Oleh: Agus Wahid
Penulis: analis politik dan pembangunan
Bisa dipahami. Itulah reaksi massif di sejumlah daerah pasca kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang cukup hiperbolik prosentasinya. Beberapa hari lalu, masyarakat Pati bergolak. Bone juga. Dan, rencana – 25 Agustus (besok) – akan kumpul ribuan mahasiswa dan BEM seluruh Indonesia akan berkumpul di Senayan.
Bukan hanya menolak kebijakan kenaikan pajak, tapi menunjukkan gerakan ketidakepercayaan rakyat kepada Pemerintah Pusat saat ini. Berpotensi rusuh. Sebuah reaksi massif yang manusiawi dan wajar-rasional. Apalagi, bagi kalangan yang terbebani secara ekonomi.
Yang perlu kita soroti khusus, apakah Prabowo tidak mampu menganalisa sebuah format kebijakan yang disodorkan Menteri Keuangan, padahal berpotensi basar akan berdampak destruktif bagi keberlanjutan pemerintahannya?
Sebagai mantan elitis anggota TNI apalagi pernah menjadi PANGKOSTRAD, jelaslah tak mungkin tak bisa membaca potensi destruktif itu. Karena itu, kita perlu membaca, apa sesungguhnya strategi yang sedang dirancang Prabowo di balik pembiaran pajak hiperbolik itu.
Karena persoalan strategi itu pula mendorong sejumlah mantan jenderal mewanti-wanti adanya skenario pembusukan dari dalam Istana. Arahnya, melalui kenaikan prosentasi pajak yang hiperbolik akan menggiring kemarahan rakyat dan mahasiswa meletup di berbagai daerah dan ibukota.
Itu berarti merupakan skenario chaos yang memang dipersiapkan. Untuk melengsekan sang penguasa. Mungkinkah mengarah ke Gibran seperti yang selama ini dihembuskan? No. Justru, skenario kemarahan rakyat yang memuncak saat ini bersasaran ke Prabowo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemerintahan RI ini.
Perlu kita catat, sasaran baru ke Prabowo merupakan penggeseran dari sebelumnya, yakni Gibran. Hal ini menggambarkan peran “geng Solo” yang piawi merancang skenario. Dari luar istana? Ya, tapi berkomplot dengan geng Solo yang masih bercokol dalam lingkaran kekuasaan. Dalam hal ini motif menaikkan pajak dan pembiaran reaksi daerah-daerah layak dicurigai sebagai sang komplotan sang perancang. Maka, ketiga instansi sudah dapat dibaca peranannya, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Kapolri.
Kita saksikan, manuver ketiga petinggi negara berhasil membangkitkan amarah rakyat. Karena itu, jika kemarahan rakyat berkobar dan meluas, maka posisi Prabowo selaku Presiden RI sesungguhnya terancam jatuh. Dan hal ini memperjelas sebuah skenario: menaikkan Gibran sebagai penggantinya. Skenario ini – perlu dicatat – lebih cepat dari yang dibayangkan seperti yang pernah diungkapkan pengamat militer: Dr. Connie Rahakundini Bakrie, yang memprediksi kepemimpinan Prabowo hanya kisaran 2 tahun. Maksimal 3 tahun.
Apakah ilusi skenario itu? Tidak. Posisi Tito Karnavian sebagai “geng Solo”, bukan hanya Mendagri yang memiliki relasi struktural dengan seluruh pemerintahan daerah, tapi juga mantan Kapolri. Jalinan emosional dan jaringannya di lingkaran kepolisian masih sangat kuat. Sedangkan, Panglima TNI saat ini juga merupakan “geng Solo”.
Jadi, dua angkatan strategis keamanan dan pertahanan sudah cukup powerful untuk mendepak Prabowo. Sementara, Menteri Pertahanan – meski orang terdekat Prabowo – tidak punya komando langsung dengan pasukan di lapangan. Posisinya tidak mengakar.
Sekali lagi, apakah Prabowo tidak mencermati kalkulasi politik dan keamanan yang membahayakan kekuasaan dirinya itu? Sangatlah tidak mungkin. Karena itu, kita perlu membaca sinyal-sinyal di balik pembiaran kebijakan pajak yang hiperbolik saat ini, di samping implikasinya terhadap gerakan revolusioner rakyat.
Beberapa hal yang perlu ditelaah adalah – pertama – Prabowo ingin “menangkap basah” permainan seluruh elemen geng Solo. Bukan hanya menjastifikasi tindakannya dalam melengserkannya dari kabinet, tapi jeratan hukum yang siap menerkamnya.
Sebagai ilustrasi, ketika pemerintahan daerah-daerah dan rakyatnya bergolak dan membiarkannya, maka Mendagri dan Kapolri bahkan Panglima TNI terkonfirmasi tentang ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas pengamanan wilayah dan masyarakat. Dan, di balik ketidakprofesionalan itu menjadi absah bagi Presiden untuk mencopot Mendagri, Kapolri dan Panglima TNI yang ketiganya memang figur orbitan Jokowi.
Dan fakta ketidakprofesionalan itu bisa dibaca dari sisi lain. Yaitu, kemungkinan keterlibatan mereka sebagai aktor intelektual bahkan agitator dan operator para kaki tangannya di lapangan.
Keterbuktian itu – atas nama menghormati proses hukum – mengabsahkan penindakan hukum lebih lanjut kepada sejumlah pentolan itu atas dugaan keterlibatannya. Proses hukum ini bukan hanya mereka yang – secara langsung atau tidak dalam kancah chaos itu – tapi seluruh geng Solo yang menimbulkan kegaduhan. Dalam hal ini – sekali lagi – Menteri Keuangan bisa dibidik juga. Dalihnya sederhana: Menkeu menjadi penyabab utama (kausa prima) gerakan anti pajak nasional yang meluas. Menkeu ini pula yang terus mendorong sektor pajak menjadi andalan utama penerimaan negara.
Maka, perumus gejolak rakyat itu bukan hanya layak dilengserkan dari peta kabinet, tapi juga persoalan hukum. Landasannya bukan otoritas atau kewenangan pejabat yang membuat kebijakan yang tak boleh dipidana, tapi niat merusak bahkan tekad menghancurkan pemerintahan Prabowo. Niat inilah yang dapat diinformasikan lebih jauh kepada jaringannya, terutama Bank Dunia, mafia Berkely dan anasir kekuatan global bidang ekonomi. Agar terjadi kesepahaman ketika agen neolib ini diambil tindakan.
Yang lebih krusial – sebagai hal kedua – serangkaian penjeratan secara hukum terhadap para geng Solo menjadi pintu masuk yang lebih leluasa untuk menyeret seluruh pegundal Jokowi dan bahkan Jokowi itu sendiri dan keluarganya. Kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaannya selama ini, dalam bentuk korupsi, gratifikasi dan lainnya memiliki timing yang tepat untuk dibongkar. Pintu masuk tersebut merupakan era penguburan para bromocorah Jokowi, di samping timing tepat untuk pembenahan sistem politik-hukum nasional.
Mata rantai hukum tersebut akan membuka kembali atau meneruskan proses hukum pemberantasan megakorupsi, melalui KPK atau Kejaksaan Agung, yang selama ini relatif tak tersentuh karena terdapat backing orang kuat. Tercatat data megakorupsi – setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir – di antaranya Pertamina (Rp 968,5 triliun), PT Timah (Rp 271 triliun), BTS Kominfo (Rp 8 triliun), Sawit CPO (Rp 12 triliun), Duta Palma (Rp 78 triliun), PT TPPI (Rp 37 triliun). Belum lagi megakorupsi Bansos, yang nilainya lebih dari Rp 100 triliun dan kasus illegal export nikel sebesar 5.000 ton dari Blok M (Medan), yang mengarah pada Boby Nasution dan Jokowi. Masih ada juga megakorupsi, meski bersifat tunggakan, seperti BLBI (Rp 130 trliun), PT ASABRI (Rp 22 triliun), Bank Century (Rp 6,3 triliun).
Dari data yang tersaji, setidaknya, terdapat angka megakorupsi sebesar Rp 1.633 triliun. Penertiban hukum ini akan berjalan efektif jika elemen KPK, Kejaksaan Agung, bahkan kepolisian dan lembaga pengadilan termasuk Mahkamah Agung berspirit sama seirama dengan tekad pemberantasan megakorupsi. Aspek ini menambah urgensi penggantian Kapolri saat ini. Digantikan oleh sosok kapolri baru yang tak terafiliasi dari Jokowi.
Prabowo pun harus tegas: siapapun yang “masuk angin” dalam penegakan hukum anti korupsi bukan hanya dicopot, tapi layak didera hukum berat. Hukuman mati yang sedang dipersiapkan menjadi momentum yang tepat untuk diimplementasikan ketika kasus megakorupsi terugkap dan memiliki ketatapan hukum tetap (inkrag).
Jika maksimalisasi penindakan hukum pemberantasan korupsi behasil dilakukan, maka PBB P2 tak perlu lagi dijadikan target andalan penerimaan negara. Setidaknya, perlu dilakukan pemilihan obyek pajak, misalnya PBB masih perlu diberlakukan di wilayah perkotaan yang nilai NJOP-nya lebih dari Rp 4 miliar. Nilai NJOP ini tidak berlaku bagi rumah-rumah peninggalan yang sudah puluhan tahun berada di kota.
Serangkaian proses hukum tersebut jelaslah perlu waktu. Namun, tekad dan komitmen anti korupsi akan membuahkan hasil nyata. Yang paling dekat dan rasional adalah mengembalikan dana yang terkorupsi dari Pertamina, PT Timah, Duta Palma dan Sawit CPO. Yang perlu digaris-bawahi bukan hanya posisi hukuman pidananya bagi para bandit itu, tapi seluruh yang terkorupsi juga kembali ke negara.
Catatannya harus transparan dan akuntabel, lalu bisa diproses lebih jauh untuk kepentingan pembangunan. Skala pembangunanya juga harus jelas. Ada yang prioritas dan urgent. Sebuah review mendasar, sejauh ini terdapat terdapat penegakan hukum pidana korupsi dan telah mencapai putusan tetap. Tapi, hingga kini belum ada informasi jelas seberapa besar yang dikembalikan kepada negara. Fakta ini pun menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi Prabowo untuk mengetahui persis angka rupiah yang konon telah dikembalikan kepada negara. Hanya Menkeu yang tahu? No. Presiden jauh lebih berhak tahu.
Satu hal krusial yang perlu dijadikan terobosan konkret, Prabowo juga perlu melakukan efisiensi ketat terhadap keuangan negara. Apa yang disampaikan tentang penghapusan tantiem bagi para komisaris dan direksi BUMN tidak selayaknya hanya omon-omon. Kalau perlu, tingkat gaji dan tunjangan jabatan para wakil rakyat disejajarkan dengan pegawai negeri sipil, meski setingkat Menteri.
Yang jelas, masalah remunerasi kepada pejabat negara harus direview secara rasional dan proporsional, kalau perlu diimbangi dengan kinerjanya. Seperti kita saksikan, berapa banyak pejabat negara dari Dewan Legislatif “tak pernah bunyi”, terkait fungsinya. Jika bunyi pun keberpihakannya tidak all out untuk rakyat. Serangkaian review itu sejalan dengan komitmen dan prinsip good governance and clean government.
And the last but not least, atas nama mencegah rakyat dari beban pajak yang mencekik dan atas nama prospektus pembangunan, maka pemerintahan Prabowo sudah saatnya mengubah paradigmanya tentang kekayaan sumber daya alam dan mineral yang tergelar di Tanah Air ini, termasuk lautan dan dirgantara. Sebab, nilai komersialnya tak terhitung, karena demikian besarnya.
Secara komparatif, Prabowo bisa mencermati sejumlah negara di Timur Tengah. Negara seperti Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Libya, Irak dan Iran, mereka megandalkan sumberdaya alam (migas) sebagai sumber utama penerimaan negara untuk kepentingan pembangunan negara dan rakyatnya. Hanya dari sektor migas, negaranya demikian makmur.
Kemakmurannya pun dapat kita cermati. Income per capitanya cukup tinggi. Seperti Qatar, income per capitanya untuk tahun 2025 ini sebesar US$ 71.650 dengan daya beli masyarakat sebesar US$ 121,610. Saudi Arabia sebesar US$ 30.100 – 32.000. Kuwait US$ 29.950. Dengan tingkat income per capita yang cukup tinggi itu, mereka mampu memberikan layanan gratis untuk rakyatnya. Bahkan, memberikan tunjangan hidup.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang berlimpah kekayaan sumber daya alam dan mineralnya? Belum lagi sumber kekayaan dari wilayah kelautan dan dirgantaranya. Beberapa contoh capaian income per capita tersebut bisa dijadikan faktor daya dorong: sumber daya alam dan mineral dan potensi kelautan serta dirgantara menjadi kesadaran sebagai sumber andalan penerimaan negara.
Harus disadari, income per capita Indonesia hanya AS$ 4.960,33 (Rp 78,62 juta) dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 16.296 per dolar AS. Kesadaran itu akan menggugah bagaimana membangkitkan kebijakan tranfer teknologi bidang migas, pertambangan, oceonografi dan kedirgantaraan. Kebangkitan ini sekaligus juga menguatkan sikap patriotisme untuk misi besar kemandirian sebuah bangsa dan negara. Maka, akan terjadi tngkat permintaan sumber daya manusia yang ahli terkait beberapa sumber daya alam itu menjadi keharusan. Mutlak.
Arahnya, untuk menterjemahkan kemandirian yang mampu menguasai proses eksplorasi dan produksi aneka sumber daya alam itu. Di sisi lain, akan memberikan makna kemanusiaan bahwa bonus demografi akan menjadi anugrah, bukan bencana. Keberhasilan ini semua akan menjadi faktor penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045 mendatang.
Kembali ke variabel utama, kebijakan pajak yang menuai reaksi massif dan ekstensif, bahkan sampai pada pembiaran potensi pelengseran dirinya bisa jadi merupakan strategi besar Prabowo membangun negeri ini. Tapi, benarkah itu angan-angan besar Prabowo? Wallahu `alam.
Sebagai elemen masyarakat kecil di negeri ini hanya bisa mencermati panorama dengan penuh dag dig dug, apalagi di antara implikasinya muncul-bayang anak haram konstitusi siap menggantikan Prabowo. Na`uudzu billaah min dzaalik.
Bekasi, 24 Agustus 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Apa Presiden Akan Pasang Badan Untuk Oligar Hitam?

Zohran Mamdani, Apakah Dia Syiah?

Anak Purbaya dan “Orang-Orang Mabuk Agama”

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Danantara & Uang Negara Penebus Dosa Oligarki

KPK Tetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko Tersangka Suap Promosi Jabatan dan Gratifikasi, Langsung Ditahan

Presiden Harus Belajar dari Sultan Iskandar Muda

Mencuri Uang Rakyat Turun-Temurun

Pangan, Martabat, dan Peradaban: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

Prabowo Whoosh Wus


No Responses