan di dompet rakyat?

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K