Dari “Provinsi Koordinatif” hingga Model Ri‘ayah Syu’un al-Ummah
Oleh: Slamet Sugianto
Tulisan Cak Isa Anshori mengangkat urgensi merombak struktur otonomi daerah: provinsi difokuskan sebagai koordinator, bukan eksekutor; gubernur ditunjuk, bukan dipilih; dan kabupaten/kota diperkuat sebagai ujung layanan publik. Ini bukan sekadar tawaran teknokratis, melainkan kritik filosofis terhadap jalan berliku desentralisasi kita: birokrasi membesar, ongkos politik tinggi, pelayanan publik terseok.
Setelah 25 tahun desentralisasi, realita menunjukkan patronase lokal, tumpang-tindih kewenangan, dan dualisme komando pusat-provinsi-kabupaten. Data Ombudsman menunjukkan ketimpangan standar layanan antarwilayah tetap lebar[^1]. KPK menegaskan biaya politik kepala daerah dapat mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah[^2], memicu moral hazard fiskal dan politik balas budi. Sementara kajian Bank Dunia mengingatkan, belanja daerah belum sepenuhnya berorientasi kinerja pelayanan[^3]. Maka, wajar bila Cak Isa bertanya: untuk siapa otonomi bekerja—untuk rakyat atau elite lokal ?
Antara Teknis dan Filsafat Tata Kelola
Usulan Cak Isa perlu dibaca sebagai koreksi atas ketimpangan struktur dan kultur: provinsi sering menjadi panggung politik, bukan simpul koordinasi. Kabupaten/kota memikul tugas layanan tanpa asimetri kapasitas yang cukup. Hasilnya adalah deviasi tujuan: demokrasi prosedural berjalan, namun demokrasi pelayanan tersendat.
Model penunjukan gubernur yang ia ajukan menantang ortodoksi politik elektoral. Bukan anti-demokrasi, melainkan re-desain akuntabilitas: potong biaya politik, perjelas garis komando, fokus ke hasil.
Di titik ini, menarik melihat cermin dari literatur politik Islam—khususnya karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani.
Kaca Mata Islam: Sentral Legislatif, Eksekusi Dekat Rakyat
Dalam Nizham al-Hukm fi al-Islam, An-Nabhani menegaskan prinsip:
Hukum terpusat untuk mencegah fragmentasi kekuasaan, eksekusi terdesentralisasi agar pelayanan dekat rakyat[^4].
Khalifah menetapkan kebijakan umum; wali/amir daerah ditunjuk dan dapat dicopot cepat jika gagal menjalankan amanah[^5]. Struktur ini bukan semata hierarki administratif, tetapi jaring aman akuntabilitas: pejabat tidak berlindung di balik legitimasi elektoral, melainkan amanah syar’i. Ini sejalan dengan tesis Cak Isa: jabatan publik bukan soal popularitas, tetapi kapasitas melayani.
Dua institusi kunci memperkuat clean and clear government
Hisbah: pengawas pasar dan pelayanan[^6],
Madzalim: pengadilan pejabat, termasuk kepala negara[^7].
Fungsi keduanya mirip ombudsman + KPK + Mahkamah negara, namun berbasis amanah moral-hukum, bukan sekadar prosedur legal. Dalam Muqaddimah ad-Dustur, An-Nabhani juga menekankan agar birokrasi ringkas dan bebas tumpang-tindih[^8]—pararel dengan kritik Cak Isa atas provinsi yang kini serba ingin, tetapi sering serba gamang.
Menegaskan Garis Pelayanan
Apa yang ditawarkan Cak Isa dan ditunjukkan literatur politik Islam bertemu di titik yang sama:
Kekuasaan harus kembali pada tujuan dasar: ri‘ayah syu’un al-ummah (mengurus urusan rakyat), bukan perebutan sumber daya.
Provinsi harus menjadi equalizer dan integrator, bukan ruang kontestasi politik.
Kepala daerah harus diukur dari mutu layanan, bukan jumlah baliho atau koalisi.
Gagasan “gubernur ditunjuk” dapat bekerja bila dipasangkan dengan kontrak kinerja berbasis layanan, panel evaluasi independen, dan akses publik terhadap data kinerja—sebagaimana roh hisbah. Kabupaten/kota harus memegang dashboard layanan wajib: kesehatan, pendidikan dasar, jalan lokal, administrasi kependudukan. Pusat menjaga kesetaraan standar, bukan sekadar menyerahkan urusan.
Penutup
Tulisan Cak Isa adalah undangan untuk jujur menilai otonomi: apakah ia mendekatkan atau menjauhkan negara dari warganya. Perspektif An-Nabhani memperlihatkan bahwa sentral hukum + desentral eksekusi + pengawasan akuntabel bukan utopia, melainkan kerangka yang pernah bekerja dalam sejarah pemerintahan Islam, dan hari ini relevan sebagai arsitektur pemerintahan yang melayani.
Pada akhirnya, demokrasi yang matang bukan pada seringnya memilih, tetapi pada seringnya rakyat dilayani dengan baik. Dan itu—baik dalam teori Cak Isa maupun dalam fikih tata negara Islam—hanya mungkin jika kekuasaan kembali diposisikan sebagai amanah, bukan komoditas politik.[]
Catatan Kaki
[^1]: Ombudsman RI. Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik 2023/2024.
[^2]: KPK, paparan biaya politik kepala daerah; rujuk data Kemendagri.
[^3]: World Bank. Public Expenditure Review – Spending Better.
[^4]: Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Bab Wilayah.
[^5]: Ibid., pasal penunjukan dan pencopotan wali/amir.
[^6]: An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III, bab Hisbah.
[^7]: Ibid., bab Mahkamah Madzalim.
[^8]: An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, pasal struktur administrasi.
Daftar Referensi
– Taqiyuddin An-Nabhani. Nizham al-Hukm fi al-Islam.
– —— Muqaddimah ad-Dustur.
– —— Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III.
– Ombudsman RI. Laporan Kepatuhan Pelayanan Publik.
– KPK (ACLC). Analisis biaya politik kepala daerah.
– World Bank. Public Expenditure Review – Spending Better.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pertalite Brebet di Jawa Timur: Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Masalah Mesin

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional

Patrick Kluivert Dihentikan Setelah 9 Bulan — Apa Yang Salah?

Sentimen Pasar Bangkit, Tapi Bayang-Bayang Inflasi Masih Menghantui



No Responses