Pangan, Martabat, dan Peradaban: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

Pangan, Martabat, dan Peradaban: Membaca Kedaulatan dari Perspektif Kebudayaan

MALANG — Di tengah arus industrialisasi pangan dan kebijakan agraria yang kian terpusat, sekelompok budayawan, akademisi, dan pegiat masyarakat berkumpul di Kedai Kali Metro, Malang, dalam diskusi bertajuk “Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan dari Perspektif Kebudayaan.”

Forum ini mengundang refleksi mendalam: bahwa pangan bukan sekadar urusan perut, melainkan soal peradaban, martabat, dan kedaulatan manusia atas dirinya sendiri.

Menghadirkan narasumber para pegiat budaya, akademisi, dan sejarawan, diskusi yang digelar di kafe literasi yang kerap menjadi ruang perjumpaan lintas komunitas dengan berbagai pemikiran transformatif tersebut menegaskan pentingnya pergeseran fokus dari Ketahanan Pangan—yang cenderung sentralistik—menuju Kedaulatan Pangan yang berakar pada otonomi lokal dan keselarasan alam.

Pangan Sebagai Pengalaman Ketubuhan

Budayawan yang juga penyanyi legendaris Trie Utami membuka diskusi dengan membedah kontras konsep ketahanan pangan versus kedaulatan pangan tersebut.

“Ketahanan pangan dapat dicapai dengan impor, meminta sumbangan, bahkan mencuri. Itu hanyalah soal ketersediaan,” ujarnya.

“Sementara hal kedaulatan pangan jauh lebih dalam, ini tentang pengalaman ketubuhan primer dan kesadaran tentang apa yang kita makan,” tegasnya dengan nada reflektif yang memancing keheningan sejenak di ruang diskusi.

Trie menjelaskan bahwa manusia hidup dalam tiga bentang, bentang alam, bentang budaya, dan bentang bisnis. Namun kebanyakan perhatian kita terperangkap dalam Bentang Bisnis—ruang yang menekankan inovasi, efisiensi, dan nilai ekonomi, tapi seringkali melupakan sisi keberlanjutan.

“Bentang bisnis ini menimbulkan fragility (kerapuhan), bukan keberlanjutan (sustainability),” ujarnya.

“Lumbung padi kita sekarang telah berpindah ke pusat-pusat perbelanjaan modern, satu paket dengan kandungan pestisida dan pupuk kimianya.”

Sebagai antitesis, ia mencontohkan praktik Kampung Ciptagelar, Kanekes (Baduy), dan Cibadak dengan pertanian tradisional selaras alamnya. Komunitas- komunitas ini menjaga kedaulatan melalui sistem lumbung adat dan benih padi yang bisa bertahan ratusan tahun—sebuah teknologi tinggi dari kearifan lokal

Kosmologi Nusantara Memuliakan Pangan

Dr. Redy Eko Prastyo, seniman sekaligus dosen Universitas Brawijaya, menegaskan bahwa kearifan lokal Nusantara menempatkan pangan pada posisi yang dimuliakan, jauh dari sekadar komoditas.

“Masyarakat adat memuliakan pangan. Memuliakan padi, sehingga di Jawa ia menjelma sebagai Dewi Sri,” katanya.

Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan, menjadi simbol kemakmuran dan sumber kehidupan. Pemuliaan ini diwujudkan dalam ritual Sedekah Bumi, Wiwitan, dan Panen yang menunjukkan bahwa pangan adalah hal sakral—diikat oleh kosmologi, bukan sekadar ekonomi.

Diskusi juga membandingkan pandangan tersebut dengan filsafat Barat. Konsep “Autarkeia” Aristoteles—kecukupan diri dan kebajikan pribadi—disebut sejalan dengan kemandirian.

Namun, pegiat budaya Bachtiar Djanan menganggap konsep itu terlalu individualistik.

“Di Nusantara, keselarasan tidak hanya antar manusia, tetapi juga antara manusia dengan alam, baik alam yang terlihat maupun dengan alam yang tidak terlihat. Itu menjadi kosmologi kita,” jelasnya.

Kosmologi ini melahirkan praktik-praktik berbagi antara petani dengan makhluk yang kita sebut hama dan menjaga mata rantai kehidupan.

“Produk kesenian di masyarakat adat—tarian, nyanyian, ritual panen—adalah ekspresi terhadap rantai pangan dan ungkapan syukur maupun doa dan pengharapan,” tambahnya.

“Ini yang hari ini hilang, karena pangan direduksi menjadi sekadar bisnis dan transaksional.”

Jejak Arkeologis Pangan Nusantara

Sejarawan dan arkeolog M. Dwi Cahyono menegaskan bahwa kedaulatan pangan telah menjadi pilar peradaban kuno Nusantara.

“Luku sebagai teknologi tradisional sudah disebut dalam Prasasti Turriyan (929 M) dan Prasasti Ngandang (851 M),” ungkapnya.

Ia juga menyinggung Prasasti Panggumulan (902 M) yang mencatat pejabat penjaga lumbung serta relief di Candi Badut dan Kidal yang menggambarkan aktivitas bertani. Semua itu menjadi bukti bahwa pengelolaan pangan adalah urusan negara sekaligus komunal.

Lebih lanjut, ia menyoroti Beras Krayan di Kalimantan Utara sebagai contoh praktik pertanian organik yang berkelanjutan.

“Beras Krayan bukan hanya komoditas, tetapi warisan budaya yang menunjukkan bagaimana masyarakat Dayak Krayan mengembangkan sistem pertanian ramah lingkungan selama berabad-abad,” ujarnya.

Menanggapi paparan itu, Trie Utami kembali menyoroti kebijakan sentralistik yang merusak keragaman pangan.

“Kebijakan Berasiansi di era Orde Baru memang berhasil mencapai swasembada, tapi menciptakan penyeragaman budaya dan ketergantungan,” katanya.

“Contohnya, masyarakat Papua dipaksa meninggalkan sagu. Ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan yang diwariskan sejarah.”

Kedaulatan: Pemikiran, dan Aksi

Menutup sesi, Prof. Mangku Purnomo, S.P., Ph.D., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, menekankan perlunya transisi dari wacana ke tindakan nyata.

“Kita boleh berdiskusi panjang lebar, tapi yang terpenting adalah langkah konkret yang bisa dilakukan, oleh masing-masing individu,” ujarnya.

“Kita bisa berdaulat pangan tanpa bergantung pada negara—mulai dari menanam sayuran, memelihara ikan dan ayam, dari rumah sendiri,” ajaknya.

Para narasumber yang tergabung dalam Jaringan Kampung Nusantara sepakat bahwa kedaulatan pangan menuntut pemberdayaan ganda: dimulai dari pikiran (ideologi), dilanjutkan dengan ruang-ruang diskusi (sosialisasi), dan diwujudkan dalam tindakan konkret di tingkat individu, keluarga, dan kampung.

Kedaulatan pangan, pada akhirnya, adalah bentuk diplomasi kebudayaan—cara bangsa ini menegaskan jati dirinya melalui kekayaan pangan dan tradisi yang dimuliakan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K