Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis, Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim
Postur penerimaan negara hari ini memperlihatkan fakta mencolok: 82 persen pendapatan negara ditopang oleh pajak, sementara hanya sekitar 18 persen berasal dari non-pajak, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Angka ini menegaskan bahwa denyut pembangunan Indonesia sepenuhnya bergantung pada keringat rakyat. Buruh, petani, pedagang, nelayan, hingga pegawai bergaji pas-pasan, semua dipaksa ikut menopang negara.
Pajak seharusnya menjadi bukti cinta rakyat pada negerinya. Tetapi ketika cinta itu dikhianati, yang tersisa hanyalah luka kolektif—pengorbanan yang tak pernah dibalas keadilan.
Harga Beras, Luka yang Mengiris
Di negeri agraris, rakyat justru harus membeli beras dengan harga melambung. Petani merugi karena harga gabah jatuh, sementara rakyat kecil membayar mahal di pasar. Impor beras dibuka lebar, padahal sawah-sawah kita masih produktif. Paradoks ini menorehkan luka: rakyat memberi makan negara, tetapi mereka sendiri sulit makan layak.
BBM Naik, Rakyat Tercekik
Setiap kali harga bensin dan solar naik, dampaknya berantai. Ongkos transportasi membengkak, harga barang melonjak, biaya hidup kian menghimpit. Buruh kehilangan sebagian gajinya hanya untuk ongkos kerja, pedagang pasar menaikkan harga, dan nelayan mengeluh karena solar mahal. Sementara itu, mobil dinas pejabat tetap terisi penuh, biayanya ditanggung APBN dari pajak rakyat.
Kesehatan Mahal, Pendidikan Berbiaya
Kesehatan seharusnya hak dasar, tetapi banyak keluarga miskin antre berhari-hari di rumah sakit, bahkan ada yang meninggal sebelum mendapat layanan. Iuran BPJS wajib dibayar, namun fasilitas tak sebanding.
Begitu juga pendidikan. Meski disebut gratis, orang tua masih terbebani biaya buku, seragam, hingga iuran komite. Banyak anak bangsa putus sekolah karena kemiskinan. Ironinya, anak-anak pejabat justru bersekolah di luar negeri dengan biaya fantastis—seringkali bersumber dari uang rakyat.
Korupsi Elit, Luka yang Menganga
Kasus Gayus Tambunan membuka borok mafia pajak. Disusul Rafael Alun Trisambodo yang pamer kemewahan dari jabatan yang seharusnya melayani rakyat. Itu hanya puncak gunung es, sementara praktik manipulasi, suap, dan permainan gelap terus terjadi.
Setiap rupiah yang dikorupsi adalah luka bersama: sekolah gratis tertunda, rumah sakit terbengkalai, bantuan pangan tak sampai. Pajak rakyat dirampas, rakyat hanya mendapat sisa.
Tunjangan Elit, Penderitaan Rakyat
Kontras paling menyakitkan adalah jurang antara rakyat dan elit. Anggota DPR mendapat gaji puluhan juta plus tunjangan perumahan, transportasi, kesehatan, hingga dana aspirasi miliaran per tahun. Menteri menikmati rumah dinas megah, mobil mewah, dan berbagai fasilitas.
Semua itu dibiayai dari pajak rakyat: dari petani yang menjual gabah murah, nelayan yang melawan ombak demi sesuap nasi, dan buruh yang gajinya pas-pasan. Kontras ini menyulut amarah kolektif.
Nepal, Cermin Luka yang Meledak
Nepal pernah mengalami luka serupa. Uang rakyat dirampas elit, pembangunan terbengkalai, dan kekecewaan menumpuk. Seorang warga, Darshana Padal, berkata getir: “Pembangunan tidak berjalan karena para politisi ini menyimpan semua uang di saku mereka.” Sementara itu, Prateek Pradhan, Pemimpin Redaksi Baahrakhari, menegaskan: “Protes larangan media sosial hanyalah pemicu. Kekecewaan terhadap cara negara dijalankan sudah lama menumpuk.”
Ribuan rakyat, terutama pemuda, turun ke jalan. Reuters mencatat, 19 orang tewas ditembak aparat. Tekanan memaksa Perdana Menteri K. P. Sharma Oli mundur, disusul Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak. Pesannya jelas: kekuasaan yang mengkhianati rakyat pasti tumbang.
Luka Kolektif adalah Alarm
Indonesia harus belajar dari Nepal. Luka kolektif rakyat tidak boleh terus dipupuk dengan pajak yang mencekik dan perilaku elit yang menista rasa keadilan. Jika tidak ada perubahan, luka itu akan menumpuk, menjadi amarah bersama, dan bisa meledak kapan saja.
Pajak memang penting, tetapi harus dikelola dengan amanah. Kekayaan alam negeri ini harus kembali untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan dikuasai oligarki. Negara wajib menjamin harga kebutuhan pokok terjangkau, pendidikan benar-benar gratis, kesehatan merata, dan pekerjaan layak tersedia.
Pajak adalah cinta rakyat pada negerinya. Tetapi cinta yang terus dikhianati akan berubah menjadi kemarahan. Luka kolektif rakyat hari ini adalah alarm keras: pemerintah harus bersih, jujur, dan berpihak pada rakyat kecil. Jika tidak, sejarah telah membuktikan—luka yang diabaikan bisa menjelma menjadi badai besar yang mengguncang kekuasaan.
Surabaya, 14 September 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Artikel Investigatif: SMA Negeri 72 Jakarta — Ledakan, Rasa Sakit, dan Isu Kompleks di Balik Tragedi

RRT Nyatakan Siap Hadapi Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu Jokowi

Rasional dan Proporsional Dalam Menyikapi Zohran Mamdani

Tragedi di Lapangan Kandis Riau, Nyawa Melayang Aparat Diam, Yusri: PHR Jangan Lepas Tangan

Pertahanan Yang Rapuh di Negeri Seribu Pulau: Membaca Geopolitik Indonesia Lewat Kacamata Anton Permana

Yusri Usman Dan Luka Lama Migas Indonesia: Dari TKDN, Proyek Rokan, hingga Pertamina Yang Tak Pernah Berbenah

Off The Record

Bangsa Ini Tidak Butuh Presiden Yang Pura-Pura Gila

Sebuah Laporan Sebut Australia Pasok Mineral Vital ke Tiongkok untuk Produksi Rudal Hipersonik

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?



No Responses